Jakarta (Antaranews Sulsel) - Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menegaskan, revolusi Uni Eropa terhadap kelapa sawit merupakan sikap diskriminatif pada industri sawit.

Penegasan itu disampaikan Mahendra Siregar dalam seminar 'Menjawab Hambatan perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global' yang berlangsung di Singosari Room, Hotel Borobudur Jakarta.

Rencana parlemen Uni Eropa untuk mengeluarkan kelapa sawit sebagai salah satu bahan dasar biofuels di Eropa pada tahun 2021 mendapat respon keras dari berbagai kalangan di Indonesia.

"Jika alasan parlemen UE adalah terkait deforestasi dan perusakan lingkungan, maka tuduhan tersebut sama sekali tidak benar. Selama ini industri kelapa sawit telah memenuhi aspek-aspek keberlanjutan sesuai yang diwajibkan oleh Pemerintah melalui 'Indonesia Sustainable palm Oil' (ISPO)," kata Mahendra Siregar.

Disinggung masalah deforestasi, ia mencontohkan bahwa pada tahun 2050, permintaan minyak nabati dunia diperkirakan akan mencapai 400 juta.  

Sehingga tambahnya, dengan rata-rata produksi 6-7 juta ton CPO per hektare maka 30 tahun mendatang diperlukan sekitar 30 juta hektare lahan sawit untuk mencukupi kebutuhan tersebut.

"Sementara jika kita harus mengandalkan pada kedelai misalnya, yang memiliki produktivitas 1:10 kelapa sawit, diperlukan sekitar 200-300 juta hektare lahan tambahan. Data tersebut bisa menjawab, mana yang menyebabkan lebih banyak deforestasi," imbuhnya.

Sementara itu, melalui Kementerian Perdagangan yang diwakili oleh Staff Khusus Menteri Perdagangan, Lili Yan Ing menyatakan bahwa pemerintah telah melayangkan surat kepada Komisi UE bahwa mengeluarkan minyak sawit dari bahan bakar biofuels tidak akan menjawab isu deforestasi, karena isu deforestasi tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan industri kelapa sawit.

"Indonesia akan berpegang teguh pada non-discriminative, fair, equitable treatment. Oleh karena itu, kami menolak bila terdapat diskriminasi. Bila produk kami didiskriminasi maka segala langkah akan kami tempuh untuk memperjuangkan hak kami," tegas  Lili Yan Ing.

Menanggapi hal tersebut, perwakilan EEAS (European External Action Service) Jakarta, Bucki Michael menyatakan bahwa resolusi tersebut masih dalam tahap pembahasan.

"Kami juga masih akan melakukan kajian lebih lanjut terkait isu deforestasi maupun perubahan iklim yang disebabkan oleh industri sawit,” terang Bucki Michael.

Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono menyatakan akan terus mendorong dan memberikan dukungan kepada pemerintah (strategi perdagangan), agar dapat mencapai solusi yang konkrit dan berkelanjutan.

“Perjanjian antar negara memegang peran strategis untuk memberikan jaminan agar produk kelapa sawit dapat diterima di luar negeri. Hal tersebut penting untuk dilakukan, mengingat posisi strategis komoditas sawit bagi Indonesia,” pungkasnya.

Pewarta : -
Editor : Amirullah
Copyright © ANTARA 2024