Makassar (ANTARA Sulsel) - Peneliti Kehutanan dari Univesitas Hasanuddin Dr Ashar meminta agar hutan adat suku kajang seluas 3013 hektere di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tidak perlu dimasukkan dalam amandemen undang-undang.

"Hutan adat harus dikelola dengan adat, tapi statusnya jangan menjadi hutan adat, karena kapan statusnya menajadi hutan adat maka masuk dalam amandemen Undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah lepas tangan sama sekali," katanya saat diskusi di gedung BaKTI, Makassar, Selasa.

Menurut dia, bila status telah di berikan maka kewenangan adat akan lebih besar, sementara pemerintah tidak akan mencampuri.Tetapi disisi lain ini berbahaya karena akan dimanfaatkan oleh segelintir oknum dan pihak swasta mengeloa semau-maunya tanpa ada aturan.

"Penetapan status harus dibicarakan secara baik bersama pemerintah, apabila ini masuk amandemen maka pengawasan pemerintah akan hutan tidak akan ada lagi," bebernya.

Pihaknya menyarankan agar kawasan hutan adat harus dibuat Kawasan Tujuan Khusus dan tidak perlu dilepas pemerintah setempat tentu bergandengan dengan adat tidak bisa dilepas begitu saja.

"Peranan pemerintah amsih diharapkan ke dalam sebagai penegak regulator bersama adat. Adapun yang melanggar tetap di hukum baik melalui adat mupun hukum pemerintah. Ada hukum saja masih ada melanggar apalagi kalau tidak ada," ungkap dia.

Kendati bila hutan ada Kajang ditetapkan statusnya dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi Hutan Adat maka dalam amandemen itu ditegaskan akan menjadi milik adat sepenuhnya serta pengelolaannya 100 persen dari adat.

"Makanya saya berharap bahwa ketentuan itu tidak boleh disamakan daerah lain di Indonesia. Selama saya melakukan penelitian hubungan pemerintah setempat dengan adat sangat mesra. Kalaupun ada yang melanggar itu berasal dari Kecamatan Kajang bukan kampung Labiria sebutan lama Kajang," tambahnya.

Mengenai dengan konflik masyarakat adat Kajang dengan PT London Sumatera (Lonsum) perusahaan karet terkait dengan penyerobotan lahan, memang terjadi tapi hanya segelir masyarakat yang punya lahan diluar hutan adat kajang tersebut.

"Kalau konflik PT Lonsum dengan masyarakat adat Kajang itu tidak ada secara utuh, melainkan beberapa warganya memang memiliki tanah diluar lahan adat kajang yang bersengketa, itu yang menjadi konflik," ujar dia.

Sementara Camat Kajang, Bulukumba Andi Buyung mengakui selama ini hutan dikawasan adat kajang masih menjadi HPT dan tidak pernah dilakukan pengrusakan. Hanya saja beberapa warganya melakukan penebangan pohon di hutan.

"Masyarakat Kajang memang bermitra dengan pemerintah, sebab ada Ammatoa atau pemimpin adat yang mengatur di kampung itu. Selama ini kami tidak jarang melakukan perdamaian ketika terjadi konflik dan semua selesai," katanya.

Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba Misbawati Wawo dalam diskusi itu mengatakan selama ini pihaknya memberikan kewenangan penuh adat mengelola hutannya hanya saja tetap mendapat pengawasan dari pemerintah.

"Hak adat kami berikan, meski tetap ada intervensi dari pemerintah dan tidak melepas begitu saja. Pemda dan Pemangku Adat tetap bersinergi dengan melakukan upaya pelestarian hutan apa yang ada sekarang," katanya.

Perwakilan lembaga Agroforestry and Forestry (AgFor) Sulawesi Agus Muliana menambahkan bahwa status memang diperlukan tetapi fungsi pengelolaan hutan adat juga diutamakan.

"Yang penting fungsi dulu bagaimana laha itu difungsikan. 3013 luas kawasan itu harus berfungsi, jalannya mesti kompromi,"tambahnya dalam diskusi mengangkat tema Pengaruh Penetapan Perda Masyarakat Adat dan Hutan Kajang di Bulukumba dihadiri LSM, aktivis, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel dan kalangan media.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024