Makassar (ANTARA Sulsel) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus maju dengan rencana menghapuskan sanksi administrasi bagi Wajib Pajak yang terlambat melakukan pembayaran pajak meskipun ada kritik bahwa hal itu tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan hukum yang ada.

Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan penghapusan sanksi administrasi pajak itu tidak bertentangan dengan Undang-undang (UU) tentang  Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan didukung oleh lembaga penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri.

"Pasal 36, ayat 1 (UU KUP) mengatakan bahwa kita dapat mengurangi atau menghapuskan sanksi administrasi," katanya saat konferensi pers pada hari Selasa di mana wakil-wakil dari tiga lembaga ikut hadir.

Menurut Undang-Undang KUP, sanksi administrasi akan dikenakan ketika pajak tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo. Sanksinya adalah pengenaan bunga 2 persen dari keterlambatan pembayaran pajak per bulan.

Sigit mengatakan bahwa penghapusan sanksi administrasi pajak itu diperlukan agar Wajib Pajak yang dibebani dengan sanksi administrasi bunga 2 persen per bulan itu mau membayar pajak mereka. Menurutnya, rasio pajak yang rendah saat ini mencerminkan kekurang-pemahaman Wajib Pajak dari kewajiban pajak mereka dan hal itulah yang mendorong pihaknya untuk melaksanakan kebijakan penghapusan sanksi pajak ini.

"Ini adalah cara kami untuk mendorong orang untuk membayar tunggakan pajak mereka tanpa mempertimbangkan sanksi bunga karena tahun depan, kita akan tegas pada para penunggak pajak," katanya.

Dengan Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak ini, mereka sekarang diharuskan membayar jumlah pokoknya saja. Namun, Kebijakan Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak ini hanya berlaku untuk tunggakan pajak yang terjadi antara 2009 hingga 2014, dan yang harus dibayar tahun 2015 ini.

Data dari Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa jumlah tunggakan pajak mencapai Rp 67.700.000.000.000 (US$ 5.130.000.000) pada akhir 2014. Pada Maret, DJP telah mengamankan penerimaan pajak sekitar Rp 6,75 triliun dari tunggakan, beberapa di antaranya dihasilkan dari pelaksanaan gizjeling (penahanan Wajib Pajak).

DJP ditargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.294,258 triliun untuk tahun 2015, yang merupakan 31,4 persen lebih tinggi dari apa yang dicapai tahun lalu. Pada April, penerimaan pajak mencapai Rp 310,100 triliun sama dengan 24 persen dari target setahun penuh.

Eddy Rakmanto, Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Kejaksaan RI mendukung langkah DJP, sembari mengatakan bahwa tidak ada kerugian negara dengan penerapan Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak ini.

Bimo Gunung, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan kepala KPK, mengatakan bahwa langkah itu penting untuk mendorong kepatuhan wajib pajak yang lebih tinggi, karena 70 persen dari penerimaan negara berasal dari pajak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak ini merupakan win-win solution bagi pemerintah, terutama karena masih terbatasnya  data perpajakan yang akurat.

"Namun harus dipastikan bahwa Wajib Pajak yang boleh manfaatkan Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak ini adalah mereka yang lalai dalam membayar pajak dan mereka yang sengaja menghindari pembayaran pajak," katanya.

DJP telah melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan pendapatan pajak termasuk dari Perusahaan Penamanan Modal Asing (PMA). Bulan lalu, Dirjen Pajak telah bertemu dengan para investor perusahaan PMA dan menghimbau mereka agar mematuhi peraturan pajak yang berlaku.

Pajak yang dibayar oleh perusahaan PMA menyumbang 25 persen penerimaan negara dari pajak pada tahun lalu.

"Namun demikian, ada juga perusahaan PMA yang menggunakan skema-skema penghindaran pajak yang merugikan baik negara asal maupun negara tujuan investasi," ujar Direktur Pelayanan, Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas), Mekar Satria Utama.

Pewarta :
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024