Makassar (Antara Sulsel) - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dilaksanakan PT Seko Power Prima dan PT Asri Power di Seko, Kabupaten Luwu Utara masuk dalam wilayah tanah adat masyarakat Hoyane dan Pohoneang.

"Ada miskomunikasi antara perusahaan dengan masyarakat Seko. Pihak perusahaan seharusnya menyikapi reaksi masyarakat, jangan menyerobot tanah adat," ujar anggota Komisi A DPRD Sulsel Muhammad Rajab saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan warga di Makassar, Senin.

Dalam RDP di Gedung DPRD yang dihadiri pihak Polda Sulsel, perwakilan Perusahaan PT Seko Power Prima, Pemkab dan DPRD Luwuk Utara, Pemprov Sulsel, dan pihak yang mewakili masyarakat Seko itu, mengemuka tentang masalah pembangunan PLTA tersebut.

PLTA Seko telah melakukan kegiatan sejak tahun 2012 hingga saat ini masih dalam tahap kegiatan survei. Perusahaan ini akan membangun PLTA dengan kekuatan 380 megawatt (MW).

"Kalau saya melihat ada dua masalah, yakni hubungan perusahaan dengan masyarakat sekitar, dan ada dugaan intimidasi warga oleh oknum aparat," kata Rajab dalam pertemuan itu.

Lokasi pelaksanaan PLTA Seko oleh PT Seko Power Prima dan PT Asri Power dengan kebutuhan lahan sekitar 600 hektare terletak di Desa Tana Makaleang dan Embonan Tana.

Namaun dalam pelaksanaan survei rencana pembangunan PLTA itu masih ditolak oleh warga setempat karena dianggap melanggar. Wilayah Seko merupakan salah satu kecamatan di Luwu Utara berada pada ketinggian 1200-1800 meter di atas permukaan laut (dpl).

Juru bicara warga Seko Asri Yunus dalam RDP tersebut menuturkan, pihaknya menolak pembangunan PLTA karena masuk wilayah adat, dan bisa mengganggu aktivitas warga setempat.

"Itu wilayah adat kami dan pasti terganggu karena ada situs keluarga yang bisa rusak. Ironisnya selama ada kegiatan survei PLTA ini tidak ada sosialisasi kepada masyarakat," tuturnya dengan nada tegas.

Menurut dia, rencana pembangunan PLTA sejak awal memang tidak disetujui oleh sebagian besar masyarakat di Seko dengan beberapa alasan, salah satunya bisa berpoetnsi terhadap pengrusakan alam dan situs budaya.

"Ini masuk dalam wilayah tanah adat, ada situs yang perlu dijaga dan dipertahankan, selain itu juga bisa terjadi penyerobotan tanah adat tanpa seizin dari pemangku adat setempat," ungkap Asri, salah seorang masyarakat adat Seko.

Masalah lain, kata dia, adalah tidak adanya sosialisasi secara terbuka kepada masyarakat dan dampak pembangunan PLTA terhadap lingkungan.

Perwakilan dari PT Seko Power Prima dalam rapat itu mengatakan bahwa perusahaannya sudah mengantongi surat izin dari pemerintah daerah setempat, bahkan juga ada surat izin dari beberapa tokoh adat setempat.

"Kami dapat izin dari Bupati Luwu Utara pada Maret 2012 untuk survei, bahkan kami juga sudah diberikan surat izin dari pemangku adat," kata Direktur Operasional Seko Power Prima, Ginanjar.

Dia juga menyatakan pihaknya tidak akan merusak situs budaya dan lingkungan sehubungan dengan PLTA di lokasi tersebut.

Sementara itu Ketua DPRD Luwu Utara Mahfud Yunus mengatakan pihaknya sudah mempertemukan tokoh adat dan PT Seko Power Prima agar masalah ini segera ada solusi yang terbaik.

"Kita sudah bicarakan baik-baik masalah ini, dan tidak ada masalah. Makanya saya kaget dan malu karena persoalan ini dibawa sampai ke tingkat provinsi, padahal seharusnya cukup diselesaikan di kabupaten saja," papar Mahfud.

Dirinya berharap bila ini dianggap masalah besar, legislator dari Dapil Luwu Raya bisa turun langsung ke lapangan untuk melihat dan memantau langsung di lapanga.

Sementara legislator DPRD Sulsel Jafar Sodding sebagai pimpinan sidang pada RDP itu merekomendasikan agar pihak DPRD Luwu Utara kembali melakukan mediasi dengan mempertemukan semua pihak untuk membicarakan masalah tersebut.

"Kita rekomendasikan agar kembali melakukan mediasi sebelum melanjutkan pembangunan PLTA agar semua masalah bisa diselesaikan dan tidak ada dirugikan temasuk masalah wilayah adat," ucap Jafar.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024