Makassar (ANTARA) - Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Sulawesi Selatan merilis berbagai kekurangan pemilu 2019 yang telah digelar rakyat Indonesia pada 17 April lalu. Ini berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan 220 kaum milenial di 221 Tempat Pemungutan Suara (TPS) se-Sulsel.

"Catatan ini adalah kumpulan hasil temuan teman-teman relawan pemantau pemilu Sulsel 2019," ungkap Direktur Implementasi Program LSKP, Salma Tadjang pada keterangan rilisnya, Rabu.

Pemantauan yang didominasi mahasiswa di berbagai daerah ini menemukan beragam kekurangan pesta demokrasi 2019. Utamanya dalam hal penyediaan logistik, hingga politik uang yang masih menggurita di masyarakat.

Logistik Pemilu 2019 dari 220 TPS yang dipantau, ada 22 atau 10 persen TPS yang tidak lengkap surat suaranya atau tidak cukup (tidak sesuai dengan jumlah pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap. Kondisi ini terjadi di TPS 10 Desa Bone, Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa. Surat suara kabupaten tidak cukup sementara surat suara DPRD provinsi berlebihan.

Selain surat suara, jumlah bilik suara yang tidak cukup juga dialami beberapa TPS. Ditemukan terjadi di salah satu TPS Kelurahan Tamalanrea.
Alhasil, ketidaklengkapan beberapa logistik berdampak pada terlambatnya proses pemungutan suara.

Selain itu, poster daftar calon legislatif dan capres/cawapres juga tidak ditempel di lokasi TPS sehingga menyulitkan pemilih untuk melihat siapa caleg yang akan dipilih. Dari 220 TPS yang dipantau, terdapat 38 (17,2%) TPS yang tidak menempel pengumuman tersebut. Kondisi ini terjadi di TPS 34 LP kelas A Makassar.

"Paling fatal itu yang patut menjadi perhatian adalah tidak ditempelnya DPT (Daftar Pemilih Tetap) di area TPS, setidaknya dari 220 TPS yang dipantau, ada 40 TPS yang tidak menempel DPT nya," ungkap Salma yang juga menjadi Ketua Puspaga Kota Makassar.

Penempelan denah TPS juga kurang dilakukan oleh KPPS, di lapangan menunjukkan hanya 34,4% dari 220 TPS yang menempelkan denah sedangkan selebihnya tidak menempelkan padahal denah TPS juga sangat penting bagi pemilih.

Hal lain yang sangat penting juga adalah dari 221 TPS terdapat 114 (52,1%) yang tidak menyediakan alat bantu (template) bagi pemilih
disabilitas.

Pada hari pemilu, tidak sedikit pula TPS yang lambat terbuka, ditengarai keterlambatan dan tidak lengkapnya logistik. Dari 220 TPS yang dipantau ada 78 (35,3%) TPS yang tidak dibuka tepat jam 07.00 wita.

"Catatan kami terkait dengan keterlambatan pembukaan TPS, karena berdampak pada sisa waktu yang digunakan pemilih untuk memilih jadi semakin kurang/sempit waktunya karena berdasarkan aturan TPS harus tutup jam 13.00 wita dengan kondisi lima surat suara," papar Alumni Unhas ini.

Temuan adanya gangguan/intimidasi di hari H Secara umum dari 221 TPS yang dipantau, 93,5 persen relatif aman dan tidak mengalami gangguan/intimidasi. Namun, sekitar 10 TPS atau setara dengan 4,5 persen yang pemilihnya mengalami gangguan/intimidasi.

"Dari segi persentase memang kecil, tetapi bagi kami, gangguan/intimidasi seharusnya tidak terjadi. Bentuk gangguan/intimidasi berupa kode baik verbal maupun non verbal yang mengarahkan memilih paslon tertentu, ada juga teriakan nomor urut," tambah Salma.

Akses bagi pemilih disabilitas, Berdasarkan pemantauan kami, ada 17,2 persen (38 TPS) yang tidak memberikan akses bagi pemilih disabilitas.

Akses bisa berupa penataan/penempatan TPS yang tidak aksesibel bagi pemilih disabilitas. Fakta ini mendukung temuan kami terkait 52,1 persen
TPS yang tidak menyediakan alat bantu pendamping (template).

Sebagai contoh kasus, sebuah TPS yang ditempatkan di lantai 2 salah satu Gedung sekolah di Kel. Bonto-Bontoa Kec. Somba Opu, Kab.Gowa Indikasi pelanggaran: Keterlambatan pembukaan TPS terjadi di banyak tempat.

Hal ini berdampak pada berkurangnya durasi waktu pembukaan TPS dan penumpukan pemilih. Masalah serupa juga terjadi di beberapa tempat, terjadi keterlambatan proses pemilihan dikarenakan KPPS lambat dalam menandatangani surat suara.

Hal lain yang terjadi adalah, jaringan pada aplikasi yang melambat pada hari pemungutan suara sehingga pemilih yang mau mengecek namanya karena tidak terdaftar di DPT kesulitan. Selain itu, data pemilih di aplikasi Simantap tidak sinkron dengan data pemilih DCT sehingga hak pilih seseorang bisa hilang. Kondisi ini terjadi di Kelurahan Lengnga Kab. Pinrang.

Di 220 TPS yang dipantau, terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT yang diperbolehkan memilih dengan menunjukkan KTP Elektronik, Surat Keterangan (SUKET) dan kartu keluarga (KK). Dari 220 TPS, hanya 121 (55%) yang memperbolehkan pemilih memilih walaupun tidak terdaftar di DPT.

Padahal sesuai putusan Mahkamah Konstitusi 28 Maret 2019, memperbolehkan warga yang memilih dengan menggunakan e-KTP atau SUKET.

"Diperbolehkannya pemilih yang tidak ada dalam DPT. Pada satu sisi, berdampak pada meningkatkannya partisipasi pemilih, namun, di sisi lain berdampak pada makin kompleksnya persoalan yang dihadapi penyelenggara, khususnya penyediaan logistik. Sebagai contoh, terjadi kekurangan logistik khususnya surat suara di beberapa TPS," papar Salma.

Bukan itu saja, politik uang terlihat masih mewarnai Pemilu 2019 hingga pada pelaksanaannya. Berdasarkan pantauan, data menunjukkan 16,3 persen atau 16 TPS dari 221 TPS terindikasi praktik politik uang.

Data kami mengidentifikasi beberapa model praktik politik uang yang kemungkinan mempengaruhi pilihan pemilih. Antara lain, penyewaan transportasi pemilih yang akan pulang mencoblos.

"Dari informasi pemilih, mereka mengaku mendapatkan serangan fajar dalam bentuk pemberian sembako menjelang hari H. Data ini menunjukkan bahwa politik uang masih menjadi metode untuk mendulang suara yang banyak," katanya.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, LSKP mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk penyelenggara pemilu selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan demokrasi lebih baik ke depan. Rekomendasi tersebut yakni;

1. Memperbaiki sistem pendataan penduduk dan aplikasi Simantap lebih baik untuk mengurangi kemungkinan hilangnya hak pilih warga karena kesalahan data;

2. Mengevaluasi sistem Pemilu serentak dengan membagi Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Pemilu Nasional terdiri atas Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI dan DPD. Pemilu Daerah terdiri atas Pemilu DPRD Provinsi dan Kab/Kota dan Gubernur dan Walikota/Bupati. Kedua Pemilu dilakukan dalam waktu yang berbeda.

3. Sangat diharapkan komitmen partai politik dan anggotanya untuk meminimalkan praktek politik uang yang dampaknya merugikan baik pribadi caleg maupun di warga sebagai pemilih serta kualitas demokrasi dalam jangka panjang. Diperlukan sistem hukum dalam menjamin transparansi keuangan partai politik, dana kampanye parpol dan caleg untuk meminimalisir politik uang ke depan.

4. Menghimbau ke semua warga dan pendukung Capres/Cawapres untuk tetap tenang dan tidak terpancing dengan berbagai provokasi yang dapat merusak pelaksanaan Pemilu 2019. Mari kita hargai proses penghitungan KPU dan mengawasi proses penghitungan suara di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.


Pewarta : Nur Suhra Wardyah
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024