Kupang (ANTARA News) - Pemerhati masalah Laut Timor, Ferdi Tanoni, berpendapat perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dengan Australia bisa dapat dibatalkan dengan menggunakan TAP MPR-RI V Tahun 1999 sebagai yurisprudensi. 

"Tap MPR yang mengakui hasil jajak pendapat di Timor Timur itu sama sekali tidak menyebutkan tentang perjanjian kerja sama RI-Australia di Celah Timor, sehingga bisa dijadikan sebagai yurisprudensi untuk membatalkan perjanjian batas landas kontinen antara kedua negara," katanya di Kupang, Minggu.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perjanjian Hukum Internasional Kementerian Luar Negeri Arief
Havaz Oegroseno dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR-RI di Jakarta mengatakan Indonesia tidak bisa meratifikasi kembali perjanjian batas landas kontinen dengan Australia karena sudah selesai pada tahun 1977 dan telah dibuatkan Undang-Undang.

Sementara gugusan Pulau Pasir, kata Oegroseno, juga tidak bisa diklaim sebagai milik Indonesia seperti yang dituntut sebagian elemen masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) selama ini, meski secara geografis lebih dekat dengan Pulau Rote di selatan Indonesia.

Dirjen Perjanjian Hukum Internasional itu pun mencontohkan pelayaran Cheng Ho dari China dan kuil-kuil yang dibangun Cheng Ho di Pulau Jawa serta kuburan Belanda yang berada di kawasan Ancol, Jakarta Utara, tidak serta merta bisa diklaim sebagai bagian dari kedaulatan China dan Belanda.   

Menurut Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu, perjanjian batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor yang dibuat pada 1971, 1972 dan 1997 harus ditinjau kembali, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku dan fakta-fakta geomorphologi yang ada.

Selain itu, juga telah terjadi perubahan geopolitik sangat signifikan di kawasan Laut Timor yakni lepasnya Timor Timur dari NKRI menjadi sebuah negara berdaulat melalui jajak pendapat yang dilaksanakan oleh PBB pada 1999, kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu.

Mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu menegaskan penggunaan TAP MPR-RI V Tahun 1999 untuk menggugurkan Perjanjian Celah Timor dengan Australia harus bisa dijadikan sebuah yurisprudensi untuk membatalkan seluruh perjanjian batas landas kontinen antara kedua negara di Laut Timor.

Kepemilikan gugusan Pulau Pasir yang berlimpah akan bahan mineral oleh Australia juga masih bisa diperdebatkan kembali karena kawasan tersebut diterima sebagai hibah dari Commonwealth Inggris yang menganeksasi secara sepihak pada tahun 1878.

Tanoni menilai Australia tidak memiliki satu bukti apapun tentang kepemilikan gugusan Pulau Pasir, kecuali sebuah nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan Australia yang dibuat pada 1974 dan ditandatangani oleh dua orang pejabat rendahan dari kedua negara yang mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional.

"Keabsahan dari MoU itu patut dipertanyakan. Apakah seorang Direktur Urusan Konsuler pada Kementerian Luar Negeri dapat mengatasnamakan Republik Indonesia untuk menandatangani kesepakatan bilateral dengan Australia," katanya.

Tanoni melukiskan pernyataan Dirjen Perjanjian Hukum Internasional Kementerian Luar Negeri itu sebagai sebuah bentuk pernyataan yang sangat konyol.

Menurut dia, UU Tahun 1977 yang mengesahkan perjanjian batas landas kontinen Indonesia dan Australia itu seharusnya bisa diratifikasi kembali, karena pada 1975 Timor Timur telah terintegrasi ke dalam wilayah NKRI menjadi provinsi ke-27.

Ia menambahkan Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Australia menggunakan TAP MPR-RI V Tahun 1999 tentang Hasil Jajak Pendapat di Timor Timur itu sebagai alasan untuk menggugurkan Perjanjian Celah Timor dengan Australia atau yang dikenal dengan sebutan "Pertukaran Nota Diplomatik Indonesia Australia", namun dalam TAP MPR tersebut tidak ada satu kata pun mengenai perjanjian Celah Timor.

"Jika memang demikian, UU Tahun 1977 juga harus bisa digugurkan karena tidak sah, kemudian merundingkan kembali seluruh perjanjian batas landas kontinen Indonesia dan Australia di Laut Timor secara trilateral bersama Timor Leste," katanya.

Ia menyatakan berbagai perjanjian bilateral Indonesia-Australia yang dibuat dalam kurun waktu 1971 hingga 1997, termasuk MoU tahun 1974, hanya mengakomodasikan kepentingan nasional Australia saja dan telah mengorbankan kepentingan nasional Indonesia sehingga perlu dirundingkan kembali.

Pengelolaan gugusan Pulau Pasir oleh nelayan tradisional Indonesia semenjak 450 tahun silam tidak bisa disamakan atau dianalogikan dengan pelayaran dan pembangunan kuil-kuil oleh Cheng Ho dan kuburan-kuburan milik Belanda di kawasan Ancol.

Kementerian Luar Negeri Indonesia seharusnya membandingkan kasus kepemilikan gugusan Pulau Pasir dengan kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.

Ia mengatakan Kementerian Luar Negeri Indonesia harus sadar bahwa hak ulayat masyarakat adat di seluruh dunia sudah diakui oleh PBB, termasuk yang ada di Laut Timor dan juga hukum adat sudah merupakan hukum positif di Australia.

Dengan demikian, katanya, masalah hak masyarakat adat Indonesia di gugusan Pulau Pasir dan perjanjian bilateral Indonesia dan Australia di Laut Timor patut dan harus diratifikasi kembali demi kepentingan nasional Indonesia.

Duta Besar Australia Bill Farmer ketika berkunjung ke Kupang, beberapa waktu lalu, juga menegaskan bahwa batas maritim antara Indonesia dan Australia di Laut Timor belumlah final, namun anehnya Kementerian Luar Negeri Indonesia tampak hanya pasrah tanpa mau berbuat sesuatu untuk bangsa tercinta. (T.L003/E011)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024