riset pangan berbahan lokal harus memiliki gizi tinggi
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset pangan bergizi, salah satunya mi berbahan lokal yang harus diperkaya agar memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan untuk mencegah kekerdilan (stunting).

"Riset pangan berbahan lokal harus memiliki gizi tinggi, disukai masyarakat, serta harganya terjangkau," kata Peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN Dini Ariani dalam keterangan yang diakses ANTARA di Jakarta, Senin.

Dini mengatakan salah satu faktor yang mendorong urgensi riset bahan mi alternatif dengan sumber bahan baku lokal adalah masih tingginya angka kekerdilan di Indonesia.

Kekerdilan adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Angka stunting yang tinggi disebabkan oleh kurangnya zat besi yang diderita oleh para remaja putri, sehingga pada saat mereka menikah muda dan mengandung akan berpotensi melahirkan bayi dengan kekerdilan.

Baca juga: BPPT kembangkan Purula cegah stunting
Baca juga: Mie berbahan singkong dikenalkan di IPB Agrifuture

Oleh karenanya, Dini menjelaskan, eksplorasi riset bahan baku mi juga sudah dilakukan dengan menggunakan tepung mocaf (singkong yang dimodifikasi), terigu, tapioka, dan beras.

Dini menuturkan kandungan tepung berbahan lokal tersebut harus diperkaya untuk memiliki gizi tinggi sehingga menjadi salah satu pangan bergizi untuk mencegah kekerdilan.

Ia mengatakan tepung berbahan ubi kayu untuk membuat mi tersebut memiliki tingkat protein yang masih rendah, sehingga dibutuhkan tambahan bahan lain seperti tepung tempe dan daun kelor tinggi mineral yang dibutuhkan oleh penderita kekerdilan.

Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4 persen atau menurun sebesar 3,3 persen dibandingkan tahun 2019 (27,7 persen).

Namun, jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan Vietnam (23 persen), Malaysia (17 persen), Thailand (16 persen) dan Singapura (4 persen), hanya lebih baik dari Myanmar (35 persen).

Baca juga: Mahasiswa IPB ciptakan mie instan berbasis singkong
Baca juga: BKKBN tekankan gotong royong pada program Bapak Asuh Anak Stunting

Sebelumnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang sudah terintegrasi ke dalam BRIN menghasilkan pangan bergizi, yakni Purula, singkatan dari Peptida Unggul Rumput Laut, sebagai abon tabur pendamping makanan untuk mencegah kekerdilan.

Makanan berbentuk flake tabur itu difortifikasi dengan zat-zat gizi untuk meningkatkan asupan zat besi. Dengan meningkatkan asupan zat besi, maka dapat mencegah anemia.

Ibu yang mengalami anemia dan indeks massa tubuh rendah dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan perkembangan bayi, termasuk kecerdasannya, atau berpotensi melahirkan bayi dengan kekerdilan.

Purula mengandung peptida dari hidrolisat kedelai untuk meningkatkan penyerapan zat gizi dan rumput laut yang kaya akan mikronutrien, serat dan memiliki cita rasa yang khas.

Selain kandungan alaminya, Purula difortifikasi dengan 10 vitamin dan dua mineral. Purula dapat membantu mencukupi kebutuhan mineral khususnya zat besi harian.

Purula disajikan tanpa perlu proses pengolahan dan dapat langsung dikonsumsi dengan ditabur ke nasi, mi, bubur, telur, roti dan makanan lain.

Baca juga: Enam juta anak terancam kehilangan IQ hingga 15 poin akibat stunting

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022