Makassar (Antara Sulsel) - Sengketa lahan di tanah tumbuh yang dijadikan kawasan Central Poin of Indonesia (CPI) di jalan Metro Tanjung Bunga Makassar, Sulawesi Selatan kembali menuai masalah baru, sebab ada pihak mengklaim miliknya menyusul putusan Mahkamah Agung (MA).

Kondisi itu memancing reaksi dewan, selanjutnya menggelar rapat terkait persoalan tersebut di DPRD Sulsel, Rabu.

"Berdasarkan informasi dari berita media, ada orang lain bernama Abdul Latief Makka mengklaim lahan seluas 10 hektar di kawasan tanah tumbuh CPI miliknya, sesuai putusan dari MA, makanya kami heran," beber anggota DPRD Sulsel Kadir Halid usai memimpin rapat terkait hal itu di Makassar, Rabu.

Menurutnya, hal ini akan menjadi masalah baru, sebab lahan di CPI sudah dibiayai APBD hingga miliaran rupiah bahkan saat ini dikelola pihak ketiga yakni pengembang Ciputra grup. Selain itu, juga dipertanyakan apakah lahan di CPI sudah memiliki sertifikat.

Bahkan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, lanjutnya, pernah menegaskan bahwa lahan di CPI yang direklamasi itu punya sertifikat dan berkekuatan hukum, namun faktanya sampai saat ini belum ada bukti fisik yang ditujukkan.

"Sesuai hasil rapat tadi, Komisi D sepakat meminta sertifikat lahan dan bagian-bagian diperlihatkan, sebab sampai hari ini sertifikat itu dikatakan ada, tapi tidak ada. Kami juga pernah di undang di Rujab terkait keberadaan sertifikat itu, tapi administrasinya belum dilihat," beber Ketua Fraksi Golkar DPRD Sulsel ini.

Meski adanya masalah baru, pihak Pemerintah Provinsi diminta segera menanggapi masalah tersebut dan tidak lalai, karena menyangkut penganggaran, bila dibiarkan anggaran negara yang dikeluarkan untuk membiyayai pembangunan selama ini akan sia-sia.

Sejauh ini untuk penganggaran CPI telah digelontorkan kurang lebih total tiga ratus miliar sejak 2011-2016 dan tahun ini pun ditambahkan anggaran melalui APBD Pokok sebesar Rp91 miliar. Bahkan pihaknya ingin memperjelas mengapa tanah tumbuh bisa dimiliki perseroangan

"Kami di komisi D telah sepakat dilakukan rapat Banggar dulu, jangan sampai dibangun nantinya bukan Pemrov yang punya lahan tapi milik orang lain, mengingat anggaran yang dipakai cukup banyak dan mengalir terus. Kami akan memanggil pihak ahli waris dan Pemrov serta BPN untuk menjelaskan masalah ini," ungkap dia menegaskan.

Sebelumnya, ahli waris almarhum Abdul Latief Makka mengkalim lahan seluar 12 hektar di kawasan reklamasi CPI miliknya atas keputusan kasasi dari MA memenangkan gugatannya melawan Pemrov Sulsel. Diketahui lahan reklamasi CPI seluas 157 hektare lebih dikelola dua perusahaan besar yakni PT Yasmin Bumi Asri dan PT Ciputra grup

Secara terpisah, Kepala Biro Hukum Pemprov Sulsel Syamsu Rizal membantah putusan itu, pihaknya berdalih menang sejak putusan ditingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kemudian pihak penggugat mengajukan kasasi, belakangan di tolak MA sesuai hasil rapat permusyawaratan pada 21 April 2016.

Dalam amar putusan permohonan kasasi almarhum Abdul Latif Makka melalui ahli warisnya ditolak sesuai pada putusan bernomor 94/TUN/2016. Tiga gugatan yang dilayangkan, kata dia, semua di tolak dan Pemprov Sulsel menang mulai dari gugatan perdata di Pengadilan Negeri tingkat pertama.

"Dalam putusannya menolak kasasi dari pemohon kasasi H Abd Latief Makka tersebut. Menghukum pemohon kasasi membayar biaya perkara tingkat kasasi sebesar Rp500 ribu, diputuskan pada Kamis, 21 April 2016. Keputusan ini berkekuatan tetap atau inkract," ujarnya.

Bahkan putusan MA dengan register no 93/G/2005/PTUN.MKS tertanggal 29 Juli 2016, disebutkan melalui amar putusan dituliskan, menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi H Abd Latief Makka.

Masalah lainnya kawasan Reklamasi CPI di wilayah pantai losari sebelah barat juga masih menuai protes dari Aliansi Masyarakat Selamatkan Pesisir Sulsel karena akan mematikan mata pencaharian nelayan temasuk menutup akses masuk nelayan ke dermaga pelelangan ikan. Meski gugatan perdata di tingkat PTUN Makassar, namun tim hukum aliansi ini kemudian mengajukan banding ke PT TUN dan masih berproses hukum.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024