Makassar (ANTARA) - Tim panel independen Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) memberikan apresiasi atas inovasi Gesit-19 dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Sulawesi Selatan yang terpilih menjadi finalis 99 top KIPP 2021.

"Saya melihat Gesit-19 dengan beberapa kebaruannya yakni kolaboratif yang diterapkan, pemberdayaan sumber daya lokal,  bahkan layanan akhir pekan, ini sangat baik," kata Rudiarto Sumamarwono, panelis yang juga Komisioner KASN, dalam keterangannya di Makassar, Jumat.

Panelis lainnya, Siti Zuhro juga menyatakan apresiasinya terutama pada jumlah biaya yang dikeluarkan nelayan yang turun drastis. Demikian juga dengan waktu yang dibutuhkan, yang dipangkas sampai izin keluar.

Menurut dia, dibutuhkan political will, political commitment dan law enforcement dalam pelayanan publik. 

"Saya terus terang terkesima, bagaimana menurunkan biaya yang tinggi tadi menjadi Rp50 ribu dan pelayanannya hanya 19 menit, bahkan kurang.  Tentunya ini bukan hal yang mudah," kata peneliti senior Pusat Senior Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.

Saran yang disampaikan panelis diantaranya, untuk mengintegrasikan Gesit-19 dengan perizinan nasional yang dikembangkan oleh Kementerian. Demikian juga, meneliti sistem perizinan ini dengan data perkreditan nelayan, serta perlunya kesinambungan program.

Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dalam pemaparannya secara virtual, mengatakan gerai pelayanan ini memiliki berbagai keunggulan. Selain mendekatkan pelayanan perizinan, juga mempercepat penerbitan izin dan strategi pencegahan penularan COVID-19. 

"Kita beri nama Gesit-19, Gerai Pelayanan Sektor Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulsel. Gesit sendiri ini ada 19 kabupaten/kota yang memiliki pesisir laut. Kemudian perjanjian kerjasamanya tahun 2019. Perizinannya waktunya sekitar 19 menit," ujarnya.

Sebelum inovasi yang menjadi masalah, adalah anggapan setelah kewenangan ditarik ke provinsi dari kabupaten/kota, maka akan mengganggu pelayanan publik. Nelayan, juga harus menempuh jarak jauh.

Seperti yang dari Sinjai sekitar 220 Km ke Kota Makassar. Menghabiskan biaya besar, seperti penginapan termasuk waktu yang terbuang untuk perizinan. Kadang juga terjadi pungli sepanjang pengurusan. Terjadi aktivitas ilegal kelautan dan perikanan, karena sulitnya izin keluar. 

"Yang dihadapi nelayan kita. Setelah dari Makassar dan kembali ke Sinjai, tiba-tiba ada masalah keluarga misalnya, tidak bisa berlayar, karena kemudian izinnya habis, ini kadang terjadi. Makanya kita perlu mendekatkan pelayanan disana, sehingga dia bisa memperbaharui izinnya," ucapnya.

Pewarta : Abdul Kadir
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024