Yogyakarta (ANTARA) - Alunan musik gamelan pengiring tembang khas Jawa terdengar bergantian dengan sajian orkestra musik klasik populer di ruang konser itu mengawali acara sakral akademik penganugerahan gelar Empu Ageng.
“Gelar ini diberikan kepada Empu Ageng Oscar Motuloh. Seseorang yang telah mendedikasikan dirinya dalam bidang seni fotografi jurnalistik,” kata Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Agus Burhan, dalam Sidang Senat Terbuka Penganugerahan Empu Ageng Bidang Fotografi Jurnalistik di Yogyakarta, Rabu (17/9/2019).
Oscar Motuloh dinilai layak mendapat gelar Empu Ageng Foto Jurnalistik karena kuatnya dari rekam jejak dedikasi mengadakan banyak pameran dan penerbitan buku, serta mengajar di Jurusan Fotografi, Fakultas Media Rekam, ISI Yogyakarta.
ISI Yogyakarta selain menganugerahi gelar kehormatan khusus akademik kesenian itu di Concert Hall, juga menyelanggarakan Pameran Tunggal Empu Ageng Oscar Motuloh bertitel “mataWaktu” di Galeri RJ Katamsi.
Selama ini ISI Yogyakarta telah memberikan gelar Empu Ageng kepada sejumlah tokoh, antara lain Cokrowarsito dalam bidang seni karawitan pada 2004, Edhi Sunarso tokoh seni patung (2010), Ki Cermo Manggolo atau Dalang Timbul Hadiprayitno (2011), dan Abas Alibasyah dalam bidang seni rupa pada 2012.
Anugerah Empu Ageng di bidang Fotografi Jurnalistik baru pertama kalinya, dan Oscar dinilai membawa nilai praktis maupun keilmuan yang menjadi fenomena baru bagi dunia fotografi di Indonesia dan Asia.
“Dalam karya-karya Oscar Motuloh selalu terefleksi daya hidup dan energi yang telah melampaui sekadar keindahan sebagai klangenan atau terkuci dalam pesona elitisme salon,” ujarnya.
Bahkan, ia menambahkan, “Kreativitasnya selalu memancarkan daya ekspresi yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai straight dan pictorial, sehingga berbagai realita foto jurnalistik itu hadir dalam nilai artistik yang tinggi.”
Sebutan Empu Ageng dalam bidang seni setingkat dengan doktor kehormatan (honoris causa, DR HC) itu melengkapi sejumlah penghargaan khusus bagi Oscar dari kalangan profesional.
Sebelumnya, ia mendapat “Penghargaan Kebudayaan” Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), Press Carn Number One (PCNO) Komunitas Hari Pers Nasional (HPN, 2013), “30 Most influential Phtographers in Asia” dari Invisible Photographer Asia (IPA, 2014), dan Anugerah Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI, 2018).
Bermula di ANTARA
Oscar Motuloh mengawali karir kewartawanan selepas mengikuti Kursus Dasar Pewarta Angkatan Kelima (Susdape V) di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA pada 1988. Ia tercatat sebagai pewarta tulis.
Dua tahun kemudian, Parni Hadi selaku Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi menempatkannya bertugas ke Biro Foto ANTARA.
“Oscar! Murid yang cerdas, encer ing endhas, dan agak mbeling,” komentar Parni Hadi, wartawan ANTARA sejak 1973 hingga mencapai puncak karir menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi pada 1998.
Encer ing endhas adalah Bahasa Jawa yang dapat dimaknai otak encer, adapun mbeling padanan dari nakal. Dua syarat itulah yang setidak-tidaknya terasa cukup bagi Parni menempa Oscar memasuki dunia fotografi jurnalistik. Dunia baru yang kemudian mengibarkan namanya.
Sejumlah orang di redaksi kala itu banyak yang menilai penempatan Oscar, dan sejumlah wartawan muda lainnya, merupakan “langkah kuda” dalam percaturan kantor yang diterapkan Handjojo Nitimihardjo (1940—2002) selaku Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA dan Parni Hadi.
ANTARA saat itu mulai menempatkan banyak wartawan muda di Jakarta, biro daerah se-Indonesia, apalagi di biro luar negeri menjalani tugas hingga batas maksimal. Semua wajib menempa diri berkinerja lebih dari satu fungsi (multitasking).
Wartawan ANTARA diarahkan sekaligus pewarta tulis dan foto. Bahkan, mereka diharapkan mampu menerapkan peliputan dwi bahasa, Indonesia dan Inggris. Ada di antara mereka yang kemudian memilih keluar dari redaksi, malah ada pula keluar dari ANTARA. Namun, tak sedikit dari mereka yang justru menjalani tantangannya hingga purnatugas.
Parni secara khusus membentuk tim wartawan yang mendapat tugas liputan menyatu dengan menyiapkan penerbitan buku foto jurnalistik. Mereka dikenalkan dengan diplomasi pers (press diplomacy), kebijakan pemasaran dalam pemberitaan (news marketing), dan penguasaan teknologi informasi.
Dari puluhan wartawan, Oscar termasuk yang menjadi ujung tombak. Mulai dari liputan Sidang Umum Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) pada 1990 hingga liputan mancanegara terkait politik, sosial, kebudayaan, dan olahraga. Kemudian, ia mengikuti kursus fotografi di Hanoi, Vietnam, dan Tokyo, Jepang.
Selain itu, ia selama periode Oktober 1991 hingga Juni 1992 secara khusus ditugasi meliput ke berbagai pelosok di provinsi termuda Republik Indonesia, yakni Timor Timur (Timtim).
LKBN ANTARA lantas menerbitkan buku “East Timor, a Photographic Record” berisikan foto-foto bidikan Oscar dengan pendekatan jurnalistik dan antropologi. Merekam berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi ke-27 RI. Setiap foto dilengkapi peta dan noktah penunjuk lokasi pengambilan gambarnya.
Komperensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok pada 1 - 6 September 1992 di Jakarta menjadikan buku “East Timor” sebagai salah satu terbitan resmi (official) Pemerintah dan Negara Republik Indonesia bagi tamu-tamunya dari belahan Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.
“Semua bermula dari sana. Dari ANTARA,” ujar Oscar Motuloh, menanggapi jejak langkah hidup profesionalnya.
Secara pararel ia pun mendapat tugas khusus dari Handjojo dan Parni menjadi ujung tombak tim untuk mendirikan Museum Purna Bhakti dan Galeri Jurnalistik Foto Antara (GFJA) yang terwujud pada 1991.
ANTARA memiliki museum khusus untuk mengenang perjalanan para tokoh pendiri, terutama kinerja wartawannya memperjuangkan hingga mengisi kemerdekaan RI telah menjadi ide lama berbagai pihak.
Namun, galeri foto jurnalistik? Jelas-jelas ini gagasan utama Oscar. Sekalipun, ia secara pribadi selalu mengelak fakta ini dengan berlindung terhadap kenyataan bahwa persetujuan Handjojo dan Parni jauh lebih penting.
Handjojo, yang memimpin ANTARA pada 1987—1998 atau mulai berpangkat Letnan Kolonel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) hingga Marsekal Pertama TNI, menerapkan gaya manajemen “benahi kantor dan benahi berita sekaligus, agar jadi kantor berita yang sebenar-benarnya”. Adapun Parni lebih sering dijadikannya pemecah masalah (trouble shooter) dengan melibatkan pasukan wartawan muda.
Dari puluhan wartawan muda ANTARA 1990 itulah Oscar termasuk yang mendapatkan tempat. Bukan tempat yang enak, tapi tempat yang memerlukan kinerja ekstra. Duet Handjojo-Parni ingin wartawan ANTARA bukan sekadar “kuli tinta” dan “tukang potret”.
“Gue sering konflik keras dengan Parni Hadi, tapi dia sportif dan kami tetap baik-baik aja tuh,” kata Oscar, mengenang awal dari misteri profesi jurnalismenya.
Wartawan ANTARA harus punya peran lebih strategis, antara lain menjalani proses jurnalisme plus. Yakni, mereka juga harus mampu menyiapkan konsep hingga mendapat produk ikutan dari proses jurnalistik. Pewarta foto digenjot karyanya bukanlah pelengkap berita. Adapun pewarta tulis wajib sadar foto alias “darto”, sehingga dibuatlah program Kursus Dasar Pewarta Foto (Susdafo) pasca-Susdape.
Penerbitan buku, mengajar di Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (LPJA) yang didirikan 24 Februari 1988, mengisi koleksi maupun kegiatan di museum dan GFJA menjadi lahan pengabdian baru bagi wartawan kantor berita resmi RI itu untuk kepentingan Indonesia dan dunia. (bersambung)
*) Priyambodo RH adalah pewarta senior LKBN ANTARA sejak 1990, dan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS, 2008—2018)
“Gelar ini diberikan kepada Empu Ageng Oscar Motuloh. Seseorang yang telah mendedikasikan dirinya dalam bidang seni fotografi jurnalistik,” kata Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Agus Burhan, dalam Sidang Senat Terbuka Penganugerahan Empu Ageng Bidang Fotografi Jurnalistik di Yogyakarta, Rabu (17/9/2019).
Oscar Motuloh dinilai layak mendapat gelar Empu Ageng Foto Jurnalistik karena kuatnya dari rekam jejak dedikasi mengadakan banyak pameran dan penerbitan buku, serta mengajar di Jurusan Fotografi, Fakultas Media Rekam, ISI Yogyakarta.
ISI Yogyakarta selain menganugerahi gelar kehormatan khusus akademik kesenian itu di Concert Hall, juga menyelanggarakan Pameran Tunggal Empu Ageng Oscar Motuloh bertitel “mataWaktu” di Galeri RJ Katamsi.
Selama ini ISI Yogyakarta telah memberikan gelar Empu Ageng kepada sejumlah tokoh, antara lain Cokrowarsito dalam bidang seni karawitan pada 2004, Edhi Sunarso tokoh seni patung (2010), Ki Cermo Manggolo atau Dalang Timbul Hadiprayitno (2011), dan Abas Alibasyah dalam bidang seni rupa pada 2012.
Anugerah Empu Ageng di bidang Fotografi Jurnalistik baru pertama kalinya, dan Oscar dinilai membawa nilai praktis maupun keilmuan yang menjadi fenomena baru bagi dunia fotografi di Indonesia dan Asia.
“Dalam karya-karya Oscar Motuloh selalu terefleksi daya hidup dan energi yang telah melampaui sekadar keindahan sebagai klangenan atau terkuci dalam pesona elitisme salon,” ujarnya.
Bahkan, ia menambahkan, “Kreativitasnya selalu memancarkan daya ekspresi yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai straight dan pictorial, sehingga berbagai realita foto jurnalistik itu hadir dalam nilai artistik yang tinggi.”
Sebutan Empu Ageng dalam bidang seni setingkat dengan doktor kehormatan (honoris causa, DR HC) itu melengkapi sejumlah penghargaan khusus bagi Oscar dari kalangan profesional.
Sebelumnya, ia mendapat “Penghargaan Kebudayaan” Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), Press Carn Number One (PCNO) Komunitas Hari Pers Nasional (HPN, 2013), “30 Most influential Phtographers in Asia” dari Invisible Photographer Asia (IPA, 2014), dan Anugerah Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI, 2018).
Bermula di ANTARA
Oscar Motuloh mengawali karir kewartawanan selepas mengikuti Kursus Dasar Pewarta Angkatan Kelima (Susdape V) di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA pada 1988. Ia tercatat sebagai pewarta tulis.
Dua tahun kemudian, Parni Hadi selaku Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi menempatkannya bertugas ke Biro Foto ANTARA.
“Oscar! Murid yang cerdas, encer ing endhas, dan agak mbeling,” komentar Parni Hadi, wartawan ANTARA sejak 1973 hingga mencapai puncak karir menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi pada 1998.
Encer ing endhas adalah Bahasa Jawa yang dapat dimaknai otak encer, adapun mbeling padanan dari nakal. Dua syarat itulah yang setidak-tidaknya terasa cukup bagi Parni menempa Oscar memasuki dunia fotografi jurnalistik. Dunia baru yang kemudian mengibarkan namanya.
Sejumlah orang di redaksi kala itu banyak yang menilai penempatan Oscar, dan sejumlah wartawan muda lainnya, merupakan “langkah kuda” dalam percaturan kantor yang diterapkan Handjojo Nitimihardjo (1940—2002) selaku Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA dan Parni Hadi.
ANTARA saat itu mulai menempatkan banyak wartawan muda di Jakarta, biro daerah se-Indonesia, apalagi di biro luar negeri menjalani tugas hingga batas maksimal. Semua wajib menempa diri berkinerja lebih dari satu fungsi (multitasking).
Wartawan ANTARA diarahkan sekaligus pewarta tulis dan foto. Bahkan, mereka diharapkan mampu menerapkan peliputan dwi bahasa, Indonesia dan Inggris. Ada di antara mereka yang kemudian memilih keluar dari redaksi, malah ada pula keluar dari ANTARA. Namun, tak sedikit dari mereka yang justru menjalani tantangannya hingga purnatugas.
Parni secara khusus membentuk tim wartawan yang mendapat tugas liputan menyatu dengan menyiapkan penerbitan buku foto jurnalistik. Mereka dikenalkan dengan diplomasi pers (press diplomacy), kebijakan pemasaran dalam pemberitaan (news marketing), dan penguasaan teknologi informasi.
Dari puluhan wartawan, Oscar termasuk yang menjadi ujung tombak. Mulai dari liputan Sidang Umum Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) pada 1990 hingga liputan mancanegara terkait politik, sosial, kebudayaan, dan olahraga. Kemudian, ia mengikuti kursus fotografi di Hanoi, Vietnam, dan Tokyo, Jepang.
Selain itu, ia selama periode Oktober 1991 hingga Juni 1992 secara khusus ditugasi meliput ke berbagai pelosok di provinsi termuda Republik Indonesia, yakni Timor Timur (Timtim).
LKBN ANTARA lantas menerbitkan buku “East Timor, a Photographic Record” berisikan foto-foto bidikan Oscar dengan pendekatan jurnalistik dan antropologi. Merekam berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi ke-27 RI. Setiap foto dilengkapi peta dan noktah penunjuk lokasi pengambilan gambarnya.
Komperensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok pada 1 - 6 September 1992 di Jakarta menjadikan buku “East Timor” sebagai salah satu terbitan resmi (official) Pemerintah dan Negara Republik Indonesia bagi tamu-tamunya dari belahan Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.
“Semua bermula dari sana. Dari ANTARA,” ujar Oscar Motuloh, menanggapi jejak langkah hidup profesionalnya.
Secara pararel ia pun mendapat tugas khusus dari Handjojo dan Parni menjadi ujung tombak tim untuk mendirikan Museum Purna Bhakti dan Galeri Jurnalistik Foto Antara (GFJA) yang terwujud pada 1991.
ANTARA memiliki museum khusus untuk mengenang perjalanan para tokoh pendiri, terutama kinerja wartawannya memperjuangkan hingga mengisi kemerdekaan RI telah menjadi ide lama berbagai pihak.
Namun, galeri foto jurnalistik? Jelas-jelas ini gagasan utama Oscar. Sekalipun, ia secara pribadi selalu mengelak fakta ini dengan berlindung terhadap kenyataan bahwa persetujuan Handjojo dan Parni jauh lebih penting.
Handjojo, yang memimpin ANTARA pada 1987—1998 atau mulai berpangkat Letnan Kolonel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) hingga Marsekal Pertama TNI, menerapkan gaya manajemen “benahi kantor dan benahi berita sekaligus, agar jadi kantor berita yang sebenar-benarnya”. Adapun Parni lebih sering dijadikannya pemecah masalah (trouble shooter) dengan melibatkan pasukan wartawan muda.
Dari puluhan wartawan muda ANTARA 1990 itulah Oscar termasuk yang mendapatkan tempat. Bukan tempat yang enak, tapi tempat yang memerlukan kinerja ekstra. Duet Handjojo-Parni ingin wartawan ANTARA bukan sekadar “kuli tinta” dan “tukang potret”.
“Gue sering konflik keras dengan Parni Hadi, tapi dia sportif dan kami tetap baik-baik aja tuh,” kata Oscar, mengenang awal dari misteri profesi jurnalismenya.
Wartawan ANTARA harus punya peran lebih strategis, antara lain menjalani proses jurnalisme plus. Yakni, mereka juga harus mampu menyiapkan konsep hingga mendapat produk ikutan dari proses jurnalistik. Pewarta foto digenjot karyanya bukanlah pelengkap berita. Adapun pewarta tulis wajib sadar foto alias “darto”, sehingga dibuatlah program Kursus Dasar Pewarta Foto (Susdafo) pasca-Susdape.
Penerbitan buku, mengajar di Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (LPJA) yang didirikan 24 Februari 1988, mengisi koleksi maupun kegiatan di museum dan GFJA menjadi lahan pengabdian baru bagi wartawan kantor berita resmi RI itu untuk kepentingan Indonesia dan dunia. (bersambung)
*) Priyambodo RH adalah pewarta senior LKBN ANTARA sejak 1990, dan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS, 2008—2018)