Makassr (ANTARA Sulsel) - Konservasi kerap kali identik dengan pemutusan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam di sekitar mereka, sehingga praktik ini menempatkan masyarakat lokal menjadi pihak yang termarjinalkan secara ekonomi, sosial, dan budaya.

Praktik itu tidak ditemukan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Misool Timur Selatan dan Kepulauan Kofiau-Boo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

Justru, dengan konsep dan pendekatan berbeda, upaya konservasi di kawasan seluas 366 ribu ha di Misool dan 170 ribu ha di Kofiau-Boo itu mendapatkan dukungan dari masyarakat.

"Selama ini ada asumsi bahwa konservasi itu hanya melarang, melarang, dan melarang, tidak ada solusi, dan konservasi tidak mendatangkan apa-apa bagi pemerintah maupun masyarakat. Asumsi seperti ini yang ingin kami hilangkan," kata `Papua Bird`s Head Portfolio Manager The Nature Conservancy` (TNC) Indonesia, Lukas Rumetna di Sorong, 27 April lalu.

TNC sejak tahun 2003 hadir melalui program Konservasi Laut di kawasan Misool dan Kofiau. Bersama Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat Raja Ampat serta para pihak lainnya, TNC melaksanakan program-program konservasi dan perikanan berkelanjutan di Misool dan Kofiau.

Bagi Lukas, salah satu poin penting pengelolaan kawasan adalah bagaimana konservasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal.

"Konservasi itu ada perlindungan dan ada pemanfaatannya juga. Konservasi adalah jaminan untuk memastikan bahwa sumber daya alam di suatu wilayah dapat berkelanjutan," ujarnya.

Sejak awal, proses di wilayah KKPD Misool dan Kepulauan Kofiau-Boo dibangun dari bawah. Karenanya TNC mendekati para tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama di wilayah ini.

Hasilnya, pada 19 Oktober 2011, masyarakat Kepulauan Kofiau menyatakan dukungan terhadap zona konservasi melalui deklarasi adat, kemudian wilayah Misool pada 28 November 2011.

Deklarasi adat diikuti oleh para tokoh adat, tokoh agama, dan perwakilan pemerintah Kabupaten Raja Ampat.

Menurut Lukas, kepatuhan masyarakat yang masih cukup tinggi kepada para tokoh adat dan tokoh agama menjadikan sebagian besar masyarakat di areal tersebut mematuhi zonasi yang diatur dalam KKPD.

Sementara itu, bagi sebagian kecil yang masih melanggar, akan dilakukan pendekatan persuasif terus hingga paham.

Awalnya, proses tersebut memang tidak mudah. Banyak resistensi dari masyarakat yang khawatir mata pencaharian mereka terganggu. Masyarakat lokal curiga pada berbagai aktivitas yang dilakukan TNC.

Ya, butuh waktu sekitar delapan tahun sejak kehadiran TNC hingga deklarasi adat terwujud di wilayah tersebut.

"Diburu parang sampai rumah saya dibongkar sudah pernah saya alami. Tapi kami tetap melakukan pendekatan pelan-pelan, termasuk melalui gereja," ungkap mantan staf Penjangkauan Masyarakat TNC Nixon Watem saat ditemui di Kampung Awat, 22 April 2015.

Nixon bergabung di TNC sejak tahun 2006 hingga tahun 2013. Pada 2014, ia terangkat menjadi CPNS. Hingga saat ini, Nixon tetap aktif mendidik anak-anak di Raja Ampat tentang pentingnya menjaga ekosistem di sekitar mereka melalui Pendidikan Lingkungan Hidup.

Menurut Nixon sebelum hadirnya program konservasi ini, masyarakat di wilayah tersebut tak jarang menangkap ikan dengan bom, potasium, maupun penggunaan compressor.

Kini, praktik-praktik yang merusak sudah jarang ditemui. Masyarakat kini menyadari praktik-praktik tersebut merugikan bagi lingkungan maupun keselamatan mereka sendiri.

Masyarakat lokal juga dilibatkan untuk mengawasi kawasan konservasi dengan membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas). Para anggota Pokmaswas adalah perwakilan warga kampung di wilayah tersebut. Pokmaswas bertugas melakukan pengawasan, menegur jika menemukan pelanggaran, dan melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran di KKPD.

Hasil Melimpah Berbasis Kearifan Lokal

Tidak hanya mendekati para tokoh adat, pengelolaan KKPD (Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Misool dan Kofiau-Boo juga mengadopsi sistem konservasi tradisional yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat setempat.

Sistem konservasi tradisional ini disebut sebagai Sasi. Masyarakat Raja Ampat mengenal Sasi secara turun temurun. Sasi pada dasarnya adalah larangan untuk mengambil sumber daya alam tertentu dalam batas waktu atau wilayah tertentu pula.

Sasi dapat berdasarkan jenis komoditas, maupun berdasarkan batas wilayah tertentu. Sistem Sasi telah dikenal masyarakat Raja Ampat selama ratusan tahun.

Penerapan Sasi Teripang pada wilayah tertentu, misalnya, berarti pada wilayah tersebut jenis Teripang tidak boleh diambil hingga Sasi dibuka.

Waktu penutupan berkisar antara enam bulan hingga bertahun-tahun, pembukaan Sasi biasanya satu hingga dua minggu, kemudian Sasi kembali ditutup. Kewenangan membuka atau menutup Sasi melibatkan lembaga adat ataupun gereja.

Sistem inilah yang kemudian diadopsi oleh TNC dan disempurnakan penerapannya dengan memanfaatkan basis ilmu pengetahuan sehingga penerapannya lebih efektif.

"Dulu, penerapan Sasi oleh masyarakat dilakukan hanya menurut perasaan. Mereka menentukan lokasi Sasi serta waktu membuka atau menutup Sasi semau mereka. Dampaknya, Sasi tidak selalu berhasil," kata Koordinator Monitoring dan Evaluasi Awaluddinnoer saat ditemui di sela pelatihan monitoring Sasi di Kampung Limalas (23/4).

Menurut Awaluddinnoer, pemilihan lokasi Sasi yang benar, monitoring, dan pencatatan hasil, adalah kunci efektifnya pelaksanaan Sasi.

Dalam pelatihan monitoring Sasi, kata dia, masyarakat Raja Ampat belajar bagaimana menentukan lokasi, waktu membuka Sasi, dan kriteria panen yang tepat untuk memastikan keberlanjutan hasil tangkapan nelayan.

Permintaan untuk menyelenggarakan pelatihan monitoring Sasi di Kampung Limalas adalah inisiatif dari masyarakat lokal sendiri. Di kampung ini dua marga besar ingin melakukan Sasi di wilayah kelola mereka. Mereka kemudian meminta staf dari TNC untuk membantu melatih mereka untuk melakukan Sasi.

"Kami minta sendiri supaya diajar monitoring Sasi, karena kami sudah lihat di Kampung Folley, tetangga kampung kami, setelah di-sasi hasil tangkapan mereka melimpah," ujar salah satu kepala keluarga dari Marga Falon, Marthen Fallon. Marga Falon adalah salah satu marga yang menginginkan wilayah kelola mereka di-sasi.

Meski menerapkan Sasi berarti Marthen harus melaut lebih jauh untuk mencari hasil tangkapan, bagi Marthen hal ini tidak menjadi masalah.

"Tidak masalah, karena kalau dibiarkan hasilnya nanti akan terus berkurang. Kami punya tanggung jawab untuk melindungi apa yang ada di wilayah kami," tegasnya.

Berhasilnya penerapan Sasi diamini oleh Kepala Kampung Folley Kaleb Fadinfo. Hasil panen teripang di wilayah Sasi di kampung ini terus meningkat. Hasil dari Sasi tersebut dicatat dengan baik oleh Kaleb.

"Tahun 2013, kami memperoleh hasil 1.251 teripang dalam waktu satu minggu periode buka Sasi. Tahun 2014, dalam periode tiga hari kami dapat 2.231 teripang, dan saat ini dalam dua hari pertama kami sudah dapat 1.232 teripang," papar Kaleb.

Pencatatan hasil Sasi inipun merupakan salah satu hal yang disarankan oleh TNC. Pencatatan ini, menurut Awaludinnoer, penting agar masyarakat mengetahui apakah konservasi yang dilakukan benar-benar bermanfaat.

"Selain pencatatan hasil Sasi, kami juga melakukan pemantauan hasil tangkapan bekerja sama dengan nelayan-nelayan lokal. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana "performance" kawasan yang salah satunya ditunjukkan oleh jumlah hasil tangkapan," bebernya.

Selain itu, kata dia, pemantauan hasil tangkapan juga berguna untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap upaya konservasi yang telah dilakukan.

"Kalau masyarakat merasakan sendiri bagaimana konservasi ternyata bermanfaat bagi mereka, mereka akan dengan sukarela melaksanakannya," kata Awaludinnoer.

Dengan membangun proses konservasi dari bawah dan berorientasi pada manfaatnya bagi masyarakat lokal, maka upaya konservasi memberikan "win-win solution" bagi kelestarian perairan Raja Ampat.

Pewarta : Nurhaya J Panga
Editor :
Copyright © ANTARA 2024