Lebaran adalah momen kebudayaan, kemanusiaan dan keagamaan kaum Muslim yang oleh sebagian besar politikus dimanfaatkan untuk bermaaf-maafan, baik kepada sekutu maupun lawan dalam permainan kuasa.

Publik pun menyaksikan fenomena ini: dua kubu yang selama ini boleh dibilang berseberangan dalam visi politik saling bersilaturahmi dalam bingkai halal bi halal. Kubu pemerintah yang direpresentasikan oleh Presiden Joko Widodo menerima tamu-tamu yang dalam percaturan politik sebelumnya memainkan peran sebagai kubu pengkritik pemerintah, yakni para pengurus Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI).

Reaksi publik atas pertemuan itu beragam. Umumnya para politikus yang bernaung di bawah partai politik yang islamis memandang positif pertemuan itu. Mereka berpendapat normatif bahwa silaturahmi di saat Idul Fitri bagi para pemimpin, siapa pun mereka, adalah suatu tindakan yang positif, dapat mempererat ikatan persatuan kebangsaan.

Sekat-sekat primordialisme yang menjadi rintangan dalam mewujudkan kebaikan bagi publik dapat disingkirkan dengan melakukan relasi silaturahmi itu. Perbedaan pandangan pun bisa dicoba untuk diatasi pada saat bermaaf-maafan itu.

Sementara pihak yang menilai pertemuan itu kurang berdampak positif muncul dari kubu pendukung Jokowi dari kalangan nasionalis. Mereka berpendapat alangkah baiknya Jokowi menjaga jarak dengan kekuatan yang selama ini merongrong legitimasi politik sang presiden.

Terlepas dari pandangan pro-kontra itu, fakta membuktikan bahwa Jokowi sendiri memilih menerima tamu yang selama ini sempat mengguncang posisinya sebagai presiden.

Keputusan Jokowi menerima lawan politiknya di hari kemenangan dalam perspektif Muslim itu tentu menarik untuk dikomparasikan dengan sikap presiden-presiden sebelumnya.

Setidaknya, kontras paling mencolok bisa dibandingkan dengan otokrat Soeharto, yang secara konsisten menjaga jarak dengan orang-orang yang dianggap sebagai musuh politiknya.

Kalangan jurnalis biasa menyaksikan bagaimana pihak protokoler mengatur agar dua politisi yang berseteru jangan sampai bertemu pada momen-momen paling manusiawi sekalipun, seperti sedang melayat tokoh yang sedang tutup usia. Jangan sampai dua tokoh yang berseberangan itu hadir dalam waktu yang besamaan. Para pengawal harus bisa mengatur jadwal agar kedua tokoh itu tak bentrok hadir dalam waktu bersamaan.

Jokowi, politisi bersahaja yang rada pragmatis itu, tak memilih perseteruan itu terbangun terus bahkan dalam momen-momen sakral seperti Idul Fitri. Maka diterimalah tamu-tamu yang sebelumnya berkiprah sebagai lawan-lawan politiknya untuk berhalal bi halal di Istana. Jokowi melupakan kecaman dan kritik keras yang pernah dilontarkan para seteru politiknya itu.

Jokowi tentu sadar bahwa dalam politik, musuh dan kawan tak pernah abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri. Dengan nalar demikian, Jokowi bisa berasumsi bahwa ketika isu yang menjadikan dirinya berseberangan melawan kubu GNPF MUI terselesaikan, selesai pulalah perseteruan keduanya.

Tentu realita politik tak sesederhana itu. Pertarungan politik termega, yakni Pilpres 2019, bisa menghadirkan segala kemungkinan yang akan menjadikan GNPF MUI kembali berseberangan dengan Jokowi, tapi bisa juga merapat di kubu Jokowi meski sangat kecil kemungkinannya.

GNPF MUI selama ini menilai Jokowi tak aspiratif terhadap kepentingan Muslim, cenderung memberi peluang bisnis kepada kalangan pengusaha China.

Dengan pandangan dasar seperti itu, GNPF MUI berkemungkinan untuk tetap berseberangan dengan Jokowi yang akan didukung oleh kekuatan parpol nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.

Jika lawan utama Jokowi dalam Pilpres 2019 adalah politikus yang mendapat dukungan dari partai-partai politik yang mayoritas konstituennya kaum Muslim, bisa diprediksi haluan GNPF MUI akan tetap menjadi kubu yang berseberangan dengan Jokowi.

Jokowi tentu membaca kemungkinan-kemungkinan itu. Namun, yang menarik seperti diungkapkan salah satu ketua GNPF MUI setelah berjumpa dengan Jokowi, bahwa Presiden akan menerima mereka dalam momen-momen selanjutnya.

Begitulah politik yang sarat dengan unsur primordial sedang bergulir. Boleh jadi GNPF MUI tak punya target politik terlalu jauh, dalam konteks dukung-mendukung dalam Pilpres 2019. Tak mustahil GNPF MUI cuma menggunakan pertemuan-pertemuan mendatang untuk melakukan pendekatan dalam urusan perkara hukum yang sedang menelikung sebagian dari para pengurus organisasi gerakan yang sukses dalam melengserkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilgub DKI 2017 melawan Anies Baswedan itu.

Manuver politik Jokowi dalam mengakomodasi kepentingan GNPF MUI di masa depan yang dekat tentu menarik untuk diamati. Akankah Jokowi bernegosiasi dengan GNPF MUI terkait dengan perkara hukum yang menjerat sebagian dari pengurus gerakan itu?

Selama ini, seperti terbukti dalam perkara peradilan kasus Al Maidah yang melibatkan Ahok, Jokowi tak mau campur tangan dalam perkara pidana yang sedang diproses oleh penegak hukum.

Sikap netral dalam perkara yang sedang diproses lembaga penegak hukum semacam itulah yang layak dipertahankan Jokowi. Dengan cara demikian, tak peduli kalah atau menang dalam Pilpres 2019, Jokowi akan dikenang sebagai presiden yang menghormati hegemoni lembaga yudikatif. Pilihannya untuk mengakomodasi lawan politiknya dengan menerima para pemimpin GNPF MUI di Istana pada Lebaran juga akan menjadikan Jokowi dikenang sebagai presiden yang manusiawi, bersikap toleran bahkan kepada lawan-lawan politiknya.        

Pewarta : M Sunyoto
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024