Makassar (Antara Sulsel) - Pelaksanaan Rembuk Nasional bidang politik, hukum dan keamanan di Universitas Hasanuddin, Sabtu menghasilkan sebanyak 40 masukan bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk perbaikan ke depan.

Kepala Unit Humas dan Protokol Unhas, Ishaq Rahman di Makassar, mengatakan 40 masukan itu terdiri dari 25 masukan untuk kelompok politik dalam negeri dan hukum/HAM serta 15 masukan dari kelompok diskusi politik luar negeri dan keamanan (TNI/Polri).

"Dengan demikian, pada Rembuk Nasional Bidang Polhukam di Makassar ini terdapat sebanyak 40 masukan publik yang sedang dirangkum, dan akan menjadi rekomendasi Makassar untuk Rembuk Nasional tingkat Pusat di Jakarta, tanggal 25 Oktober 2017 nanti," kata Ishaq.

Ketua Pokja Bidang Polhukam Rembuk Nasional 2017, Dr Riant Nugroho mengatakan pada setiap kelompok terdapat 4 empat poin yang menjadi perhatian utama tim Pokja, dengan demikian terdapat 8 delapan isu pokok.

"Ini bukan berarti yang lain tidak penting. Semua masukan kami anggap penting. Akan tetapi delapan isu utama ini nampaknya selaras dengan apa yang selama ini menjadi pengamatan kami," kata Riant.

Isu pertama adalah berkaitan dengan sosialisasi Undang-Undang Hankam. Meskipun telah berlaku sejak tahun 2002, namun masukan dari peserta Rembuk menekankan bahwa Undang-Undang ini hingga kini berlum tersosialisasi luas.

"Saya baru menyadari hal ini. Ternyata, Undang-Undang yang kita anggap telah tersosialisasi luas ini pada kenyataannya belum cukup diketahui secara luas. Mungkin karena isu pertahanan negara ini dianggap eksklusif dan elit," ujarnya.

Isu kedua adalah berkaitan Papua. Forum Rembuk Nasional di Makassar ini sepakat bahwa ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam isu Papua, baik dari aspek kebijakan maupun aspek implementasi.

"Kita tidak ingin agar Papua terlepas. Komitmen kita adalah Papua bagian NKRI merupakan harga mati. Namun, kita tidak cukup hanya berslogan. Ada tindakan nyata yang harus kita lakukan. Masukan-masukan di forum ini akan menjadi perhatian kami," ujar Riant.

Sedangkan isu ketiga adalah tentang diplomasi internasional. Pada masa pemerintahan sebelumnya, semangat "thousand friends", "zero enemy" telah dilaksanakan dengan konsisten.

Kini, kata dia, pemerintahan ini seharusnya memanfaatkan tatanan hubungan luar negeri yang telah dibangun tersebut untuk diplomasi yang menguntungkan Indonesia. Termasuk yang disoroti adalah masalah yang berkaitan dengan konflik perbatasan.

Serta Isu keempat adalah mengenai gagasan poros maritim dunia. Nampaknya, belum ada semacam roadmap yang visioner tentang ide ini, sebagaimana negara lain yang merancang visi besar tentang maritim.

Misalnya, China yang menerjemahkan visi maritim sebagai One Belt, One Road (OBOR), dan disinergikan dengan seluruh kebijakan luar negeri.

Keempat isu di atas merupakan pembahasan yang berkembang di kelompok Politik Luar Negeri dan Hankam. Sementara empat isu lain pada kelompok Politik Dalam Negeri dan Hukum/HAM dijelaskan Riant sebagai berikut.

Isu pertama tentang penguatan Nawa Cita, dan terutama sosialisasinya dalam bidang politik dan Hak Asasi Manusia. Nawa Cita diharapkan tidak hanya menjadi lips service untuk kepentingan menarik simpati rakyat, tetapi diaktualisasikan dalam kebijakan pembangunan secara konsisten, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

Isu kedua tentang penegakan hukum dan HAM. Aktivis hukum dan HAM menilai bahwa pemerintah masih perlu melakukan banyak hal untuk memastikan penegakan hukum dan HAM dalam kerangka Nawa Cita itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat.

Untuk isu ketiga tentang persoalan rekrutmen pada lembaga-lembaga publik, bagaimana memisahkannya dengan desas-desus politik. Sistem kerja birokrasi seharusnya dapat berlangsung secara mandiri tanpa perlu khawatir dengan tekanan politik, sehingga kinerja aparatur negara dapat difokuskan pada kepentingan bangsa dan negara, bukan pada kepentingan kekuatan politik tertentu.

Sementara isu keempat berkaitan dengan kesatuan visi pemerintah pada seluruh unit kerja pemerintah yang harus dapat diterjemahkan secara sinergis. Sehingga pejabat publik dan lembaga-lembaga negara tidak perlu gadus dimuka umum.

"Hal ini telah sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi, dimana pada berbagai kesempatan beliau menyampaikan agar pejabatnya tidak perlu berdebat soal kebijakan pembangunan di muka umum," jelas Riant.

Pewarta : Abd Kadir
Editor :
Copyright © ANTARA 2024