Konvensi Partai Republik menetapkan Donald Trump sebagai Calon Presiden Amerika Serikat pada Pemilihan Presiden 2016 ini. Terpilihnya Trump sebagai calon presiden tersebut terjadi pada hari Selasa 19 Juli 2016 di Cheveland dengan perolehan suara 1.542 delegasi.

Yang patut kita garis bawahi dari sosok Trump adalah perihal retorika dan manuver politiknya yang kerap kali menuaikontroversi di mata publik yang berujung pada kecaman banyak pihak.

Kemudian, yang menjadi cacatan saya dalam tulisan ini adalah perihal statemen politik Trump yang menyatakan bahwa semua muslim dilarang masukAmerikaSerikat.

Pernyataan tersebut ia lontarkan sesaat setelah serangan teroris dan insiden penembakan masal di San Bernardino, California.

Tentu kita tidak habis pikir mengapa sosok seperti Trump –yang merupakan Calon Presiden Amerika Serikat— dengan begitu tegasnya menjadikan Islam sebagai ancaman besar yang patut untuk diwaspadai dan diperangi, terlebih bahwa pernyataan tersebut ia sampaikan secara resmi dalam kampanye politiknya.

Selamaini, Amerika selalu ingin dinilai sebagai suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi yang baik dan menjadi acuan bagi penerapan sistem demokrasi di negara-negara lainnya.

Akan tetapi, jelas bahwa mengangkat isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) dalam sistem demokrasi politik –seperti halnya yang dilakukan oleh Trump—  merupakan hal yang buruk dan tidak pantas untuk dicontoh oleh negara manapun di dunia ini.

                          Islam di Mata Trump
Donald Trump sudah keliru dalam menilai, memahami dan menyimpulkan agama Islam. Baginya, Islam syarat dengan kekerasan, radikalisme, intoleran, bahkan sampai pada kesimpulan bahwa Islam merupakan agama yang kerap melakukan aksi teror dengan bungkus ‘jihad’.

Seperti yang ditulisoleh The Guardian, Trump denganjelasmenyatakan: “our country cannot be the victims of horrendous attacks by people that believe only in jihad, and have no sanse of reason or respect for human life” (negara kita tidak bisa lagi menjadi korban penyerangan bagi mereka yang hanya mengerti soal jihad dan tidak punya rasa hormat terhadap kemanusiaan).

Memaknai konsep jihad seperti yang dipahami oleh Trump tentu merupakan kesalahan besar dan sangat fatal.

Trump keliru dalam mengartikan bahwa jihad adalah aksi teror yang kerap kali dilakukan oleh para teroris. Terlebih bahwa kekeliruan tersebut Trump lakukan saat menyamakan konsep jihad dengan aksi terorisme.

Islam secara umum dikambinghitamkan dan umat muslim yang menjadi korban atas tuduhan yang tak berdasar.

Dampak dari kesesatan berpikir dan statemen rasis Trump sangatlah berbahaya dan dapat menuai konflik baru yaitu konflik horizontal antar umat beragama.

Tuduhan Trump juga dapat mengakibatkan semakin meningkatnya Islamophobia di kalangan masyarakat internasional, khususnya warga Amerika Serikat.

Trump dengan sengaja menumbuhkan benih kebenciandan rasa takut di antara umat beragama.

Praktek diskriminasi terhadap warga muslim dari aspek sosial kemasyarakaan tentu suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang sangat fatal di era modern seperti saatini.

Trump juga sudah berlaku tidak adil ketika menyimpulkan bahwa aksi terorisme yang selama ini terjadi adalah penjelmaan dari agama Islam.

Perlu ditegaskan bahwa dalam agama apapun ada saja sebagian penganutnya yang berpahaman radikal dan kerap kali menjalankan aksi terorisme.
Islamopobia Akut

Sikap Donald Trump terhadap Islam adalah wujud dari Islamopobia yang berlebihan.

Aksi serangan teror gedung World Trade Center  pada 11 Maret 2001 dapat dikatakan sebagai awal mula ketakutan warga Amerika kepada umat muslim, karena kejadian tersebut –terlepas dari kontroversi yang ada— Islam dituduh sebagai pihak yang bersalah dan harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

Sejak saat itu sebagian besar warga Amerika terjangkit Islamopobia akut, termasuk salah satunya Donald Trump.

Runnymede Trust (1997) mendefinisikan Islamopobia sebagai rasa takut dan kebencian berlebihan terhadap Islam dan termasuk kepada semua umat muslim.

Dampak dari Islamofobia sangat signifikan terasa oleh umat muslim di dunia, terutama di Amerika.

Dalam konteks sosial kemasyarakatan, mereka mendapat perlakuan diskriminatif dalam banyak hal, termasuk dalam aspek budaya, ekonomidanpolitik.

Trump adalah salah satu contoh warga Amerika yang terjangkit penyakit Islamopobia.

Dan saat ini, kebenciannya terhadap Islam ia tampilkan dalam momentum politik praktis sehingga pendiskriminasian terhadap umat Islam benaradanya.

Namun perlu dicatat bahwa di manapun, terorisme tetaplah terorisme, ia tidak dapat disamakan dengan Islam ataupun agama lainnya.

Terorisme bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam. Islam, seperti yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid adalah sikap tunduk dan pasrah kepada Kebenaran Mutlak yang dalam aplikasinya tidak mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

                                                                   Islam Agama Rahmat
Tentu kita tidak ada kaitannya dengan perhelatan politik pada Pilpres Amerika, karena itu merupakan dinamika internal demokrasi politik warga negara Amerika.

Namun secara moral, sebagai bagian dari umat muslim dunia, kita berkewajiban untuk menyuarakan dan membela Agama Islam yang sedang dijadikan kambing hitam dan isu politik demi kepentingan ambisi politik seorang Trump.

Islam itu bersifat universal, nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya utuh dan menyeluruh.

Seperti yang termaktub di dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI, universalitas Islam meliputi aspek ketuhanan yang bernilai pada tauhid, kemanusiaan yang bernilai pada kemerdekaan individu dan kemasyarakatan yang bernilai pada keadilan sosial dan ekonomi.

Lebih dari itu, sebelum Amerika bersuara lantang tentang konsep Hak Asasi Manusia (HAM), Islam sudah sejak lama mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai kemanusiaan universal yang terhimpun dalam tujuan penetapan hukum Islam, atau Maqâsid al-Syar`iyah.

Maksud dari konsep tersebut bahwa tujuan dari adanya hukum Islam adalah demi kebaikan manusia (mashlahat) dimanapun dan kapanpun.

Menurut Imam al-Syathibi, Maqâsid al-Syar`iyah itu meliputi: [1] melindungi kebebasan beragama (hifdz al-dîn); [2] melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs); [3] melindungi kelangsungan keturunan (hifdz al-nasb); [4] melindungi hak milik (hifdz al-mâl); dan [5] melindungikebebasanberpikir (hifdz al-`aql).

Atas dasar kelima prinsiptersebut, Islam menjadi agama yang universal, dinamis serta mampu menyesuaikan keadaan, sekalipun pada zaman modern ini.

Itulah secara umum gambaran Islam yang ramah, cinta damai, toleran, serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan, bukan Islam seperti apa yang dituduhkan oleh Trump saat ia berkampanye.

Islam seutuhnya adalah seperti apa yang difirmankandalam Al-Qur`an: “dan tidaklah aku mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi semest aalam.”

Alhasil, sungguh suatu tindakan yang tak bijak ketika nanti –saat di mana Donald Trump memenangkan Pemilu dan menjadi Presiden Amerika Serikat— ia benar-benar menjalankan apa yang pernah terujar; ban all Muslims entering US. Lantas pertanyaannya adalah: siapa sebenarnya penjahat kemanusiaan itu?.

* Ketua Umum PB HMI Periode 2016-2018


Pewarta : Mulyadi P.Tamsir *
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024