Tidak dapat dipungkiri, jaman sekarang adalah jamannya gadget. Dari anak kecil sampai orang tua sudah mengenal dan memakai smartphone khususnya masyarakat di perkotaan.

Dengan jaringan telekomunikasi yang menyebar dan relatif merata di seluruh penjuru negeri, semakin banyak lagi masyarakat yang sudah melek teknologi dan memanfaatkan berbagai aplikasi teknologi berbasis telepon pintar baik untuk komunikasi, bersosial, membuka informasi, bermain game, memesan tiket pesawat, hotel, untuk berjual-beli bahkan layanan ojek juga memakai aplikasi ini.

Itulah dunia kita sekarang. Yang dulunya jika mau naik pesawat terbang, pesan dan beli tiket dulu di travel-travel/agen perjalanan, sekarang tinggal pesan dan beli bahkan check-in lewat smartphone.

Yang dulunya banyak belanja pulsa untuk menelpon atau panggilan suara, sekarang banyak belanja pulsa untuk bersosial di dunia maya. Yang dulunya beli sepatu di pasar, sekarang beli sepatu di toko-online.

Dalam beberapa bulan terakhir, jika Anda ke Jakarta atau ke kota-kota besar lainnya di Indonesia dengan tingkat kemacetannya yang boleh dibilang sudah menjadi makanan sehari-hari warganya seperti Bandung atau Surabaya, bisa sekali waktu Anda akan berjumpa dengan layanan ojek yang ojekernya (meminjam istilah kerennya) berjaket dan berhelm seragam.

Tidak seperti ojek konvensional, layanan ojek ini menggunakan aplikasi Android atau iOS dengan bermodal telepon pintar yang Anda punyai untuk menemukan tukang ojek di sekitar tempat Anda berada kemudian memesan dan meminta untuk diantarkan ke tempat tujuan Anda dengan pembayaran non kas dan tarif yang sudah terstandar sehingga Anda tidak perlu merasa tertipu atau merasa membayar lebih mahal dari yang seharusnya.

Dalam perkembangannya, layanan ojek seperti Go-Jek, Grab-Bike maupun layanan serupa yang terus bermunculan seperti OJESY singkatan dari Ojek Syari atau ada juga Jeger Taksi telah menimbulkan fenomena baru yang mendapat tanggapan pro dan kontra.

Beberapa pengamat menyatakan layanan angkutan berbasis roda dua ini melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pemerintah melalui Kemenhub belum memberikan ijin.

Pemerintah kota atau propinsi mempermasalahkan pembayaran pajak atau retribusinya sebagaimana angkutan umum lainnya seperti perusahaan taksi, travel, PO Bus atau angkutan kota. Pengamat lain mengapresiasi adanya layanan tersebut karena dapat mengurangi angka pengangguran.

Sehingga sampai dengan saat ini layanan seperti Go-Jek maupun Grab Bike masih menyisakan permasalahan pro dan kontra baik ijinnya, pajaknya, peluang kerja, persaingan maupun dampak sosialnya.

Dari sisi perpajakan, ada suatu peluang atau potensi yang dapat ditangkap dari fenomena ini. Dari beberapa sumber berita nasional, didapat bahwa minat orang sebagai tenaga ojeker yang tergabung dalam Grab Bike maupun Go-Jek saat perusahaan itu membuka pendaftaranya mencapai ribuan orang. Memang belum ada data pasti berapa jumlah ojeker yang telah terdaftar.

Ada satu hal yang menarik kenapa banyak orang berminat dalam perekrutan besar-besaran sebagai tenaga ojeker ini yang bisa mencapai ribuan orang, karena menjanjikan penghasilan atau penghasilan tambahan yang lumayan. Banyak ojeker berprofesi sebagai karyawan swasta, pedagang, atau bahkan mahasiswa.

Tambahan penghasilan sebesar Rp 7 -8 juta perbulan menjadi daya tariknya menurut berbagai sumber. Bila dilihat dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), layanan ini seharusnya dapat dimasukkan ke dalam objek yang seharusnya terutang PPN.

Layanan angkutan atau jasa ini secara faktual tidak termasuk dalam jasa angkutan umum yang dikecualikan sebagai objek PPN sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 80/PMK.03/2012. Hal ini karena jasa ini tidak menggunakan kendaraan yang menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.

Lalu berapa potensi pajaknya?

Jika ada sekitar 2 ribu sampai dengan 3 ribu pengendara atau ojeker dengan penghasilan atas jasanya rata-rata sekitar Rp 100 ribu-Rp 200 ribu per orang per harinya, maka ada potensi PPN sekitar Rp 10 juta-Rp 60 juta perhari dari perusahaan pengelola layanan tersebut.

Dalam sebulan dengan hitungan moderat bisa didapat potensi PPN yang terutang sebesar Rp, 1,2 milyar. Bagaimana yang terkait dengan Pajak Penghasilan? Dari beberapa sumber menyatakan bahwa ongkos layanan ojek beraplikasi ini dibagi 80% untuk pengendara dan pengelola kebagian 20%.

Dari sini dapat dihitung dengan penghasilan rata-rata per ojeker sebagaimana di atas maka penghasilan untuk pengelola adalah sekitar Rp. 150 juta perhari dengan asumsi pengelola mempunyai 3 ribu ojeker aktif. Dalam sebulan, perusahaan pengelola dapat membukukan penghasilan bruto sebesar Rp. 4,5 milyar.

Tentu saja ada potensi PPh yang cukup besar di situ belum lagi jika ditambahkan PPh atas ojeker bila bisa dijaring melalui mekanisme pemotongan. Dari hal tersebut di atas dapat digambarkan adanya suatu fenomena baru berupa bisnis yang sedang berkembang pesat disaat mungkin bisnis lainnya sedang dilanda kelesuan.

Model bisnis telah berubah, peta persaingan juga telah berubah karena preferensi konsumen yang berubah. Akan muncul pemain-pemain baru dengan model baru yang akan menggantikan atau menggeser yang lama secara alamiah.

Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh otoritas pajak untuk terus mengawasi, memperhatikan dan melihat peluang potensi penerimaan dari berbagai sektor bisnis yang lagi berkembang di saat sektor lainnya membukukan penerimaan pajak yang pertumbuhannya melambat.

Para pengamat ekonomi dengan berbagai analisanya memang menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia dalam proses perlambatan dan kurang setuju jika kondisi saat ini disebut sebagai krisis kedua setelah tahun 1998. Tidak perlu melihat indikator ekonomi yang memusingkan seperti cadangan devisa atau tingkat pertumbuhan ekonomi.

Tapi bisa dilihat dari konsumsi dalam negeri Indonesia yang masih tinggi menurut pengamat ekonomi (detikFinance, 31/8/2015). Sebagai contoh, konser penyanyi pop Ariana Grande pekan lalu harga tiketnya Rp 800.000 sampai Rp 6 juta per orang ludes terjual kepada 11.000 penggemar.

Selain itu, konser penyanyi grup rock Bon Jovi yang akan datang, belum konser saja sebanyak 40.000 tiket dengan harga kisaran Rp 500.000 sampai Rp 3,5 juta sudah habis terjual. Contoh lain adalah ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) yang baru saja rampung. Ajang tersebut dihadiri 451.654 orang dan berhasil terjual 17.077 unit mobil baru senilai Rp 5,4 triliun.

Di ajang lain, pameran Indonesia Internasional Motor Show (IIMS) 2015 mencatat transaksi penjualan sebesar Rp 1,636 triliun dari hasil penjualan 4.894 unit mobil dan sepeda motor. Jadi masih percaya RI sedang krisis ekonomi? Kata pengamat tersebut.

Menarik apa yang pernah disampaikan Rhenald Kasali tentang sudden shift (Kompas.com, Senin, 24 Agustus 2015). Sudden shift adalah gejala perubahan mendasar sebagaimana adanya isu tentang shale gas, yang kalau sampai kongres Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk dieksplor dan diekspor, maka harga gas dunia akan turun.

Data itu rupanya segera direspons oleh para pemain saham yang mengakibatkan harga-harga saham perusahaan tambang batubara menjadi anjlok. Inilah gejala perubahan mendasar yang disebut 3S: sudden shift, speed, dan surprise!".

Tiba-tiba bisnis berubah, secara cepat dan mengejutkan. Faktanya, konsumennya tetap di situ, populasinya tetap besar (8 miliar jiwa), semuanya butuh makan, minum, transportasi, gadget, hiburan, dan sebagainya.

Akan tetapi, siapa yang menikmati perpindahan itu? Hal inilah yang memberikan gambaran tantangan bagi otoritas perpajakan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak untuk terus berupaya mencari-dan mencari lagi peluang-peluang penerimaan dari pajak dari berbagai macam sektor bisnis di saat adanya perlambatan ekonomi demi menjaga tercapainya target penerimaan pajak tahun 2015 sebesar Rp. 1.300 triliun.

Isu krisis atau perlambatan ekonomi kalau bisa sebaiknya disisihkan sebentar. Bagaimana menangkap fenomena sudden shift sebagai bagian peluang penerimaan pajak mungkin relevan untuk segera dilakukan. Sebagaimana diungkap oleh Rhenald Kasali, siapa yang sekarang sedang menikmati suddent shift.

Karena konsumennya tetap ada, populasinya tetap besar, dan ada lebih 250 juta jiwa di Indonesia, semuanya butuh makan, minum, transportasi, hiburan dan sebagainya. Inilah yang menjadi tantangan bagi fiskus untuk terus mencari dan menggali potensi perpajakan ke segala penjuru.

Sebagaimana contoh fenomena ojek di atas, bisa jadi tukang-tukang ojek pangkalan mengeluh bahwa pendapatan mereka merosot akhir-akhir ini dan segera menyalahkan pemerintah yang tidak bisa mengerem kenaikan dolar AS. Padahal bisa jadi langganannya telah beralih naik Go Jek atau Grab Bike karena alasan-alasan yang lebih masul akal.

Boleh jadi pengusaha-pengusaha di sektor pertambangan atau komoditas lainnya menanggung kelesuan saat ini, tetapi mungkin para pengusaha di sektor infrastruktur harus menambah tenaga kerja karena banyaknya tender yang harus mereka kerjakan.

Pedagang-pedagang baju di pasar juga bisa jadi sekarang mengaku berkurang omzetnya, sementara mungkin toko-toko online seperti Lazada, Zalora, Bukalapak dan lainnya kebanjiran pesanan. Siapakah yang sekarang lagi menikmati “kue” atau “keuntungan ekonomis” dari fenomena ini? Karena sekecil apapun “kue”nya harus digali potensi pajak yang dapat dihasilkan.

Hal itulah yang menjadi pekerjaan rumah bagi fiskus mencari, mengantisipasi dan menjaringnya di dalam rangkaian ekstensifikasi maupun intensifikasi perpajakan guna mengamankan target penerimaan pajak tahun ini. Ayo…DJP Bisa !!!

*) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak  Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Pewarta : Aidin Fathur Rahman
Editor :
Copyright © ANTARA 2024