Jakarta, (Antara Sulsel) - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mendesak pemerintah membuat kerangka kebijakan kepemudaan karena hingga satu1 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK belum menemukan perbaikan yang signifikan dari permasalahan – permasalahan kepemudaan. 

Ketua Balitbang PB HMI, M. Ardiansah Laitte mengemukakan hal itu di Jakarta, Rabu, dalam publikasi hasil penelitian Evaluasi 1 Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK dalam Pemanfaatan Bonus Demografi, Revolusi Mental, dan Pembangunan Kepemudaan yang dilaksanakan di Sekretariat PB HMI.

Beberapa tahun belakangan diskursus tentang bonus demografi sedang naik daun di dalam negeri. 

Banyak diantara pejabat publik di republik ini yang mengungkapkan optimismenya akan masa depan Indonesia yang lebih baik mengingat rendahnya rasio ketergantungan akibat besarnya jumlah angkatan kerja yang kita miliki. 

Kondisi demografis ini berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan perbaikan pada kualitas sumber daya manusia. 

Menurut lembaga demografi FE-UI Rasio ketergantungan ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2025 dengan menyentuh angka 0, 46 yang artinya dari 100 orang produktif hanya menanggung 46 orang yang tidak produktif. 

"Yang harus kita garis bawahi adalah besarnya tingkat angkatan kerja yang kita miliki tidak serta merta meningkatkan pertumbuhan ekonomi," katanya. 

Ardiansah Laitte menerangkan bahwa Bonus Demografi ini dapat menjadi "window of opportunity" jika pemerintah membuat Kebijakan Nasional Kepemudaan yang terintegrasi dan melibatkan semua stakeholder dari lintas sektor yang berbeda. 

Harmonisasi kebijakan ini haruslah memperhatikan laju pertumbuhan dan sebaran penduduk, tingkat pendidikan dan produktivitas, serta akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Dan tidak lupa pula adanya partisipasi publik dalam proses politik di Indonesia. 

Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan setiap pemuda di Indonesia terbuka peluangnya untuk menjadi tenaga kerja yang produktif sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja di masa yang akan datang.

Hal ini senada dengan Laporan World Development 2007 dari Bank Dunia yang menjelaskan bahwa negara-negara berkembang yang berinvestasi pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pelatihan kerja untuk penduduk di usia 12-24 tahun dapat memperoleh hasil dari bonus demografi melalui peningkatan ekonomi dan pengurangan tingkat kemiskinan.  

Kebijakan Kepemudaan Nasional yang terintergrasi menjadi sangat mendesak karena hingga 1 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK, kita belum menemukan perbaikan yang signifikan dari permasalahan – permasalahan kepemudaan. 

Kementerian Pemuda dan Olahraga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembangunan kepemudaan tidak cukup mumpuni dalam menghadapi kompleksnya masalah yang muncul seperti tingkat pengangguran pemuda yang tinggi 75,7 persen atau 5,5 juta jiwa dari total tingkat pengangguran terbuka dibarengi dengan rendahnya akses pendidikan dan kesehatan, sebaran pemuda yang tidak merata (79,15 persen masih terkonsentrasi di pulau jawa dan sumatera), serta rendahnya partisipasi pemuda dalam proses politik di Indonesia.

Hal yang kemudian luput dari perhatian publik adalah Indonesia tergolong lambat dalam mempersiapkan pemanfaatan bonus demografi ini. 

Dalam kesempatan yang sama, M. Arief Rosyid Hasan, Ketua Umum PB HMI menyatakan, Indonesia sejak tahun 2012 telah memasuki fase Bonus Demografi dan sampai sekarang belum ada kerangka kebijakan integral yang lebih fokus pada kelompok umur pemuda. 

Pada tahun 2015 jumlah pemuda Indonesia mencapai angka 67,89 juta jiwa atau sebesar 26,57 persen. Artinya 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah pemuda. Angka ini cenderung terus meningkat sampai tahun 2005. 

Jika tidak ditangani dengan baik mulai dari sekarang, bonus demografi yang selama ini menjadi harapan untuk memajukan Indonesia dapat menjadi "window of disaster" karena besarnya beban sosial yang harus ditanggung. Hal ini menjadi sangat mendesak mengingat peluang ini hanya akan terjadi dalam waktu yang relatif pendek.

Momentum sumpah pemuda ini seharusnya menjadi momen yang tepat dalam merevitalisasi peran strategis pemuda dengan menjadikannya sebagai prioritas pembangunan. 

Ketua Umum PB HMI menambahkan, selama ini peran strategis pemuda dan torehan sejarah yang bermakna dalam kehidupan berbangsa seolah menjadi euphoria yang tanpa sadar membuat kita lupa bahwa nyatanya hari ini pemuda telah menjadi satu permasalahan yang harus dibenahi. 

Jargon Revolusi Mental yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi – JK mengisyaratkan pentingnya melakukan perubahan pada sistem mental bangsa agar dapat tetap bertahan di tengah tuntutan zaman. Upaya dalam mencapai visi besar ini tentunya menjadi berada di pundak generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus estafet pembangunan. 

"Sayangnya, setahun pemerintahan Jokowi-JK kita belum menemukan komitmen yang jelas untuk menempatkan pemuda sebagai prioritas pembangunan," katanya. 

Publikasi Hasil Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi kepemudaan hari ini dan memberikan pemahaman tentang urgensi lahirnya Kerangka Kebijakan Kepemudaan Nasional sebagai pedoman dalam melakukan harmonisasi kebijakan lintas sektoral. 

Hadir pula sebagai penanggap dalam Publikasi Hasil Penelitian ini, Anggota Tim Pokja Revolusi Mental Kementeran Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Ahmad Mukhlis Yusuf.

Ketua Yayasan Mahkota Insan Cita Hanifah Husein Ferry Mursyidan, dan Direktur Bidang Agama, Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kementerian PPN / Bappenas Dr. Hadiat, MA.







Pewarta :
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024