Jakarta (ANTARA News) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia memperjuangkan biaya visum korban kekerasan seksual ditanggung BPJS Kesehatan sehingga korban yang sulit secara ekonomi bisa melanjutkan proses hukum yang membutuhkan Visum et Repertum (VER).

"KPAI dan PB IDI bersinergi memperjuangkan biaya VER pada korban kekerasan seksual ditanggung oleh BPJS," kata Komisioner KPAI bidang Kesehatan dan NAPZA Sitti Hikmawatty di Jakarta, Jumat.

Dia memandang perlunya biaya terkait penegakan VER pada korban korban kasus kekerasan seksual dan penganiayaan khususnya terhadap perempuan dan anak dapat dibiayai BPJS. Terlebih saat ini angka kejadian kekerasan ini semakin meningkat prevalensinya.

Berdasarkan rujukan KUHAP, kata dia, biaya visum itu memang menjadi tugas dan tanggung jawab negara. Selama ini karena visum itu dilakukan untuk kepentingan penyidikan harus dialokasikan kepolisian.

Akan tetapi, lanjut dia, polisi sering mengeluh ketika tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk visum korban. Pada akhirnya beban visum menjadi tanggung jawab korban.

"Ini tragis. Sudah korban mengalami kerugian immateril, psikis yang terlukai, harus pula korban rugi secara materi. Maka kami bersikeras hal ini harus di atur dalam JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional," kata dia.

Dalam praktik, terkadang terdapat unit Perlindungan Perempuan dan Anak yang akhirnya melakukan patungan agar diketahui kondisi korban lewat visum, terutama bagi yang tidak memungkinkan secara ekonomi.

Hikmah mengatakan JKN harus ikut menyentuh persoalan pembiayaan visum bagi korban kekerasan.

"JKN harus jadi solusi dalam mengatasi masalah terkait kesehatan nasional, apalagi UU sudah mewajibkan tentang itu, artinya negara memang harus hadir mengatasi masalah ini," kata komisioner KPAI itu.

Perwakilan PB IDI Kusniah mengatakan pada banyak kasus RS tidak tega membebankan biaya visum pada korban yang ditangani. Korban dan keluarga korban ketika mendapat rujukan agar melakukan visum, berpikir VER dibiayai negara.

"Hal itu tidak salah, tapi kami jadi tidak bisa menagihkan hal ini kepada siapa-siapa sehingga menjadi beban tersendiri bagi RS," kata dia.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018