Bandarlampung (ANTARA) - Pulau Pisang yang dikelilingi perairan di kawasan Samudera Hindia itu secara administratif masuk wilayah Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Daratan itu menjadi salah satu pulau terluar di wilayah tersebut.

Mengapa dinamakan Pulau Pisang? Informasi yang dihimpun menyebutkan, ada dua versi. Pertama, saat ditemukan di pulau tersebut terdapat banyak tanaman pisang hutan. Kedua, orang yang kali pertama menginjakkan kakinya ke pulau tersebut dari daratan Pulau Sumatera yakni menggunakan rakit berbahan utama pohon pisang.

Nampaknya keterangan kedua yang oleh sebagian besar warga setempat diyakini kebenarannya. Selain itu diperkuat kondisi di pulau tersebut tidak banyak tanaman pohon pisang.

Warga setempat mayoritas berprofesi sebagai pekebun terutama cengkih dan kelapa, serta nelayan dengan target utama adalah ikan blue merlin atau warga setempat menyebutnya "iwa tuhuk".

Sementara untuk pendidikan, di pulau tersebut hanya ada dua sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama, sehingga warga yang ingin meneruskan pendidikannya harus ke luar pulau seperti ke Krui, ibu kota Kabupaten Pesisir Barat, ke Liwa-Lampung Barat, atau ke Kota Bandarlampung, bahkan ke provinsi lain baik di Sumatera maupun Jawa.

Dari dua sekolah dasar tersebut, satu yang menjadi unik karena merupakan sekolah peninggalan zaman Belanda ketika mereka menjajah Indonesia.

Namun, tak ada dokumen tersisa dari sebuah sekolah peninggalan Zaman Belanda yang bangunannya masih berdiri kokoh itu.

Sejak Belanda menjajah hingga angkat kaki dari negeri ini, bangunan tersebut terus digunakan sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar.

Beberapa nama pernah digunakan untuk sekolah tersebut antara lain sekolah desa, sekolah rakyat, SDN I Pulau Pisang dan SDN Pasar Pulau Pisang hingga kini.

Meski demikian, tak ada satu pun dokumen terkait kapan sekolah itu dibangun. Namun, ketika dlakukan rehabilitasi sekolah itu pada tahun 2012, kala Pulau Pisang masih masuk wilayah Kabupaten Lampung Barat, belum pemekaran masuk ke Kabupaten Pesisir Barat seperti saat ini, ditemukan tulisan di salah satu balok di atas tertera 1892. Dan itu diyakini sebagai tahun pembuatan atau pembangunan sekolah tersebut.

Bangunan tersebut semuanya berdinding papan dengan pintu yang tinggi dan lebar, atap dari genteng tanah liat, serta plafonnya dari geribik, semacam bilik dari bambu.

Kepala Sekolah SDN Pasar Pulau Pisang saat ini, Azizi S.Pd, mengatakan ketika rehabilitasi tahun 2012, pernah dilakukan penggantian plafon dengan tripleks, namun demi mendekati aslinya, maka diganti lagi dengan geribik.

Hampir semua, lanjut Azizi yang juga lulusan dari sekolah tersebut, masih orisinal dalam arti bahannya. Kecuali untuk lantai yang tadinya hanya semen biasa, kini diubah dengan keramik, dan plafon meski geribik tapi bukan aslinya.

Papan daun pintu dan kuncinya pun sudah ada yang diganti karena mengalami kerusakan, namun bentuknya masih seperti aslinya baik motif dan catnya.

Sedangkan barang atau benda lain yang masih tersisa dari era Belanda itu yakni sebuah lemari dari kayu jati serta lonceng yang terbuat dari besi bulat dan pipih. Kedua barang tersebut masih digunakan juga hingga kini. Azizi SPd menunjukkan lonceng, salah satu peninggalan era Belanda yang hingga kini masih digunakan, pada Sabtu (30/3/2019) (antara/triono subagyo)
Sayangnya, jumlah kelas bangunan sisa Belanda tersebut hanya lima ruangan. Masing-masing cukup lebar yakni berukuran 8x6 meter.

Terkait bangunan tersebut masih ada di Pulau Pisang, karena banyak di sejumlah tempat sudah rusak atau hilang, kepala sekolah itu menuturkan, berdasarkan informasi turun temurun di pulau itu bahwa ketika Belanda kalah dan meninggalkan Tanah Air semua aset dan bangunannya dimusnahkan dengan cara dibakar.

Namun, lanjutnya, kala itu penduduk Pulau Pisang cerdik yakni dengan cara mengumpulkan aneka kayu kering kemudian dibakar, sehingga terlihat dari Krui--ibu kota Kabupaten Pesisir Barat saat ini yang berjarak sekitar 20 kilometer laut, bahwa sekolah itu pun ikut dimusnahkan.

Saat ini, menurut Azizi, jumlah siswanya ada 74 orang. Kelas satu 12 orang, kelas 2 sebanyak 10 orang, kelas 3 ada 9 murid, kelas 4 sebanyak 11 orang, kelas 5 ada 18 orang dan kelas 6 sebanyak 14 siswa.

Terkait cuma lima lokal, bagaimana dengan murid satu kelas lainnya? Azizi menjelaskan sudah ada bangunan baru permanen yang ada di belakang gedung sekolah tersebut untuk menampung dua kelas yakni kelas lima dan enam, sementara satu kelas bangunan lama digunakan untuk ruang guru dan menyimpan dokumen lainnya.

Azizi pun menambahkan, ayah dari Taufik Kiemas--suami Megawati Soekarnoputri, juga pernah mengajar di sekolah tersebut, namun tidak diketahui tahun berapa. Dan hingga kini keluarga besar Taufik Kiemas pun masih ada di pulau itu.

Selain itu, ayah dari pengacara dan politikus Henry Yosodiningrat juga pernah sekolah di sana. Banyak pula lulusan dari sekolah tersebut yang menjadi pejabat atau profesi lainnya.

Azizi sendiri menjadi guru di sekolah tersebut sejak tahun 1997 dan mulai menjalani tugas sebagai kepala sekolah sejak tahun 2011 hingga kini dengan didampingi guru PNS sebanyak delapan orang dan guru kontrak empat orang.

Sementara mengenai bahasa yang digunakan karena keseharian penduduk setempat menggunakan bahasa daerah yakni Bahasa Lampung, menurut kepala sekolah itu digunakan bahasa Indonesia, tetapi oleh guru kerap diselingi bahasa Lampung ketika terbentur dalam menjelaskan suatu hal, sehingga perlu memberikan contoh menggunakan bahasa daerah.

Kepala sekolah itu yang merupakan penduduk setempat, sangat berharap Kedutaan Besar Belanda di Indonesia mengetahui bahwa di pulau tersebut tersisa satu bangunan peninggalan pemerintahan mereka.

Tujuannya agar ada dari mereka mendatangi pulau itu dan mungkin bisa dicatat sebagai peninggalan sejarah serta berharap untuk membantu menjaga dan melestarikannya.

Pewarta : Triono Subagyo
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024