Jakarta, (Antara) - Pengamat penerbangan Chappy Hakim mengemukakan, beberapa kemajuan berhasil dicapai dunia penerbangan komersial nasional dalam kurun waktu setahun terakhir, namun sejumlah persoalan penting harus segera di atasi mulai awal 2016.

"Ada beberapa kemajuan dalam penerbangan sipil nasional selama setahun terakhir," katanya dalam "Media Gahtering Kaleidoskop Penerbangan Indonesia Tahun 2015" di Ruang Adam Malik Perum LKBN Antara di Wisma Antara Jakarta, Rabu.

Menurut Chappy, kemajuan yang bisa dilihat publik adalah sikap tegas pemerintah dalam menegakan aturan penerbangan. Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan mulai terlihat mampu memposisikan diri sebagai regulator.

Selama 10-15 tahun terakhir terkesan bahwa operator terlihat lebih dominan dan cenderung memberi persepsi di masyarakat luas seolah "bebas" bertindak sekehendak sendiri. Regulator banyak dinilai mudah diatur atau didikte oleh operator (maskapai penerbangan).

Dalam setahun terakhir, operator mulai menunjukan posisinya dalam penegakan aturan peberbangan secara tegas. "Indikasi itu jelas sekali. Maskapai penerbangan yang selama ini terkesan sebagai 'anak emas' mulai tidak nyaman dengan kebijakan yang diambil Kementerian Perhubungan," tutur mantan Kepala Staf TNI AU itu.

Izin rute penerbangan sudah tidak semudah dulu lagi diperoleh atau diatur-atur sesuai keinginan operator. Izin membangun bandara yang diajukan pihak swasta ditolak karena alasan peraturan keselamatan penerbangan internasional.

Apabila sebuah maskapai mengalami kecelakaan, maka dikenakan sanksi. Misalnya, pengembangan rutenya distop sementara.

"Ditjen Perhubungan Udara mulai mampu memposisi diri sebagai regulator. Semua itu demi keamanan penerbangan. Misalnya, ada investor swasta mau membangun bandara ditolak dengan alasan keselamatan penerbangan," ucapnya.

Dia mengatakan, penegakan disiplin, pengawasan ketat dan tindakan tegas memacu kamajuan dunia penerbangan komersial nasional. "Itu membuat dunia penerbangan lebih baik setahun ini," tukasnya.

    
Peringkat
Namun, pencapaian tersebut belum mampu mengangkat peringkat penerbangan komersial nasional dari kategori 2 "Federal Aviation Administration" (FAA) yang mengacu kepada regulasi keselamatan penerbangan sipil yang dikeluarkan "International Civil Aviation Organization" (ICAO). Hal itu berarti Indonesia belum mampu memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan sipil internasional.

Indikasi yang menonjol, banyak kecelakaan pesawat terbang yang menunjukan kegagalan mempersiapkan SDM penerbangan dan infrastruktur dalam menyikapi pertumbuhan jumlah penumbang rata-rata 10-15 persen per tahun. Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, mengalami pertumbuhan penumpang tiga kali lipat yang berakibat "delay" hingga 10-12 jam.

Ketika terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah penumpang, otoritas penerbangan tidak melakukan antisipasi. Padahal, pertumbuhan itu sudah bisa diprediksi.

Chappy Hakim, putra wartawan Antara Abdul Hakim itu menyayangkan, solusi yang ditempuh untuk mengatasi lonjakan jumlah penumpang adalah "memberdayakan" bandara udara militer untuk penerbangan komersial. Solusi itu seharusnya dipersiapkan lebih matang agar tak ada pihak yang dirugikan.

Terjadinya peningkatan 10-15 persen jumlah penumpang per tahun seharusnya sudah bisa diantisipasi. Pertumbuhan dan fenomenanya juga sudah bisa diprediksi.

Bandara Soekarno-Hatta memiliki kapasitas penumpang 20-22juta pertahun. Namun, dengan terjadinya peningkatan jumlah penumpang hingga tiga kali lipat, potensi "delay" akan semakin lama.

"Solusinya sangat lamban. Kemudian diselesaikan dengan membuka penerbangan komersial di Halim. Hal itu berpengaruh terhadap penilaian ICAO," tukasnya dalam diskusi yang dibuka Dirut Perum LKBN Antara Syaiful Hadi dan menghadirkan pembicara Samudra Sukardi serta Edwin Sudarmo dari CSE Aviation.

Menurut dia, semua organisasi dan regulasi sudah tertata rapi. Begitu pula regulator mulai menunjukan sikap tegasnya. "Tetapi kita kekurangan tenaga penerbangan. Ini tantangan besar kita tahun depan," imbuhnya.

    
Fakta
Sedangkan Edwin Sudarmo mengemukakan sejumlah fakta terkait pernebangan pada 2015. Pada Februari para penumpang merusak fasilitas di Bandara Soekarno-Hatta akibat "delay" Lion Air. Pada April ada penumpang menyelinap masuk "landing gear" pesawat yang terbang dari Riau menuju Jakarta.

Pada Juni terjadi kecelakaan Hercules TNI AU di Medan yang menewaskan 139 orang, pada Juli terjadi kebakaran di Terminal 2F Soekarno-Hatta. Pada Agustus terjadi kecelakaan ATR Trigana di Papua yang menewaskan 54 penumpang.

Dari sisi aksiden dan insiden, pada 2014 terjadi empat kasus meningkat menjadi 14 tahun 2015. Sedangkan dari sisi jumlah penumpang yang menjadi korban juga meningkat dari 162 pada 2014 menjadi 208 tahun 2015.

Lokasi kecelakaan sebagian besar di Papua (36 persen), Sumatera (29), Bali-NTB (14), Jawa, Kalimantan dan Sulawesi masing-masing tujuh persen. Sedangkan fase terbang saat kecelakaan sebagian besar (64 persen) ketika mendarat atau "landing", 29 persen dalam penerbangan dan sisanya (7 persen) saat "take off".

Di samping terjadi masalah dan musibah, diakhir 2015 ada yang menggembirakan, yaitu peresmian hanggar 4 GMF dan "roll out" N219.

    
Keamanan
Sedangkan Samudra Sukardi menyoroti keamanan dan kenyamanan bandara di Indonesia. Untuk peringkat 10 peringkat bandara, Sultan Syarief Kasim II Pekanbaru menempati urutan pertama dengan angka 95 persen. Lima bandara lainnya, yaitu Kualanamu, Aji Sulaiman, I Gusti Ngurah Rai, Hang Nadim dan Juanda menempati peringat kedua dengan angka 90 persen.

Sentani peringkat tiga (85 persen), Minangkabau peringkat keempat (80 persen), selanjutnya Sultan Hasanudin Makassar (75 persen) dan Soekarno-Hatta sekitar 60 persen.

Sedangkan untuk "airport safety", delapan bandara mencapai angka 100 persen. Namun, Minangkabau dan Hasanudin Makassar baru sekitar 75 persen. Untuk "airport security" delapan bandara mencapai 100 persen, namun Hasanudin Makassar baru 80 persen dan Soekarno-Hatta hanya 20 persen.

Menurut Samudra Sukardi, banyak kesemerawutan yang tak bisa di atasi di bandara, terutama Soekarno-Hatta. "Orang nongkrong, kluyuran, modar-mandir, bikin tak nyaman. Terbang nggak tapi di bandara kadang  mondar-mandir juga. Mungkin cari penumpang atau apa," tambahnya.

Orang-orang itu mungkin sedang mencari rejeki tapi bikin semerawut di bandara. "Gak jelas apa kerjaan orang-orang itu. Dan itu seperti dibiarkan saja. Tidak bisa di atasi oleh otoritas terkait," kata salah satu putra mantan wartawan Antara Gandhi Sukardi itu.

Pada bagian lain, Samudra menyoroti hadirnya N219. N219 akan sangat prospektif jika Merpati masih ada. "Kalau Susi Air mau beli bagus juga," ucapnya.

Dia mengemukakan, belum ada komitmen lebih serius dari maskapai di dalam negeri untuk menggunakan pesawat itu. Begitu juga belum ada komitmen dari perbankan nasional terhadap "aircraft industry".

"Bank lebih senang kasih uang untuk membangun perumahan atau kredit kendaraan. Kalau gak bayar bisa disita asetnya. Akibatnya 'cost financial' (penerbangan) kita 'lari' ke asing," katanya. 

Pewarta :
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024