Mamuju (Antaranews Sulbar) - BPJS Kesehatan Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat menyosialisasikan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kabid SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Mamuju Adnan, Rabu, mengatakan sosialisasi Perpres 82/2018 itu penting dilakukan karena ada banyak perubahan dibanding Perpres sebelumnya.

"Ada sejumlah perubahan pada Perpres 82/2018 sehingga kami perlu melakukan sosialisasi kepada seluruh pihak, termasuk masyarakat. Pada pasal Perpres 82/2018 tersebut, juga mengatur kewenangan sejumlah `stakeholder` tetapi kami hanya fokus pada tupoksi BPJS Kesehatan," kata Adnan.

Sementara, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma?ruf melalui rilisnya mengatakan, Perpres Nomor 82 tahun 2018 tersebut membawa angin segar bagi implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

"Tidak hanya menyatukan sejumlah regulasi yang awalnya diterbitkan masing-masing instansi, Perpres ini juga menyempurnakan aturan sebelumnya," ucapnya.

"Perpres tersebut menjabarkan beberapa penyesuaian aturan di sejumlah aspek. Secara umum, ada beberapa hal yang perlu diketahui masyarakat," terang Iqbal.

Ia menguraikan, hal yang perlu diketahui masyarakat, diantaranya status peserta yang ke luar negeri.

Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018, lanjutnya, disebutkan bahwa seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah menjadi peserta JKN-KIS dan tinggal di luar negeri selama 6 bulan berturut-turut, dapat menghentikan kepesertannya sementara.

Selama masa penghentian sementara itu, ia tidak mendapat manfaat jaminan BPJS Kesehatan.

"Jika sudah kembali ke Indonesia, peserta tersebut wajib melapor ke BPJS Kesehatan dan membayar iuran paling lambat satu bulan sejak kembali ke Indonesia. Jika sudah lapor, ia pun berhak memperoleh kembali jaminan kesehatan. Aturan ini dikecualikan bagi peserta dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) yang masih mendapatkan gaji di Indonesia," papar Iqbal.

Dalam Perpres 82/2018 itu juga dijelaskan aturan suami-istri sama-sama bekerja.

Jika ada pasangan suami-istri yang masing-masing merupakan pekerja, maka keduanya wajib didaftarkan sebagai peserta JKN-KIS segmen Pekerja Penerima Upah oleh masing-masing pemberi kerja, baik pemerintah ataupun swasta.

Keduanya juga harus membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berhak memilih kelas perawatan tertinggi.

"Jika pasangan suami-istri tersebut sudah mempunyai anak, maka untuk hak kelas rawat anaknya, dapat ditetapkan sejak awal pendaftaran dengan memilih kelas rawat yang paling tinggi," kata Iqbal.

Selanjutnya, status kepesertaan bagi perangkat desa yang pada Perpres 82/2018 itu juga membuat status kepesertaan JKN-KIS bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa menjadi lebih jelas.

Kedua jabatan tersebut ditetapkan masuk dalam kelompok peserta JKN-KIS segmen PPU yang ditanggung oleh pemerintah.

"Perhitungan iurannya sama dengan perhitungan iuran bagi PPU tanggungan pemerintah lainnya, yaitu dua persen dipotong dari penghasilan peserta yang bersangkutan dan tiga persen dibayarkan oleh pemerintah," kata Iqbal.

Pendaftaran bayi baru lahir masih terkait kepesertaan yang dalam Perpres tersebut juga menegaskan bahwa bayi baru lahir dari peserta JKN-KIS wajib didaftarkan ke BPJS Kesehatan paling lama 28 hari sejak dilahirkan.

Aturan itu mulai berlaku tiga bulan sejak Perpres tersebut diundangkan.

Jika sudah didaftarkan dan iurannya sudah dibayarkan, maka bayi tersebut berhak memperoleh jaminan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Khusus untuk bayi yang dilahirkan dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), maka secara otomatis status kepesertaannya mengikuti orang tuanya sebagai peserta PBI.

"Untuk bayi yang dilahirkan bukan dari peserta JKN-KIS, maka diberlakukan ketentuan pendaftaran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) pada umumnya, yaitu proses verifikasi pendaftarannya memerlukan 14 hari kalender, dan setelah melewati rentang waktu itu, iurannya baru bisa dibayarkan," paparnya.

"Oleh karenanya, kami mengimbau para orang tua untuk segera mendaftarkan diri dan keluarganya menjadi peserta JKN-KIS, agar proses pendaftaran dan penjaminan sang bayi lebih praktis," papar Iqbal.

Pada Perpres 82/2018 itu juga memberi ketegasan mengenai denda bagi peserta JKN-KIS yang menunggak.

Status kepesertaan JKN-KIS seseorang dinonaktifkan jika ia tidak melakukan pembayaran iuran bulan berjalan sampai dengan akhir bulan, apalagi bila ia menunggak lebih dari satu bulan.

Status kepesertaan JKN-KIS peserta tersebut akan diaktifkan kembali jika ia sudah membayar iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk 24 bulan.

Ketentuan ini berlaku mulai 18 Desember 2018.

"Kalau dulu hanya dihitung maksimal 12 bulan, sekarang diketatkan lagi aturannya menjadi 24 bulan. Ilustrasinya, peserta yang pada saat Perpres ini berlaku telah memiliki tunggakan iuran sebanyak 12 bulan, maka pada bulan Januari 2019 secara gradual tunggakannya akan bertambah menjadi 13 bulan dan seterusnya pada bulan berikutnya, sampai maksimal jumlah tunggakannya mencapai 24 bulan," papar Iqbal.

Sementara itu, denda layanan diberikan jika peserta terlambat melakukan pembayaran iuran.

Jika peserta tersebut menjalani rawat inap di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam waktu sampai dengan 45 hari sejak status kepesertaannya aktif kembali, maka ia akan dikenakan denda layanan sebesar 2,5 persen dari biaya diagnosa awal INA-CBG?s.?

Adapun besaran denda pelayanan paling tinggi adalah Rp30 juta.

"Ketentuan denda layanan dikecualikan untuk peserta PBI, peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah dan peserta yang tidak mampu. Ketentuan ini sebenarnya bukan untuk memberatkan peserta, tapi lebih untuk mengedukasi peserta agar lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya membayar iuran bulanan. Jangan lupa, di balik hak yang kita peroleh berupa manfaat jaminan kesehatan, ada kewajiban yang juga harus dipenuhi," kata Iqbal.

Ia menyebutkan, Program JKN-KIS merupakan amanah negara yang harus dipikul bersama.

BPJS Kesehatan lanjutnya, tidak dapat berdiri sendiri mengelola program jaminan kesehatan dengan jumlah peserta terbesar di dunia ini.

Masing-masing pihak memiliki peran penting untuk memberikan kontribusi sesuai dengan otoritas dan kemampuannya.

"Perpres Nomor 82 Tahun 2018 juga mendorong kementerian, lembaga, dan para pemangku lainnya untuk melakukan perbaikan di berbagai aspek, mulai dari sisi pelayanan kesehatan, manajemen sistem rujukan, pengawasan terhadap pelayanan kesehatan, koordinasi manfaat, koordinasi penjaminan pelayanan, hingga mengoptimalkan upaya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan Program JKN-KIS," terangnya.

"Dengan adanya landasan hukum baru tersebut, semoga peran kementerian/lembaga terkait, Pemerintah Daerah, manajemen fasilitas kesehatan, dan stakeholder lainnya yang terlibat dalam mengelola JKN-KIS bisa kian optimal," harap Iqbal.

Pewarta : Amirullah
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024