Makassar (Antara Sulsel) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) didesak menghadirkan Bupati Luwu Utara (Lutra) IPI untuk hadir di persidangan terkait dengan kasus dugaan korupsi Dana Insentif Daerah (DID) dengan anggaran senilai Rp24 miliar.

"Jaksanya harus menghadirkan dia (IPI), sebab selama ini tidak pernah dihadirkan. Akan menjadi pertanyaan publik bila JPU tidak menghadirkannya. Ada apa?," ungkap Direktur Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (Pukat) Sulsel, Farid Mamma di Makassar, Minggu.

Selain mendesak JPU untuk menghadirkan Bupati Indah untuk diambil keterangannya sebagai saksi, Farid juga meminta Majelis Hakim untuk menerbitkan penetapan pemanggilan paksa apabila Jaksa kesulitan menghadirkan yang bersangkutan hadir dalam persidangan berikutnya.

"Seharusnya dihadirkan, jangan nanti diakali dengan surat pernyataan yang dibuat-buat berdalih di bawah sumpah. Majelis Hakim tentu akan menggali informasi dari saksi-saksi siapa saja yang terlibat," ujarnya.

Bila nantinya Bupati Lutra IPI beralasan tidak bisa hadir dan hanya menyampaikan surat penyataan, tentu ini modus JPU yang diduga akan melindungi keterlibatan saksi, padahal fakta persidangan lebih akurat dibanding surat pernyataan.

"Bisa jadi itu modus jaksa tidak menghadirkan dia untuk ikut dalam sidang itu, ini tentu dipertanyakan. Kan ada upaya paksa untuk menghadirkan saksi, jangan mencari alasan yang dianggap membohongi publik," tegasnya.

Sidang sebelumnya Kamis (23/3) telah menghadirkan mantan Bupati Lutra Arifin Junaedi sebagai saksi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Kehadirannya di persidangan membeberkan fakta kasus dugaan korupsi DID 2011-2012 di Dinas Pendidikan Lutra, diduga melibatkan IPI saat itu menjabat Wakil Bupati Lutra.

Di hadapan Majelis Hakim diketuai Muh Anshar, Arifin dengan tegas mengungkapkan pihak yang membuat Dokumen Rencana Kerja (RKA)  adalah IPI saat menjabat Wakil Bupati Lutra.

Tidak sampai di situ, pria disapa akrab Arjuna ini menjawab dan mengakui ada perbedaan dalam dokumen RKA yang dibuatnya sendiri dengan RKA yang dibuat IPI.

"Kalau dalam RKA yang saya buat itu ada 103 kegiatan. Itu saya tandatangani, berbeda dengan yang dibuat dia (IPI), di mana terdapat 80 jenis kegiatan," ungkapnya dalam sidang. .

Meski begitu, adanya rangkap RKA kegiatan DID itu baru diketahui Arjuna , setelah pihak Polda Sulsel melakukan pemeriksaan terhadap dirinya, pada saat dirinya tidak menjabat sebagai Bupati Luwu Utara.

"Saya tidak tahu sama sekali tentang dokumen yang dibuat oleh Wakil Bupati saat itu. Saya baru mengetahuinya ketika diperiksa di Polda," ucapnya seraya menambahkan dokumen RKA yang diserahkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ternyata adalah RKA yang dibuat IPI.

"Kala itu saya sedang tidak berada di tempat dan sedang berada di luar negeri, dan sama sekali tidak ada laporan dari Wakil Bupati bila RKA itu yang dikirim ke Kemenkeu itu ternyata bukan RKA yang saya buat," katanya.

Kasus korupsi DID ini sudah mendudukkan dua orang terdakwa masing-masing Agung selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Sariming, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lutra yang bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA).

Keduanya dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pemberantasan korupsi. Sidang lanjutan perkara itu diagedakan hari ini untuk mendengarkan keterangan saksi.

Proyek yang bersumber dari Kementerian Keuangan tersebut terbagi dalam 11 item kegiatan terdiri dari pengadaan barang dan pembangunan fisik. Kegiatan pengadaan barang tersebut ditemukan adanya kesalahan spesifikasi, sehingga terjadi selisih harga dan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp3,6 miliar.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024