Gowa (Antaranews Sulsel) - Pusat Pengkajian Keuangan Negara dan Daerah (PPKND) bersama Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Patria Artha (UPA) mengekspos dugaan penyimpangan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di Sulawesi Selatan.

"Provinsi Sulsel telah menerima WTP sebanyak delapan kali berturut-turut, namun kami meragukan pemberian WTP itu murni dari hasil pengelolaan dan pelaporan keuangan serta neraca daerah," ungkap peneliti senior PPKND, Bastian Lubis didampingi Wakil Direktur Pukat UPA, Andika Yuli Rimbawan dan Seketaris Direktur PPKD, Suhendra di kampus UPA, Kabupaten Gowa, Senin.

Berdasarkan hasil analisis serta mempelajari dokumen dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu-satunya institusi pemberian WTP, terdapat dugaan penyimpangan, sebab sejak 2010 Pemrov Sulsel mendapat WTP yang seharusnya tidak diberikan.

Sesuai LHP BPK nomor 35c/HP/XIX.MKS/06/2008 atas pemeriksaan tahun anggaran 2007 terdapat kekurangan atau ketekoran kas bendahara pengeluaran Sekertariat Pemprov Sulsel sebesar Rp24,5 miliar lebih sehingga dikeluarkan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP).

Selanjutnya, pemeriksaan Tahun Anggaran 2009, temuan kas ketekoran kas 2007 malah dipindahkan ke prakiraan piutang lain, seakan-akan sudah ada bertanggungjawab dan bersedia mengembalikan ketekoran anggaran tersebut, tetapi tidak ada.

Sesuai dengan pasal 22 ayat 1 Undang-undang nomor 15 tahun 2004, BPK menerbitkan SK penetapan batas waktu pertangungjawabab bendahara atas kekurangan kas atau barang yang terjadi, setelah diketahui ada kekurangan kas atau barang yang merugikan negara.

Ironisnya, hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pada 2010 dengan prakiraan piutang malah berkurang sebesar Rp20,4 miliar lebih. Bahkan tidak ada yang bertanggungjawab dan diabaikan saja oleh oknum ouditor BPK dan dianggap sudah selesai hingga Tahun Anggaran 2015.

"Hasil LHP 2015 atau sekitar delapan tahun dibuatkan pos penyisihan piutang atau kasarnya dihapuskan. Bukankan ini bertentangan dengan Undang-undang nomor 15 tahun 2005 di pasal 26 ayat 2," beber dia.

Sedangkan disisi lain LHP BPK nomor 31 C, pelaporan tentang dana Bantuan Sosial bagi organisasi kemasyarakatan juga terindikasi merugikan keuangan daerah sebesar Rp8,8 miliar lebih dan belum dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp26,6 miliar lebih.

Untuk jumlah penerima bantuan kepada penerima yang tidak jelas keberadaanya dengan 202 proposal dengan jumlah bantuan sebesar Rp8,8 miliar lebih. Sedangkan jumlah penerima bantuan yang belum dapat diyakni kewajarannya sebanyak 278 proposal senilai Rp9 milar lebih.

"Proposal yang tidak ada alamatnya sebanyak 419 proposal dengan nilai Rp17,5 miliar lebih. Hanya beberapa mantan anggota dewan (Adil Patu dkk) diproses pengadilan pada 2 November 2015 karena terlibat menyalahgunakan anggaran negara dengan proposal fiktif," beber dia.

Seharusnya, lanjut Lubis, oknum auditor BPK yang memeriksa antara tahun 2009-2010 memproses seluruh kasus itu sesuai aturan perundang-undangan yang menyebutkan, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK harus melaporkan itu kepada aparat penegak hukum, namun urung dilaksanakan.

Bila memperhatikan LHP nomor 14.b/HP/XIX.MKS/05/2010 tertanggal 22 Mei 2010, atas pemeriksaan Tahun Anggaran 2009, posisi neraca per 31 Desember 2009 adalah, nilai Aktiva Tetap sebesar Rp454,3 miliar lebih tidak dapat diyakini kewajarannya.

Pengamanan terhadap aset negara daerah Pemrov Sulsel masih lemah. Pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas Luar Provinsi Sekertariat DPRD tidak didukung bukti yang lengkap sebesar Rp15,1 miliar lebih. Kerugian daerah hasil pemeriksaan BPK sebesar Rp5,8 miliar lebih berpotensi kadaluarsa.?

Nilai piutang lain-lain pada Sekertariat Daerah sebesar Rp20 miliar lebih tidak dapat diyakini kewajarannya. Penyetaraan modal pada Perusahaan Daerah sebesar Rp10,4 miliar lebih juga tidak dapat diyakini kewajarannya.

"Dalam kurun waktu enam bulan ada dugaan semua bisa berubah, apa itu dimungkinkan. Itu bisa saja mungkin dengan catatan ada dugaan oknum-oknum auditor BPK yang bermain dan berbuat tidak jujur pada masa itu (2009-2010)," sebut Lubis.


Penghapusan Aset Pemprov Sulsel


Berdasarkan LHP nomor 15A/LHP/XIX.MKS/7/2010 tertanggal 4 Juli 2011, Tahun Anggaran 2010, diduga dilaksanakan pengapusan buku dalam daftar aset tanah dengan harga sebesar Rp260 miliar lebih atau setara dengan luasan tanah 150 hektare.

Lokasi tersebut berada di kawasan Antang, Kecamatan Manggala, Makassar, pada lampiran 6 daftar penyusunan aset tetap tanah tahun 2010, selisih kurang atau dihapus bukukan ke dalam daftar aset di Manggala, Antang sebesar Rp260 miliar lebih.

"Penghapusan ini bisa saja terjadi apabila ada persetujuan DPRD Sulsel. Tapi dari informasi yang kami peroleh dan mencari langsung, dewan tidak pernah bertanda tangan melepas aset itu, dan mereka sama sekali tidak mengetahui," ungkapnya.

Temuan-temuan BPK sejak 2004 sampai 2009 sesuai Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS), BPK belum ditindaklanjuti Pemrov Sulsel secara total sebesar Rp743,7 miliar lebih, terdiri dari administrasi 12 temuan sejumlah Rp530,7 miliar lebih.

Selanjutnya 10 temuan potesi kerugian negara sebesar Rp74,8 miliar lebih, dan temuan setor ke Kas Daerah dengan jumlah 34 temuan sebesar Rp138,1 miliar lebih dengan total Rp743,7 miliar.

Bahtiar mengemukakan bagaimana mungkin BPK memberikan WTP, sementara pelaporan pada Tahun Anggara 2010 hingga 2017 masih terdapat banyak penyimpangan. Seharusnya masalah itu diselesaikan dulu, tapi kenapa bisa dapat berkali-kali WTP.

"Dugaannya, diberikan WTP agar bisa dapat Dana Intesif Daerah dan pinjaman ke Pusat Investasi Pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Dalam waktu dekat kami akan melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi bersama alat bukti," beber dia.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Amirullah
Copyright © ANTARA 2024