Makassar (Antara Sulsel) - Tahun ajaran baru, khususnya bagi orangtua yang memiliki anak yang akan melanjutkan ke sekolah lanjutan, sudah lazim jika mendengar keluhan sana-sini.

Keluhan itu mulai dari antrean panjang saat mendaftarkan anaknya, hingga pada persoalan perlengkapan anak sekolah.

Ketua Forum Orangtua Murid SMA di Makassar, Herman Hafid mengatakan, awal masuk sekolah memang kerap menjadi momok bagi orang tua siswa.

Persoalan "wara-wiri" mendaftarkan anak ke sekolah baru, hingga persoalan biaya untuk perlengkapan sekolah dan biaya-biaya tak terduga lainnya, menjadi sesuatu yang harus dijalani.

"Tak heran jika sebagian orang tua yang ekonominya pas-pasan terpaksa harus berhadapan dengan pegadaian, meminjam uang ke sanak-famili, bahkan sampai meminjam ke rentenir," katanya sembari mengimbuhkan, semua itu demi anak-anak mereka agar dapat melanjutkan pendidikan.

Sementara subsidi di sektor pendidikan, baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat, dinilai tidak sepenuhnya membantu para orang tua saat anaknya akan masuk sekolah baru.

Hal itu dibenarkan salah seorang wali siswa sekolah negeri di wilayah Kecamatan Tallo, Makassar H Nurmala.

Dia mengatakan, meskipun anaknya lulus di salah satu sekolah negeri, namun juga tetap harus menyiapkan dana untuk membeli seragam sekolah, tas ransel dan atribut dari sekolah.

Hal itu dilakukan dengan alasan untuk memudahkan orang tua siswa mencari perlengkapan sekolah.

Namun, sebagian orang tua siswa mengeluh. Pasalnya, harga seragam yang dijual di koperasi sekolah berbeda jauh dengan harga pasaran. Sebagai contoh seragam pramuka di koperasi sekolah dijual seharga Rp170 ribu sepasang, sedangkan di pasaran hanya dijual Rp110 ribu.

"Belum lagi yang lainnya seperti kaos kaki dibeli Rp15 ribu, sedang di luar hanya Rp7.500 sepasang. Yang membedakan hanya bordiran nama sekolahnya saja," kata Hasniah, orang tua siswa SMP negeri di Kelurahan Timungang Lompoa, Kecamatan Bontoala, Makassar.

Menurut dia, dengan bekerja sebagai penjual sayuran di pasar, tentu sangat memberatkan untuk menebus semua perlengkapan sekolah yang totalnya sekitar Rp850 ribu.

Karena itu, dia memilih membeli seragam dan perlengkapan sekolah di pasar saja. Kecuali untuk baju olahraga dan baju batik, terpaksa dibeli di sekolah, karena tidak dijual bebas di pasaran.

Selain persoalan perlengkapan sekolah, yang muncul persoalan di lapangan terkait pendaftaran peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2017/2018 dengan beberapa sistem penerimaan yakni jalur domisili, jalur inklusi bagi keluarga prasejahtera, jalur kemitraan pendidikan, jalur regular, jalur prestasi, jalur luar daerah dan rombongan belajar.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Ismunandar, pihaknya menjamin PPDB tahun ini aman dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), karena sistem yang digunakan sangat berbeda dengan pendaftaran siswa baru pada tahun-tahun sebelumnya.

Dia mengatakan, untuk mencegah terjadinya praktik KKN, pihaknya mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing sekolah hanya dapat menggunakan satu sistem pendaftaran saja yakni sistem "online" atau "offline".

Bagi sekolah yang setiap tahunnya menerima banyak pendaftar, diminta menggunakan sistem "online", sedang sebaliknya diminta menggunakan sistem "off line".

Pada tahun lalu, sekolah dapat menggunakan dua sistem pendaftaran sekaligus. Sistem "offline" itulah yang kemudian banyak dikomersialkan pihak sekolah, sehingga beberapa kepala sekolah terjerat hukum.

Yang jelas, lanjut Ismunandar, jalur-jalur penerimaan siswa baru itu sudah diatur petunjuk teknisnya. Intinya, penerimaan siswa baru akan mengutamakan pendaftar yang berdomisili di sekitar sekolah.

Hanya saja, kendati aturan sudah dibuat sedemikian rupa untuk menghindari kecurangan dan manipulasi, namun di lapangan masih juga ditemukan penyimpangan seperti yang diungkapkan salah seorang wali siswa SMK negeri di Kecamatan Tallo, Makassar Hj Malang.

Dia mengatakan, anaknya sudah didaftarkan melalui jalur domisili, karena jarak rumahnya dan sekolah hanya sekitar 200 meter, namun saat pengumuman ternyata anaknya dinyatakan tidak lulus, sehingga harus mendaftar lagi melalui jalur regular.

Di sisi lain, terdapat siswa yang lulus dengan jalur domisili, padahal jarak rumahnya jauh dari sekolah.

Kondisi itulah yang kurang dapat diterima pihak orang tua siswa di lapangan, namun karena tidak berani melaporkan, akhirnya hanya pasrah mendaftarkan anaknya di sekolah swasta.

Solusi itu bukan berarti permasalahan berakhir, karena orang tua siswa harus membayar uang masuk dan sebagainya sebagai kewajiban dari yayasan pengelola sekolah, karena tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Belum Terpenuhi

Setelah genderang penerimaan siswa baru di sekolah negeri menggema, rupanya masih ada persoalan di lapangan.

Sekolah yang terbilang favorit akan berlimpah pendaftar, namun sekolah yang kurang diperhitungkan otomatis pendaftarnya kurang, sehingga pada saat tahun ajaran akan dimulai, kuota siswa belum seluruhnya terpenuhi.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar Ismunandar mengakui, masih ada 750 kuota siswa di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang belum terpenuhi, sehingga membuka pendaftaran "offline" di 36 SMP yang belum terisi kuotanya pada Jumat (14/7) lalu.

Sebelumnya, pihak Dinas Pendidikan Kota Makassar telah membuka pendaftaran masuk sekolah berbasis "online" dan berhasil menjaring sebanyak 11.694 orang siswa dari total kuota yang disediakan 12.444 orang siswa.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Makassar diketahui, terdapat enam sekolah yang sudah tertutup pendaftarannya karena kuotanya sudah terpenuhi yakni SMP Negeri 4, SMP Negeri 6, SMP Negeri 8, SMP Negeri 12 dan SMP Negeri 28. Selain sekolah itu, masih dibuka pendaftaran.

Mencermati kondisi penerimaan siswa baru yang sudah menjadi agenda rutin setiap tahun, pemerintah sudah mengeluarkan regulasi demi regulasi untuk menghambat praktik KKN di lapangan, namun ada saja celah yang dapat digunakan oknum untuk mengambil keuntungan.

Belum lagi adanya istilah sekolah favorit dan nonfavorit yang juga menimbulkan kesenjangan di sektor pendidikan, sehingga kuota penerimaan siswa tidak terpenuhi.

Semua itu, hendaknya menjadi pelajaran bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang pendidikan ke depan, agar tidak ada lagi keluarga yang bertarung habis-habisan demi memasukkan anaknya di sekolah tertentu.

Semua pihak tentu mengharapkan terciptanya pemerataan pendidikan tanpa mengenal strata sosial lagi seperti ketika zaman kolonial prakemerdekaan, sehingga awal sekolah siswa baru tidak lagi menjadi prahara.

Tentu kebijakan yang sedang diberlakukan pemerintah tidak bisa serta merta dilaksanakan secara total, namun harus dilakukan bertahap karena memutus kebiasaan lama tentu memerlukan waktu.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024