Makassar (ANTARA) - Koordinator Program Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sulawesi Selatan, Warida Safie menegaskan, butuh peran serta semua pihak dalam mengatasi isu bullying atau perundungan pada anak-anak.

Pernyataan ini menyusul keprihatinan LPAI terhadap kasus pengeroyokan yang menimpa Audry (14), seorang siswi asal Pontianak yang tengah viral hingga membuahkan petisi Justice for Audrey. Kasus ini pun terjadi berawal dari saling mem-bully di sosial media.

"Bullying sudah dari dulu ada tapi motifnya sekarang makin bervariatif, salah satunya lewat media sosial (medsos). Karena itu untuk memerangi bullying ini, membutuhkan peran semua pihak, bahkan anak sendiri pun berperan untuk mencegah kasus ini. Peran orangtua, sekolah, keluarga mendidik dengan baik dan 
bijaksana," papar Ida sapaannya, di Makassar, Kamis.

Ida menyampaikan, pemerintah saat  ini tengah mengupayakan agar kasus bullying semakin mengecil, melalui implementasi sekolah ramah anak (SRA)yang menjadi bagian dari terwujudnya Kota Layak Anak (KLA).

SRA dianggap mampu mencegah dan memutus mata rantai kasus bullying di masyarakat. Salah satunya melalui forum anak, yang  mengajak anak-anak menjadi pelopor pencegahan kekerasan dan bulliying pada sebayanya.

"Beberapa indikator Kota Layak Anak juga mengajarkan menghargai pendapat anak, tidak ada diskriminasi serta mengajarkan tidak melihat perbedaan yang ada dalam diri setiap orang. Sehingga kalau ini bisa dilakukan dengan baik mulai dari sekarang, tentu menjadi perlawanan kita yang anti-bullying," jelasnya.

Terkait hal ini, Pemerhati Anak, Rusdin Tompo mengatakan, kasus bullying bisa terjadi karena adanya relasi kuasa, memiliki otoritas dari segi umur, ekonomi dan sebagainya. Hal ini pula yang dianggap terjadi kepada Audry yang masih SMP dikeroyok oleh siswi SMA yang berjumlah belasan orang.

"Namun yang memprihatinkan karena pelaku ingin tujuannya mempertontonkan dan menciptakan kesenangan. Lingkaran bulliying memang seperti itu, ada pelaku utama, ada pelaku lain, tidak melakukan apa-apa tetapi juga tidak berusaha melerai, bahkan seolah mendukung," ungkapnya.

Senada, Kepala Unit Pelaksana Teknis Unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT P2TP2A) Sulsel, Meisy Papayungan mengemukakan, bullying memang sudah banyak terjadi di sekolah-sekolah dan kelompok masyarakat atau teman sebaya sebelum penggunaan medsos meluas di kalangan anak.

Umumnya disebabkan oleh relasi yang tidak seimbang. Anak merasa lebih berkuasa terhadap anak yang lebih lemah, penakut, atau memiliki kekurangan fisik. Anak yang lebih powerfull mempunyai lebih banyak pendukung, ngebos sehingga lebih muda mengintimidasi korban bullying. Sementara anak yang jadi korban bully biasanya anak yang terpinggirkan, lebih kecil, lebih muda, kurang teman atau pendukung.

"Nah umumnya persoalan mendasar antara korban dan pelaku bully tidak diselesaikan tuntas hanya didamaikan formalitas sehingga hal ini terus dapat berlanjut," katanya menyayangkan.

Saat ini, lanjut Meisy, semakin banyak pengguna medsos yang tidak bijaksana menyampaikan tulisan. Parahnya, medsos dijadikan tempat curhat melampiaskan perasaannya, tanpa mempertimbangkan dampak atau efek yang ditimbulkan karena menjadi konsumsi khalayak.

"Termasuk kalau bermasalah dengan seseorang atau tidak suka diumbar di status dan komen di sosmed. Itu jadi bentuk bullying/perundungan milenial masa kini," paparnya.

Pewarta : NS Wardyah
Editor : Suriani Mappong
Copyright © ANTARA 2024