Pangkep, Sulsel (ANTARA News) - Masyarakat di sekitar pabrik PT Semen Tonasa kembali mengeluhkan dampak polusi udara yang ditimbulkan pabrik ketika sedang beroperasi karena mengeluarkan asap tebal dan debu yang menempel ke rumah warga setempat setebal satu centimeter.

"Bila pabrik beroperasi rumah dan lantai dipastikan jadi sasaran debu. Sejak beroperasi, saya dan warga lain di sini sering mengalami sesak nafas (Asma) dan batuk-batuk, sementara perhatian perusahaan PT Semen Tonasa Tbk untuk kesehatan warga sekitar boleh dikatakan tidak ada," kata Mainah, Warga Dusun Cimpagae, Desa Sapanang, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Jumat.

Keluhan serupa rutin disampaikan puluhan warga kepada pihak PT Semen Tonasa, termasuk keluhan penyaluran dana CSR yang tidak jelas serta tidak menyentuh warga sekitar pabrik, baik untuk perbaikan lingkungan, kesehatan maupun usaha untuk kesejahteraan, namun tidak ditanggapi pihak pabrik semen tersebut.

Menurut dia, warga sekitar pabrik yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari pabrik tersebut sering mengeluhkan polusi tersebut, namun pihak perusahaan tidak pernah memberikan dan menikmati pelayanan apalagi pengobatan gratis termasuk, bantuan sosial lainnya, padahal, seharusnya diberikan sesuai ketentuan undang-undang.

"Pabrik dan pemukiman warga di sini hanya berjarak satu kilometer, kenapa pihak Perusahaan sampai tidak perhatian sedikit pun kepada warga di sini, minimal pengobatan gratis setiap enam bulan sekali, ini merugikan warga tentunya" keluhnya.

Keluhan juga dilontarkan Mursaha bin Basri, warga Desa Mangilu mengungkapkan bahwa sawah dan ladang mereka sudah tidak lagi digarap sepenuhnya akibat rusak karena tertimbun sedimen hasil pengeboran dan peledakan kars untuk dijadikan bahan baku pengolahan semen.

Dia mengatakan, bila kondisi ini terus berlanjut, masyarakat akan dirugikan karena berdampak pada perusakan lingkungan dan lahan petani yang semakin meluas di desanya. Selain rawan longsor, bunyi bahan peledak terus terdengar hingga radius ratusan meter disertai lemparan batu diikuti pasir yang menimbun dan merusak lahan bercocok tanam warga sekitar saat perusahaan meledakkan kars untuk bahan baku semen.

Mursaha juga menyebutkan bahwa pihaknya mempunyai lahan persawahan berjarak sekira 200 meter dari kawasan pabrik, sehingga aktivitas peledakan kars sebagai bahan baku berupa batu dan pasir dipastikan telah merusak lahan yang ia garap. Namun, sangat dia sayangkan pihak perusahaan PT Semen Tonasa seakan tidak peduli dengan dengan nasib para warga sekitar dan dirinya.

Bahkan kata dia, pembayaran ganti rugi lahan terkesan diskriminatif. Sebab, beberapa lahan yang tingkat perusakannya kecil dan jaraknya jauh malah mendapat pembayaran ganti rugi sementara lahannya tidak.

"Lahan yang jauh di sana malah dapat ganti rugi, sementara kami yang jelas-jelas terkena imbasnya malah diabaikan pihak perusahaan," ucapnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Zulkarnain Yusuf mengatakan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT Semen Tonasa harus dipertanyakan, mengingat Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu seharusnya memberikan perhatian penuh kepada masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik, karena diduga telah merusak lahan pertanian, polusi udara dan suara kebisingan saat proses pembuatan semen di pabrik.

"Diduga Amdal dan polusi sudah dilanggar pihak perusahaan, untuk itu pihak perusahaan tersebut harus bertangungjawab apa yang mereka kerjakan, pabrik itu juga diindikasikan merusak situs sejarah didaerah itu," ujarnya.

Aktivis lingkungan itu menuturkan, lahan pertanian yang secara jelas telah mengalami kerusakan semestinya mendapatkan ganti rugi dari pihak perusahaan. Oleh sebab itu, pemerintah didesak agar lebih proaktif memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukan malah terkesan membela perusahaan.

"Pemerintah harus transparan dan membela masyarakat menyangkut masalah lahan dan ganti rugi serta hal lain, jangan sampai dibiarkan, ataukah diduga pemerintah malah sebaliknya membela pihak perusahaan," tutur dia. (T.KR-HK/F003) 

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024