Makassar  (Antaranews Sulsel) - Alians Jurnalis Independen (AJI) mengecam pengusiran tiga jurnalis BBC Indonesia dari Asmat, Papua, dengan alasan membuat ciutan di media sosial, twitter terkait bantuan kemanusiaan.

"Kami mengecam pengusiran jurnalis BBC ini. Peristiwa ini juga mengesankan ada ketakutan pemerintah terhadap peliputan media asing soal kondisi Papua," kata Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia melalui siaran persnya diterima di Makassar, Sabtu.

Berdasarkan informasi diterima, ketiganya tidak bisa melajutkan aktivitas jurnalistiknya setelah diperiksa polisi di Asgat, Asmat, karena dimintai keterangan petugas imigrasi di Timika, Mimika. tiga kontributor dan jurnalis BBC Indonesia, yaitu Dwiki, Affan dan Rebecca.

Dari pemeriksaan terhadap ketiganya diketahui mereka diperiksa karena salah satunya membuat cuitan di akun twitternya, dalam teks dan foto, soal bantuan untuk anak yang mengalami gizi buruk di Asmat berupa mie instan, minuman ringan dan biskuit.

Informasi resmi dari Kodam Cenderawasih dan Imigrasi menyatakan bahwa cuitan itu yang menjadi alasan polisi dan imigrasi memeriksa jurnalis BBC itu.

Usai diperiksa polisi, Jumat, 2 Februari 2018, Dwiki terbang ke Jakarta dari Agats. Sedangkan Affan dan Rebecca diperiksa di Imigrasi Mimika hingga Sabtu, 3 Februari 2018.

Karena menjalani pemeriksaan, Rebecca dan Affan tidak dapat melanjutkan liputan. Keduanya, dikawal aparat keamanan menuju Bandara Timika, untuk penerbangannya ke Jakarta, Sabtu pagi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun AJI, tidak ada bukti adanya pelanggaran administratif yang dilakukan tiga jurnalis BBC ini.

Pelarangan peliputan terhadap jurnalis asing yang sebelumnya terjadi sering kali menggunakan alasan administratif, yaitu tidak memiliki visa jurnalistik.

Padahal Rebecca adalah pemegang visa jurnalis, mempunyai kartu izin peliputan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri dan memiliki izin tinggal sementara (Kitas) di Indonesia.

Pihaknya menyesalkan soal cuitan itu menjadi dasar untuk menghalangi aktivitas peliputan jurnalis di Papua. Selain itu, meskipun tidak ditemukan ada pelanggaran administratif, mereka juga tidak bisa melanjutkan liputannya karena aparat keamanan mengawalnya menuju bandara untuk diterbangkan ke Jakarta.

Menurut Manan, kasus terbaru ini tidak sejalan dengan janji Presiden Joko Widodo tiga tahun lalu. Saat menghadiri Panen Raya di Kampung Wameko, Hurik, Merauke, 2015. Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang intinya menegaskan bahwa Papua terbuka bagi jurnalis asing untuk melakukan peliputan.

Penegasan soal tidak adanya pelarangan bagi jurnalis asing meliput juga disampaikan pemerintah saat Indonesia menjadi tuan rumah peringatan World Press Fredom Day, 3 Mei 2017 lalu.

"Kasus terbaru di Papua ini merupakan salah satu indikasi bahwa pemerintah tak serius dengan janjinya untuk lebih membuka akses jurnalis ke Papua," tambah Manan.

Data AJI Indonesia menunjukkan sepanjang 2017 setidaknya ada delapan jurnalis asing yang dideportasi ketika melakukan peliputan di Papua. Alasan yang dipakai sebagai dasar pengusiran adalah masalah pelanggaran administrasi, yaitu tidak memiliki visa jurnalistik saat melakukan liputan di provinsi itu.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Hesthi Murthi menambahkan kasus ini juga menunjukkan bahwa aparat negara tidak memahami fungsi pers sebagai alat kontrol sosial seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Kritik yang disampaikan media berdasarkan fakta di lapangan seharusnya disikapi dengan bijak sebagai masukan untuk memperbaiki penanganan campak dan busung lapar di Asmat dan Papua, bukan malah dijadikan dalih untuk membatasi akses jurnalis," ujarnya.

Sebelumnya, Asmat mendapat perhatian media dan masyarakat luas karena Kasus Luar Biasa (KLB) Campak dan Busung Lapar yang menyebabkan 71 anak meninggal dari 69 diantaranya karena campak, serta karena busung lapar. 

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024