Medan (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Dr Lince Sihombing, Mpd, mengatakan, dewasa ini seni berpantun telah hilang dari sebagian besar isi buku teks Bahasa Indonesia.

"Padahal pantun berpotensi besar untuk mensosialisasikan kesantunan berbahasa sekaligus menyantunkan pengguna bahasa Indonesia," katanya di Medan, Sabtu.

Pantun adalah cara seseorang untuk menyampaikan maksud atau isi hati kepada orang lain secara sopan, santun dan tidak dengan kata-kata yang kasar.

Pantun dianggap santun karena maksud hati tidak disampaikan secara langsung, melainkan dialihkan melalui penyertaan sampiran yang sering tidak berhubungan dengan isi pantun yang terdapat pada baris-baris berikutnya.

"Artinya dengan pantun, orang diajarkan untuk menyampaikan maksudnya dengan cara yang sopan, halus dan santun meskipun apa yang akan disampaikannya itu sebenarnya bentuk protes ataupun kecaman,"katanya.

Ia mencontohkan, ketika seorang pembuat pantun duduk merenung atau memikirkan bagaimana menautkan kata-kata yang terdapat dalam baris-baris sampiran dengan kata-kata yang berada dalam baris-baris berikutnya.

Maka secara tidak langsung si pembuat pantun telah menseleksi atau memilih kata-kata yang digunakan, mana yang layak, mana yang tidak layak.

Selain itu pembuat pantun juga harus memikirkan rima atau harmonisasi bunyi dari kata-kata terakhir dari dua baris sampiran dan dua baris isi yang membentuk pantun.

Seringkali pembuat pantun terpaksa mengganti salah satu dari kata yang ada di baris-baris sampiran maupun baris-baris isi agar ketika diucapkan tercapai harmonisasi bunyi dan ketika dikaji secara tidak langsung akan melatih pembuat pantun menjadi santun menggunakan kata-kata.

"Apabila seseorang hanya sebagai penikmat pantun, terekam dalam benaknya untuk tidak sembarangan menggunakan kata-kata ketika akan menyampaikan maksud hati. Jika pantun diajarkan di sekolah, akan membuat siswa menjadi santun dalam berbahasa," katanya.

Menurutnya, bahasa menunjukkan bangsa adalah semboyan yang dahulu selalu menghiasi punggung buku-buku teks bahasa Indonesia untuk siswa di tingkat lanjutan atas dan sederajat, namun kini semboyan itu telah sirna.

Bahasa Indonesia kini telah berubah, dari yang sebelumnya santun menjadi kasar, tidak terkendali dan membuat orang yang dikenai perbuatan itu sakit hati.

Salah satu yang mengubah bahasa menjadi kasar itu adalah hilangnya pantun dalam isi buku teks pembelajaran Bahasa Indonesia, padahal ini penting untuk menciptakan kesantunan dalam menyampaikan sindiran.

"Yang menjadi pertanyaan, apakah yang menyebabkan penulis buku-buku teks Bahasa Indonesia tidak lagi menganggap penting memasukkan pantun," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010