Makassar (ANTARA Sulsel) - Komisi Pengawas Persainngan Usaha (KPPU) menyatakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bisa bangkrut karena adanya kartel obat.

"Ini sementara kita terus lakukan pengawasan karena akan sangat berbahaya jika perusahaan farmasi ini bersekongkol dalam menetapkan harga obat," tegas Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Makassar, Minggu.

Dia mengatakan, besarnya beban biaya yang harus ditanggung oleh layanan kesehatan BPJS untuk menebus obat-obat tertentu atau obat paten ditengarai bisa merusak neraca keuangan.

Syarkawi Rauf yang menjadi pembicara dalam Seminar Nasional di Makassar menyebutkan jika 201 perusahaan obat (farmasi) yang beroperasi di Indonesia itu ada juga perusahaan internasional atau asing.

Dari jumlah tersebut, diketahui ada 26 perusahaan asing farmasi dan hanya 5-7 perusahaan asing lainnya yang fokus dalam pengembangan dan produksi obat paten.

"Harga obat paten ini yang sangat-sangat mahal dan menguras biaya pengobatan konsumen, terlebih jika obat itu ditanggung oleh layanan kesehatan kita," katanya.

KPPU selama beberapa bulan ini terus melakukan pengawasan intensif terhadap industri kesehatan khususnya dibidang Farmasi terkait alur perdagangan obat tersebut.

"Terkait tingginya harga obat, secara khusus Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan kepada KPPU untuk memeriksa alur jual beli obat di Indonesia," ungkapnya.

Diketahui, Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah warga negara yang cukup besar yaitu pada 2014 mencapai 252.164.800 jiwa dan diproyeksikan pada 2019 mencapai 268.074.600 jiwa.

Berdasarkan potensi pertumbuhan jumlah pendudukn ini, juga menjadi peluang bagi pelaku usaha di bidang industri kesehatan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnisnya.

Tercatat pada 2014 Industri farmasi di Indonesia berhasil mencatatkan omzet Rp52 triliun dan pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh 11,8 persen menjadi Rp56 triliun.

"Obat-obatan dengan resep dokter berkontribusi 59 persen dan obat bebas atau generik sebesar 41 persen dari keseluruhan pasar," katanya.

Syarkawi mengaku jika dari nilai kapitalisasi industri tersebut perusahaan farmasi nasional menguasai pangsa pasar sebesar 70 persen dan 30 persen sisanya dikuasai oleh perusahaan farmasi asing.

Namun demikian perkembangan industri farmasi tersebut di atas ternyata tidak berbanding lurus dengan kemudahan akses masyarakat Indonesia terhadap obat murah dan pelayanan kesehatan yang terjangkau.

"Inilah yang menjadi permasalahannya dan ini yang akan kita awasi. Ini juga perintah langsung dari Pak JK," sebutnya.

Dalam menindaklanjuti hal tersebut KPPU akan menggelar dengan pendapat dengan mengundang Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Perindustrian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Juga pihak dari United Nations Development Programme (UNDP), World Health Organization (WHO) dan Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI).

"Melalui hearing ini, diharapkan KPPU akan mendapatkan masukan dari stakeholder industri kesehatan dan mendapatkan informasi serta data yang diperlukan guna melakukan analisa persaingan usaha terkait industri Farmasi," terangnya.

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024