Makassar (Antara Sulsel) - Asisten Intelijen (Asintel) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Marang mengakui jika aktor intelektual dalam kasus penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar belum menyentuh aktor intelektualnya.

"Untuk kasus Buloa ini sudah ke meja persidangan pengadilan Tipikor dan kita masih mencermati fakta-fakta sidangnya," ujar Marang saat menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi di Makassar, Rabu.

Ia mengatakan, kasus penyewaan lahan negara ini mendudukkan tiga terdakwa yakni, Asisten I Bidang Pemerintahan Pemerintah Kota Makassar Muh Sabry yang bertindak selaku fasilitator.

Serta dua terdakwa lainnya yakni Jayanti Ramli (JR) berperan sebagai pemilik lahan dan Rusdin selaku penerima pembayaran sewa lahan negara dari kontraktor pengembangan New Port, PT Pembangunan Perumahan (PP).

Marang menyatakan, dalam sidang yang digelar di PN Tipikor Makassar itu, semua terdakwa belum membeberkan semua fakta-fakta hukum dalam proses tersebut.

Tapi dirinya optimistis jika kasus itu nantinya akan tetap dikembangkan sesuai dengan adanya petunjuk dari majelis hakim PN Tipikor Makassar serta fakta baru keterlibatan pihak lainnya.

"Kita selaku penyidik akan tetap memperhatikan fakta-fakta baru yang keluar. Kalau ternyata sampai kasusnya putus dan berkekuatan hukum tetap tidak ada fakta baru, maka kasusnya sudah selesai," jelasnya.

Sebelumnya, kasus ini bergulir di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan setelah pelaksana pekerjaan PT PP melakukan pelaporan atas penyewaan lahan negara seluas 19.999 meter persegi pada 2015.

Kasi Penerangan dan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin mengaku tindak pidana korupsi bermula pada saat penutupan akses jalan di atas tanah negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, 2015.

Tersangka Jayanti dan Rusdin mengakui memiliki surat garapan pada 2003 atas tanah negara yang merupakan akses ke proyek pembangunan Makassar New Port (MNP).

Atas dasar itu, tersangka Jayanti dan Rusdin dengan difasilitasi oleh Sabri yang bertindak seolah-olah atas nama pemerintah kota meminta dibayarkan uang sewa kepada PT PP selaku pelaksana pekerjaan.

Uang yang diminta sebesar Rp500 juta selama satu tahun dituangkan dalam perjanjian. Padahal diketahui bahwa surat garap yang dimiliki pada 2003 tersebut lokasinya masih berupa laut hingga 2013.

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024