Makassar (ANTARA News Sulsel) - Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan menduga PT Vale Indonesia Tbk melakukan pencemaran Danau Maloha di Kabupaten Luwu Timur akibat aktifitas pertambangan perusahaan tersebut selama beberapa tahun terakhir. 

"Dari hasil investigasi Walhi Sulsel, buangan tanah bekas tambang PT Vale Indonesia telah membuat laju sedimentasi semakin meningkat hingga membentuk daratan baru yang penuh lumpur di pinggiran Danau Mahalona," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin di Makassar, Selasa.    

Amin menjelaskan, Danau Mahalona yang terletak di Desa Tole, Kecamatan Towuti seluasnya 2.289 hektare adalah satu dari tiga danau purba yang terletak di kawasan Pegunungan Verbeck, selain Danau Towuti dan Danau Matano. 

Sejak tahun 1979, ketiga danau tersebut dan hutan di sekitarnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan suaka alam dan kawasan konservasi.

Hasil investigasi dan kajian lapangan Walhi Pusat bersama Walhi Sulsel pada september lalu, kondisi ekosistem Danau Mahalona terus mengalami degradasi akibat adanya aktivitas penambangan yang dilakukan PT Vale Indonesia. 

Aksi turun ke jalan di kantor PT Vale di jalan Somba Opu Makassar pun dilakukan untuk mengkampanyekan pencemaran Danau Mahalona yang disebabkan kegiatan tambang PT Vale di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur (Lutim) tersebut.  

Menurut dia transport sedimen lumpur tanah tumpahan hasil tambang bahkan sampai ke Danau Mahalona melalui Sungai Timbalo dan Sungai Mata Buntu.

"Buktinya, luas Danau Mahalona saat ini sekitar 2.289 hektar, mengalami penyusutan 151 hektar jika dibandingkan dengan luasnya pada Surat KepMen Pertanian RI nomor: 274/Kpts/Um/4/79 yakni 2440 hektare," bebernya.

Dampak dari pencemaran itu, lanjut Amin, populasi Ikan Butini (Glosogobius Matanensis) yang merupakan ikan endemik di Danau Mahalona mulai menurun. Hal ini membuat masyarakat Desa Tole yang menangkap ikan di Danau Mahalona semakin berkurang. 

Selain ikan Butini, aktivitas tambang PT Vale Indonesia juga mengancam kelestarian fauna dan flora endemik lainnya, seperti kayu Tembeau, Anoa Quarlesi, Babi Rusa dan beberapa jenis lainnya.

"Bukan hanya itu, lahan bercocok tanam masyarakat yang berada di sekitar sungai sering mengalami kerusakan, terutama ketika bendungan Petea dibuka, bahkan banyak dari masyarakat meninggalkan sawahnya," ungkap dia.

PT Vale Indonesia diketahui menguasai konsensi lahan seluas 118.000 hektare, termasuk Pegunungan Sumbitta yang merupakan benteng terakhir masyarakat Tole yang harus diselamatkan dari penambangan. 

"Jika Pegunungan Sumbitta juga ditambang, maka akan berpotensi merusak ekosistem hutan, menghilangkan keanekaragaman hayati, menurunkan kualitas dan kuantitas air, dan tentunya meningkatkan beban pencemaran pada lingkungan terutama di tiga danau purba yang dimiliki masyarakat Sulsel," papar Al Amin.

Sebelumnya, sejumlah aktivis Walhi Sulsel menggelar aksi aksi di depan kantor perwakilan PT Vale Indonesia, di jalan Somba opu, Makassar, Selasa (4/12)  Aksi ini dilakukan untuk mengkampanyekan pencemaran Danau Mahalona yang disebabkan kegiatan tambangnya.  

Walhi Sulsel mendesak agar kontrak karya PT VALE di tinjau ulang, agar kerusakan hutan dan danau tidak semakin meluas diakibatkan pertambangan tersebut yang dinilai merugikan masyarakat.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Suriani Mappong
Copyright © ANTARA 2024