Makassar (Antaranews Sulsel) - Sejumlah aktivis lintas kampus bersama jurnalis dan aktivis lembaga pemerhati HAM kembali mengelar aksi kamisan ke-12 di depan Monumen Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.

Agenda aksi tersebut dalam bentuk teatrikal menolak pengesahan revisi Undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) karena dinilai tidak pro terhadap rakyat dan terkesan melindungi DPR dari jeratan hukum.

Kemudian revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sementara ini dirampungkan untuk disahkan dewan di senayan.?Jika RKUHP ini pun disahkan, maka pers akan semakin terbelenggu di Indonesia.

"Siapa saja yang mengeritik penguasa, DPR dan DPRD termasuk melalui media massa, terancam akan mudah dipenjara. Ini ancaman nyata bagi masyarakat termasuk pers," tegas koordinator aksi, Humaerah Jaju.

Selain itu, dengan disahkannya Undang-undang MD3, siapapun yang mengkritik DPR bisa dijerat hukum.?Sebab melalui undang-undang itu, Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dapat memanggil, menyelidiki hingga membuat keputusan terhadap seseorang atau lembaga yang melakukan penghinaan kepada DPR atau anggotanya.?

Sementara RKUHP yang sedang dibahas di DPR RI, beberapa pasalnya dianggap kontroversi. Karena diantaranya sangat rawan mempidanakan para jurnalis dan aktivis pro demokrasi yang menyuarakan kebenaran. Bahkan dalam RKHUP tersebut dianggap rawan membelenggu kebebasan berekspresi dan berpendapat.?

RKUHP ini juga terkesan mengabaikan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam sejumlah pasal yang menjadi kontroversi seperti pada pasal 309 ayat (1) perihal `Berita Bohong`. Pasal 328-329 perihal contempt of court.?

Selanjutnya, pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Pasal 262-264 tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan pasal 284-285 tentang penghinaan terhadap pemerintah.

"Menelaah dari produk DPR itu kami menyatakan sikap menolak revisi Undang-undang MD3 yang disahkan dengan memberikan `Kartu Merah` kepada perwakilan rakyat sebagai simbol ketidakberpihakannya kepada rakyat," papar dia.

Bahkan pemberian `Kartu Merah` sebagai simbol ketidakpercayaan masyarakat atas produk Undang-undang yang dihasilkan anggota DPR tidak sesuai dengan ekspektasi rakyat.

"Kami merasa bahwa ternyata DPR RI hari ini lebih melindungi dirinya dibanding rakyat yang memilihnya. Kami meminta hentikan seluruh usaha untuk mengesahkan draft revisi RKUHP yang sedang dibahas DPR karena cacat demokrasi dan mengabaikan Undang-undang Pers," ulasnya.

Sementara penanggungjawab aksi, Hajriana Ashadi pada kesempatan itu meminta pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, serta melibatkan bersama seluruh pihak, kelompok dan lembaga-lembaga terkait

Pihaknya juga meminta Presiden Joko Widodo tidak menandatangani Undang-undang tersebut karena akan sarat kepentingan dan adanya muatan mementingkan, kelompok tertentu, institusi atau lembaganya daripada rakyat.

"Mendesak pemerintah dan DPR RI agar dalam menyusun Undang-undang MD3, RKUHP dan produk hukum lainnya pada dasarnya melindungi rakyat, bukan penguasa.

"Kami mengajak para pekerja dan pemerhati media serta aktivis gerakan HAM untuk bersama menolak revisi kedua Undang-undang tersebut," tambah mantan ketua Kohati HMI itu.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024