Makassar, (Antaranews Sulsel) - Pakar ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Marzuki DEA menilai penghapusan Laporan Surveyor (LS) khususnya sawit dan turunannya perlu pengawasan agar kebijakan hanya bersifat temporer sampai permintaan global kembali normal.

Prof Marzuki DEA di Makassar, Kamis, mengatakan pada satu sisi kebijakan yang akan diambil pemerintah sebagai upaya untuk mendorong ekspor memang patut diterima.

"Jika alasan pemerintah mendorong suplai dengan harapan permintaan ekspor akan naik maka dapat diterima. Tapi tentu perlu diawasi karena jangan sampai keterusan yang justru merugikan kepentingan bangsa dan negara," ujarnya

Ia menjelaskan, kebijakan penghapusan LS begitu jelas sebagai upaya mendorong ekspor.

Dan jika melihat sepintas, kata dia, memang bagus tapi bagaimana dampak manfaat dan kerugiannya bagi Indonesia, itu yang perlu menjadi perhatian.

Menurut dia, jika kebijakan itu pada akhirnya dilakukan, dirinya menilai berpotensi memberikan banyak dampak negatif atau kerugian bagi Indonesia.

Terutama, kata dia, dalam kaitannya dengan pencatatan statistiknya. Apalagi kebijakan selama ini saja masih merugikan Indonesia karena meskipun tercatat kebanyakan dari barang ekspor itu sebagai komoditas ekspor Indonesia, tapi secara rielnya tidak demikian.

"Karena kebanyakan dari hasil ekspor sawit tersebut bukanlah produk-produk dari pengusaha nasional apalagi rakyat Indonesia, tapi kegiatan PMA (Penanaman Modal Asing) sehingga hasil nilai tambahnya hanya dinikmati pemilik modal asing tersebut dan bukan rakyat dan bangsa Indonesia," jelasnya.

Misalnya, kata dia, negara hanya mendapatan hasil pencatatan angka statistik yang bisa besar jika ekspornya tingga, jadi bukan memperoleh nilai uangnya.

"Itulah yang jadi masalah sebenarnya dalam pencatatan pendapatan secara nasional dan wilayah kita. Ada tercatat ekspor yang meningkat, misalnya dari sektor pertanian besar dari hasil-hasil eksploitasi tambang, tapi hasilnya tidak dinikmati rakyat dan bangsa ini, tapi dinikmati oleh pemilik-pemilik usaha tersebut yang umumnya PMA," sebut dia.

Artinya, jika angka pertumbuhan diperoleh dari penjumlahan hasil ekspor, maka angka pertumbuhan itu sebenarnya tidak seperti yang tercatat. Karena hasil ekspor tersebut milik bangsa lain. Sehingga untuk menghitung angka pertumbuhan riel bangsa dan daerah sendiri, seharusnya tdk memperhitungkan nilai tambah dari bangsa lain.

Tetapi betul-betul harus angka pertumbuhan dari nilai tambah yang dihasilkan rakyat bangsa sendiri.

Hal ini, lanjut dia, juga terkait dengan hasil ekspor komoditas kelapa sawit, karena umumnya itu adalah hasil industri pertanian dari PMA.

"Jika sebelumnya kita dapat sesuatu, meskipun hanya data pencatatan, sekarang tidak ada lagi jika dihapus. selain hanya tanah negeri ini dijadikan lahan untuk kesejahteraan bangsa lain," tegasnya.

Pewarta : Abdul Kadir
Editor : M Darwin Fatir
Copyright © ANTARA 2024