Seoul (ANTARA) - Militer Korea Selatan mengumumkan pada Rabu bahwa pihaknya akan memberhentikan seorang tentara yang menjalani operasi ganti kelamin dari pria menjadi wanita, dalam kasus penting yang memicu debat nasional tentang perlakuan terhadap anggota transgender di angkatan bersenjata.
Tentara itu, yang memegang pangkat sersan staf dan ditempatkan di Provinsi Gyeonggi, utara Seoul, melakukan operasi di luar negeri tahun lalu ketika sedang cuti, dan telah menyatakan harapan untuk terus bertugas di korps wanita.
Pihak militer mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sementara pihaknya akan melakukan upaya untuk melindungi hak asasi tentara dan mencegah diskriminasi, operasi itu membuat prajurit itu tidak dapat terus melayani.
Seorang pejabat militer mengatakan kepada Reuters bahwa seharusnya tidak ada alasan bagi militer untuk menolak prajurit itu jika dia mendaftar kembali untuk bertugas di korps wanita setelah menyelesaikan proses hukum untuk secara resmi menjadi seorang wanita.
Sebuah organisasi hak asasi manusia telah mengajukan petisi bersama pengawas hak asasi manusia nasional mendesak tentara untuk menunda keputusannya sampai setelah tentara itu menyelesaikan proses pengadilan, tetapi pihak militer mengatakan bahwa proses hukum tidak relevan dengan keputusan personelnya.
Kasus ini memicu perdebatan mengenai perlakuan terhadap pasukan dan tentara transgender dari komunitas LBGT yang lebih luas di negara itu, yang mengharuskan semua lelaki berbadan sehat untuk ikut wajib militer sekitar dua tahun.
Tentara itu, yang memegang pangkat sersan staf dan ditempatkan di Provinsi Gyeonggi, utara Seoul, melakukan operasi di luar negeri tahun lalu ketika sedang cuti, dan telah menyatakan harapan untuk terus bertugas di korps wanita.
Pihak militer mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sementara pihaknya akan melakukan upaya untuk melindungi hak asasi tentara dan mencegah diskriminasi, operasi itu membuat prajurit itu tidak dapat terus melayani.
Seorang pejabat militer mengatakan kepada Reuters bahwa seharusnya tidak ada alasan bagi militer untuk menolak prajurit itu jika dia mendaftar kembali untuk bertugas di korps wanita setelah menyelesaikan proses hukum untuk secara resmi menjadi seorang wanita.
Sebuah organisasi hak asasi manusia telah mengajukan petisi bersama pengawas hak asasi manusia nasional mendesak tentara untuk menunda keputusannya sampai setelah tentara itu menyelesaikan proses pengadilan, tetapi pihak militer mengatakan bahwa proses hukum tidak relevan dengan keputusan personelnya.
Kasus ini memicu perdebatan mengenai perlakuan terhadap pasukan dan tentara transgender dari komunitas LBGT yang lebih luas di negara itu, yang mengharuskan semua lelaki berbadan sehat untuk ikut wajib militer sekitar dua tahun.