Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan tes cepat molekuler (TCM) untuk diagnosis tuberkulosis (TB) bukan merupakan alat uji utama untuk deteksi COVID-19 di Indonesia.

"Ini sifatnya membantu tapi bukan alat uji utama. Bahkan dari informasi CT Scan pun bisa dipakai untuk menguji apakah seseorang itu positif (COVID-19) tapi kan kalau CT Scan mahal sekali biayanya dan prosesnya juga panjang," kata Menristek Bambang dalam bincang yang ditayangkan secara langsung, Jakarta, Jumat.

Sementara TCM didesain lebih kepada tuberkolosis. Selain itu, juga dalam suatu diskusi, Menristek Bambang mengatakan tidak ada kesimpulan ilmiah bahwa orang yang divaksin BCG untuk TBC otomatis menjadi punya daya tahan terhadap COVID-19.

"Tidak ada konklusi bahwa BCG itu bisa mencegah COVID-19," ujar Menristek Bambang.

Vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG) merupakan vaksin yang diberikan untuk melindungi diri terhadap tuberkulosis.

Menristek Bambang menuturkan tes cepat molekuler lebih sebagai pendukung. Dia menyakini referensi yang baik untuk data dan pengobatan pasien COVID-19 tetap harus berdasarkan metode polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR dinilai sebagai "gold standard" untuk pemeriksaan dalam membuktikan seseorang positif atau negatif COVID-19.

Hingga saat ini, banyak negara berupaya untuk menemukan vaksin COVID-19 sebagai bagian dari upaya penanganan pandemi COVID-19.

Beberapa produsen vaksin luar negeri sudah menawarkan kerja sama pada Indonesia untuk mengembangkan vaksin seperti dari China, Kanada dan Eropa.

Namun, Menristek Bambang mengatakan tawaran itu masih perlu diteliti karena Indonesia tetap harus terlibat dalam pengembangan vaksin, bukan semata-mata menjadi lahan uji klinis.

Pewarta : Martha Herlinawati S
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024