Beberapa hari terakhir, berbagai media membicarakan mengenai dana aspirasi untuk para anggota DPR RI. Tidak tanggung-tanggung, jumlah yang disediakan untuk setiap anggota dewan direncanakan mencapai Rp20 miliar.

Apabila angka tersebut dikalikan dengan jumlah anggota DPR RI yang sebanyak 560 orang maka akan menghasilkan angka Rp11,2 trilyun. Pro dan kontra terjadi dalam menyikapi keinginan adanya dana aspirasi tersebut.

Pada era pemerintahan sebelum ini, dana aspirasi juga pernah dimunculkan. Pertentangan dari berbagai kalangan dan penolakan dari pemerintah membuat pemberlakuan dana aspirasi tersebut urung dianggarkan dalam APBN.

Walaupun demikian, beberapa daerah sudah ada yang terlanjur menganggarkan dalam APBD mereka. Beberapa pihak menyatakan setuju terhadap dana aspirasi karena dianggap sebagai cara cepat dan tepat dalam melaksanakan aspirasi rakyat di daerah pemilihan. Penolakan juga sangat kuat dari pihak yang berseberangan karena dana aspirasi rentan disalahgunakan dan rentan tidak tepat saran.

Tulisan ini tidak akan membahas pro-kontra yang terjadi di masyarakat. Besar-kecilnya dana tersebut juga tidak akan menjadi pokok pembahasan didalamnya.

Pembahasan tulisan ini hanya akan melihat penganggaran dan pemberlakuan dana aspirasi dari sudut pandang konstitusi dan peraturan perundangan di bidang keuangan negara.

                                                                      Amanat Konstitusi
Sebagai sebuah negara, konstitusi mutlak diperlukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga dewasa ini, bangsa Indonesia melalui mekanisme yang ada telah sepakat untuk berkonstitusi pada Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengalami empat kali amandemen.

Sebagai landasan kehidupan bernegara dan berbangsa, UUD 1945 harus dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan di antara unsur bangsa/negara yang ada.

UUD 1945 telah mengatur hubungan antara pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif). Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar".

Untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan tersebut, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden hasil pemilu (Pasal 4 ayat 2) dan beberapa menteri yang diangkat oleh Presiden (Pasal 17).

Setiap menteri membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan termasuk urusan pengelolaan keuangan negara. Urusan pengelolaan keuangan negara hampir dipastikan ada di setiap negara.

Kewenangan pengelolaan keuanan negara di Indonesia dipegang oleh Menteri Keuangan. Dalam menjalankan kewenangan tersebut, Kementerian Keuangan bersinergi dengan kementerian/lembaga lain sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Selanjutnya, bagaimana ketentuan konstitusi dalam mendudukkan DPR dalam kehidupan bernegara? Lembaga tinggi negara ini memiliki posisi yang sangat strategis dan mulia karena memiliki: 1) fungsi legislasi, 2) fungsi anggaran, dan 3) fungsi pengawasan.

Hal ini disebutkan dalam pasal 20A UUD 1945 yang berbunyi: "Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan". DPR juga dilengkapi dengan hak-hak konstitusional berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Bahkan anggota DPR juga dilengkapi dengan hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas. Berbagai hak yang diberikan konstitusi baik secara kelembagaan maupun secara personal ditujukan agar ketiga fungsi yang dimiliki di atas dapat dilaksanakan secara efektif.

UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk melaksanakan urusan pemerintahan karena urusan tersebut menjadi tugas dan wewenang Presiden dan aparatur di bawahnya (eksekutif).

Undang-Undang merupakan peraturan perundangan guna melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Di antara urusan yang harus ditetapkan dengan undang-undang adalah pengelolaan keuangan negara.

Untuk mengatur keuangan negara, pemerintah bersama DPR telah berhasil menyepakati paket UU Keuangan Negara yang terdiri atas:

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan


Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 
Dalam ketiga undang-undang di atas secara jelas ditetapkan kewenangan apa saja yang dimiliki oleh DPR dalam pengelolaan keuangan negara.

Dalam perencanaan dan penganggaran, DPR memiliki wewenang yang sangat besar. Pemerintah harus menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro kepada DPR sebagai awal penyusunan APBN. Dalam tahap selajutnya, misalnya pembahasan prioritas dan plafon anggaran, pembahasan RKAKL, dan penetapan RAPBN menjadi APBN tidak akan lepas dari pengawasan dan persetujuan DPR.

Bahkan, apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN dari Pemerintah, maka Pemerintah Pusat hanya dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya (Pasal 15 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2003).

Secara keseluruhan, kewenangan DPR dalam penyusunan dan penetapan APBN diuraikan dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 15 UU Keuangan Negara.

Berbagai ketentuan dalam undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari wewenang DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Anggaran harus ditetapkan dengan undang-undang, DPR terlibat langsung dalam penyusunan anggaran, dan DPR juga melakukan pengawasan anggaran sedini mungkin, yakni sejak anggaran (APBN) disusun.

Dalam pelaksanaan APBN, yakni eksekusi program/kegiatan anggaran dan pencairannya, DPR berwenang untuk melakukan pengawasan. Eksekusi program/kegiatan anggaran menjadi kewenangan Pengguna Anggaran yang terdiri atas para menteri dan pimpinan lembaga nonkementerian di bawah Presiden.

Para pelaksana program/kegiatan anggaran disebut dengan istilah Pengguna Anggaran yang didefinisikan sebagai pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah (Pasal 1 angka 12 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

Sepanjang tahun pelaksanaan anggaran, Pemerintah Pusat harus menyampaikan Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya kepada DPR.

Hal ini dimaksudkan antara lain untuk memperkuat fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam merealisasikan program/kegiatan anggaran. Kewenangan lain selama pelaksanaan anggaran adalah pembahasan dan penetapan APBN Perubahan.

Untuk tahap pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran, peran dan kewenangan DPR juga sangat besar.
Bahkan untuk keperluan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan, konstitusi menetapkan adanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan mandiri (Pasal 23E ayat (1) UUD 1945).

Anggota lembaga tinggi negara ini pun dipilih oleh DPR (Pasal 23F ayat 1). Para anggota DPR memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Walaupun mereka tidak memiliki latar belakang akuntansi ataupun pengelolaan keuangan negara, fungsi pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara harus tetap dijalankan. BPK seolah menjadi "tangan kanan" DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan pemerintah.



                                              Filosofi Pengelolaan Keuangan Negara
Demokrasi telah menjadi pilihan bangsa Indonesia dalam menata kehiduan bernegara. Dengan demokrasi diharapkan tidak ada pemegang fungsi/kewenangan tunggal yang tidak dapat dikontrol oleh pihak/lembaga lain.

Konstitusi telah menetapkan lembaga tinggi negara yang berwenang untuk melaksanakan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di samping ketiganya, juga ada fungsi konstitutif (kewenangan mengubah dan menetapkan UUD) yang dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Presiden memegang fungsi eksekutif dan legislatif. Sedangkan fungsi yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Para lembaga tinggi negara tersebut tidak saling membawahi yang satu dengan yang lainnya. Tidak diperkenankan juga sebuah lembaga tinggi pemegang fungsi tertentu mengambil fungsi lembaga tinggi yang lainnya.

Mengubah dan menetapkan UUD telah menjadi fungsi yang diemban oleh MPR, untuk itu tidak dibenarkan apabila ada lembaga tinggi lainnya yang mengubah dan menetapkan UUD. Tindakan tersebut akan menjadi tindakan yang tidak sesuai konstitusi (inskonstitusional).

Dalam pengelolaan keuangan negara, penggunaan anggaran (mengeksekusi program dan kegiatan anggaran) telah menjadi wewenang eksekutif (Presiden dan aparatur di bawahnya).

Apabila wewenang ini diambil oleh lembaga tinggi negara lain, baik sebagian maupun seluruhnya, tentu akan menjadi tindakan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 (inkonstitusional).

Di samping itu, memberikan kewenangan penggunaan anggaran kepada lembaga tinggi negara selain eksekutif, kepada DPR misalnya, akan berarti menempatkan DPR berada di bawah Presiden.

Hal ini tentu sangat merendahkan lembaga perwakilan rakyat yang secara konstitusi memiliki kedudukan yang seimbang dengan Presiden (sama-sama lembaga tinggi negara).

Secara filosofi, pengelolaan keuangan negara juga dibangun dengan asas demokrasi, yakni adanya keseimbangan kewenangan antarpihak.

APBN adalah uang milik rakyat. Uang tersebut dikumpulkan dari pajak, bea cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan penerimaan lainnya yang dibayarkan oleh rakyat kepada negara.

Untuk itu, agar uang tersebut dapat digunakan, maka izin dan persetujuan dari rakyat harus diperoleh Pemerintah.

Dalam penyelenggaraan negara, rakyat telah mewakilkan kepada para wakil rakyat yang dipilihnya dalam pemilihan umum.

Dengan demikian, APBN untuk dapat dilaksanakan dan digunakan oleh Pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat (DPR), yakni diundangkan dalam bentuk Undang-Undang APBN.

Setelah APBN diundangkan, maka penggunaan uang APBN menjadi wewenang eksekutif (Presiden/pemerintah). Lembaga wakil rakyat berperan dan berfungsi sebagai lembaga yang mengawasi penggunaan anggaran tersebut.

Posisi pemerintah sebagai pelaksana anggaran sedangkan DPR sebagai pengawasnya. Segala program/kegiatan dan pencairan anggaran juga harus dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah kepada rakyat selaku pemilik uang negara.

Secara kelembagaan, pelaporan dan pertanggungjawaban tersebut disampaikan kepada DPR selaku wakil rakyat.

Di lingkungan intern pemerintah, mekanisme pengelolaan keuangan negara juga dirancang sedemikian rupa sehingga antarpihak terjadi saling uji (check and balance).

Hal ini senada dengan kewenangan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan konstitutif yang membentuk keseimbangan kekuasaan sehingga tidak ada single power yang tidak bisa dikontrol oleh pihak lain.

Dibawah Presiden terdapat Pengguna Anggaran dan Bendahara Umum Negara (BUN). Pengguna Anggaran yang terdiri atas pimpinan kementerian/lembaga berwenang untuk menggunakan dan mengoperasionalkan anggaran (chief operational officer).

Sementara itu, Bendahara Umum Negara dijabat oleh Menteri Keuangan yang berwenang untuk me-manage anggaran dan keuangan negara secara keseluruhan (Chief Financial Officer).

Hubungan antara keduanya dirancang dengan Pengguna Anggaran sebagai pihak yang harus aktif dalam melaksanakan dan mencairkan anggaran.

Sementara itu, BUN merupakan pihak yang memegang rekening Kas Umum Negara akan melakukan kontrol terhadap setiap tagihan terhadap Kas Umum Negara yang diajukan Pengguna Anggaran.


                                                                           Penutup
Kemunculan dana aspirasi untuk para anggota DPR akan memberikan wewenang kepada mereka untuk ikut serta menggunakan anggaran. Hal ini akan mendudukannya sebagai pengguna anggaran yang posisi dalam pengelolaan keuangan negara berada di bawah Presiden.

Dengan demikian, pemberian dana aspirasi dan kewenangan anggota DPR untuk menggunakannya berarti merendahkan posisi terhormat wakil rakyat.

Apabila para anggota DPR ikut melaksanakan anggaran, maka pelaksanaan fungsi mereka sebagai pengawas pemerintah akan kabur. Pengawas yang merangkap sebagai pelaksana dalam sebuah kegiatan tentu akan menimbulkan conflict of interest sehingga fungsi pengawasan tidak akan berjalan efektif.

Seorang wasit yang merangkap sebagai pemain tentu akan kesulitan untuk dapat berlaku objektif dalam melakukan pengawasan. Hal lain yang akan muncul adalah tidak adanya lembaga yang mampu memeriksa secara objektif pelaksanaan dan realisasi dana aspirasi tersebut.

Walaupun BPK memiliki posisi yang sama dengan DPR (sama-sama lembaga tinggi negara), tetapi anggota BPK dipilih oleh DPR sehingga sangat sulit bagi BPK untuk objektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan dan realisasi dana aspirasi tersebut.

Meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok negeri menjadi tugas semua elemen bangsa dan negara. Tentu masih banyak cara yang tidak bertentangan dengan konstitusi untuk meningkatkan dan meratakan kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok negeri.

Apabila dana aspirasi merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan undang-undang pengelolaan keuangan negara harus diubah dahulu agar pelaksanaan dana aspirasi menjadi konstitusional. Semoga tulisan ini bermanfaat, amin.


*) Penulis adalah widyaiswara Kementerian Keuangan pada Balai Diklat Keuangan Malang dan doktor ekonomi Islam alumni UIN Alauddin Makassar.








Pewarta : Dr Achmat Subekan
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024