Makassar (ANTARA) - Pandemi COVID-19 telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan umat manusia sejak kemunculannya di akhir 2019 yakni ketika pertama kali ditemukan di daerah Wuhan, China.
Indonesia, salah satu negara yang tidak luput dari penyebaran virus corona varian baru tersebut.
Muncul di awal Maret 2020, sejumlah kebijakan dalam menekan laju penyebaran COVID-19 mulai dirilis pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Betapa tidak, kemunculan virus corona ini telah ditetapkan sebagai bencana non alam yang telah melanda dunia dan mengakibatkan ribuan hingga puluhan ribu umat manusia meninggal.
Lebih dari itu, dampaknya meluas kepada seluruh aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi dan tentu terhadap pola hidup masyarakat yang mulai bergeser.
Meski diakui, perubahan pencegahan virus corona juga lebih baik diterapkan hingga COVID-19 sudah tidak ada lagi.
Menjaga jarak, memakai masker dan membiasakan cuci tangan adalah beberapa pola hidup yang terus digaungkan dan harus dibiasakan guna terhindar dari paparan virus mematikan tersebut.
Terakhir adalah pembatasan pergerakan masyarakat menjadi salah satu kebijakan pemerintah sebagai upaya pencegahan COVID-19 di tengah masyarakat.
Akibatnya, beberapa pusat keramaian ditutup sementara, seperti pusat perbelanjaan, tempat wisata, hingga akses keluar-masuk suatu daerah yakni bandara.
Toraja Utara (Torut) sebagai salah satu daerah pusat pariwisata di Sulawesi Selatan (Sulsel), Indonesia tentu sangat merasakan dampaknya.
Daerah yang biasanya ramai dikunjungi para wisatawan domestik hingga mancanegara ini, harus rela menutup bandara setempat demi menjaga masyarakatnya terhindari dari penularan COVID-19.
UMKM terdampak
Alhasil, para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sangat merasakan dampaknya sejak kehadiran pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 hingga saat ini.
Apalagi mereka yang merupakan pelaku pariwisata, seperti Yulius Limongallo, seorang pedagang cinderamata di kawasan wisata Kete Ketsu Torut.
Pedagang cinderamata pada kawasan Krte Ketsu di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. ANTARA Foto/Nur Suhra Wardyah
Pria berumur 50 tahun ini mengaku sangat merasakan imbas pandemi COVID-19.
Yulius yang telah meneruskan usaha dagang ayahnya di area Kete Ketsu tidak pernah menyangka bahwa dirinya harus menelan pil pahit keadaan pariwisata yang telah dikenal dunia tersebut.
Betapa tidak, ia mengisahkan bahwa sejak dirinya berdagang 26 tahun silam di Kete Ketsu, baru kali ini dirinya tidak memperoleh pembeli sama sekali saat pandemi menghantam.
"Kami pernah sekitar satu bulan lebih tidak ada sama sekali pembelinya. Kadang ada, tapi hanya Rp12 ribu, Rp20 ribu bahkan sering tidak ada pembeli satu pun," ungkap Yolius.
Sementara sebelum pandemi, Yolius yang dibantu anaknya dalam mengelola gerai cinderamata miliknya mengaku bisa memperoleh omzet hingga Rp2-5 juta per hari.
Meski demikian, merebaknya pandemi juga dianggap memiliki hikmah tersendiri, karena ia kembali fokus pada bidang pertanian dalam mengelola sawahnya.
Yolius mengaku beberapa pekan terakhir giat ekonomi di Kete Ketsu mulai membaik.
Sejumlah pengunjung telah berdatangan, walaupun memang belum pulih secara maksimal.
"Kita harus banyak mensyukuri karena masih bisa bangkit, dibanding banyak pekerja yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja)," ujar dia.
Sistem daring
Imbas pandemi COVID-19 tidak hanya dirasakan oleh pelaku pariwisata, namun juga bagi UMKM yang menjajakan produk khas Toraja yakni penjual Kopi Toraja hingga pemilik kedai kopi (Coffe Shop) yang menjajakan kopi kebanggaan Sulsel itu.
Pemilik Kaana Coffe Shop bernama Eviyanti juga merasakan keterpurukan di masa pandemi. "Benar, penggiat kopi atau penikmat mengalami penurunan di awal korona hingga hampir 100 persen," ungkapnya.
Kunjungan atau penikmat kopi yang biasanya ramai menyambangi kedai kopi miliknya yang bertengger di bilangan Jalan Pongtiku, Rantepao, Toraja Utara kini hampir tidak ada sama sekali.
Solusi yang diambil pun dengan memanfaatkan digitalisasi, yakni penjualan dilakukan melalui dalam jaringan (daring). Penjualan lewat sistem ini diakui sangat membantu.
"Paling tidak, sistem daring ini bisa menutupi penjualan sekitar 30 persen. Memang tidak banyak tetapi lumayanlah untuk kita tetap bertahan karena kita tetap mempekerjakan beberapa karyawan," ujar dia.
Evi sapaan Eviyanti mengaku prihatin atas kondisi global yang terjadi, dia bersama pengusaha lainnya harus tetap bertahan di tengah gejolak pandemi berkepanjangan ini.
Bahkan ia harus terus berfikir dan menimbang terhadap langkah selanjutnya, mencari jalan selain dari menyajikan penjualan secara langsung (offline) produk kebanggaan ciri khas Toraja itu.
Namun demikian, pandemi COVID-19 setahun berlalu, kondisi telah mampu untuk kembali mendorong bangkitnya kembali perputaran roda perekonomian terkhusus bagi kalangan penikmat kopi.
"Kalau pengunjung, sudah mulai berdatangan walau itu belum seperti dulu, tetapi kita syukuri," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Evi juga memaparkan berbagai varian kopi yang dapat dinikmati di tempatnya tersebut, mulai dari robusta, arabika dan juga gabungan dari kedua jenis kopi itu (mix).
Gabungan dari masing-masing 50 persen robusta dan arabika itu akan lebih tepat dinikmati oleh penikmat kopi yang senang menggunakan gula.
Sedangkan untuk penikmat kopi yang hanya menginginkan kenikmatan sejati kopi dapat mencicipi jenis arabika, serta robusta memiliki ciri khas sebagai kopi berkafein tinggi.
Guna memiliki khas tersendiri pada produk kopi Toraja miliknya, Evi menerangkan bahwa mesin sangrai yang digunakannya dilengkapi kincir air buatan tangan sendiri.
Kemudian, pengolahan biji kopi yang telah di sangrai tersebut melalui berbagai proses hingga dapat dinikmati.
"Jadi, pengolahan hingga penyajian biji kopi menjadi sebuah minuman itu tidak serta-merta dilakukan. Mesti dengan proses, itulah ciri khas Kaana Coffee," ujarnya.
Inovasi
Menjalankan usaha agar tidak tergerus waktu dan tetap bertahan, tentu membutuhkan ekstra inovasi dan strategi, apalagi dalam kondisi pandemi saat ini.
Hal itu berlaku bagi semua kalangan pedagang yang menawarkan produk hingga jasa, termasuk pada sektor perhotelan.
General Manager Mislian Hotel Toraja Utara Yohan Tangkesalu mengemukakan bagian strategi untuk bertahan di tengah pandemi yakni dengan rencana pemasangan token listrik di setiap kamar agar tidak terjadi pembengkakan pemakaian daya.
"Ini kita lakukan supaya jika kamar ini tidak terpakai, tokennya akan tetap dan tidak ada daya yang membebani. Hal ini sudah kami komunikasikan dengan pihak PLN, kita tunggu finalisasinya seperti apa," ujarnya.
Selama pandemi, Yohan menyebut tingkat okupansi hotel yang ia pimpin hanya sekitar 12 persen dari 110 kamar yang tersedia dilengkapi fasilitas olahraga, spa, kolam renang dan lapangan tenis itu.
Dalam menarik minat pengunjung ke hotel yang menyajikan panorama Tongkonan tersebut, pihak hotel terus berinovasi mulai dari promo nginap, menu hingga kartu anggota Misliana Hotel.
"Semua strategi dan ide atau inovasi kita sudah optimalkan agar pengunjung berdatangan, tetapi sayangnya bandara juga belum dioperasikan. Jadi, kita tidak bisa berharap banyak dari pengunjung yang harus menggunakan pesawat untuk menjangkau Toraja Utara," ujar dia.
Salah satu strategi yang juga ditawarkan, kata Yohan, ialah menambahkan menu Nasi Toraja dengan harga yang sangat terjangkau yakni Rp35 ribu per nett.
Nasi Toraja merupakan menu terkini dari Misiliana Hotel terdiri dari nasi menyerupai topi kerucut disertai pepes, sup, sate ayam, sayur singkong dan kerupuk. Bukan hanya itu, pihak hotel mulai merancang sajian makanan yang diperoleh dari kebun hotel sendiri.
Yohan yang juga menjabat sebagai Ketua (PHRI) Toraja menyemangati para pelaku restoran dan perhotelan di kawasan itu agar tetap bertahan di masa pandemi, meski beberapa di antaranya, sudah tak mampu menanggung beban dampak krisis ini.
Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Toraja yang menaungi Kabupaten Tana Toraja (Tator) dan Toraja Utara (Torut), Sulawesi Selatan merilis tujuh hotel dan 20 restoran telah gulung tikar atau tutup akibat pandemi COVID-19.
Akhirnya, perjuangan para pelaku usaha di Torut dan seperti daerah lainnya di Tanah Air ini agaknya memang patut mendapat dukungan pihak terkait agar tetap bertahan di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir ini.
Indonesia, salah satu negara yang tidak luput dari penyebaran virus corona varian baru tersebut.
Muncul di awal Maret 2020, sejumlah kebijakan dalam menekan laju penyebaran COVID-19 mulai dirilis pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Betapa tidak, kemunculan virus corona ini telah ditetapkan sebagai bencana non alam yang telah melanda dunia dan mengakibatkan ribuan hingga puluhan ribu umat manusia meninggal.
Lebih dari itu, dampaknya meluas kepada seluruh aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi dan tentu terhadap pola hidup masyarakat yang mulai bergeser.
Meski diakui, perubahan pencegahan virus corona juga lebih baik diterapkan hingga COVID-19 sudah tidak ada lagi.
Menjaga jarak, memakai masker dan membiasakan cuci tangan adalah beberapa pola hidup yang terus digaungkan dan harus dibiasakan guna terhindar dari paparan virus mematikan tersebut.
Terakhir adalah pembatasan pergerakan masyarakat menjadi salah satu kebijakan pemerintah sebagai upaya pencegahan COVID-19 di tengah masyarakat.
Akibatnya, beberapa pusat keramaian ditutup sementara, seperti pusat perbelanjaan, tempat wisata, hingga akses keluar-masuk suatu daerah yakni bandara.
Toraja Utara (Torut) sebagai salah satu daerah pusat pariwisata di Sulawesi Selatan (Sulsel), Indonesia tentu sangat merasakan dampaknya.
Daerah yang biasanya ramai dikunjungi para wisatawan domestik hingga mancanegara ini, harus rela menutup bandara setempat demi menjaga masyarakatnya terhindari dari penularan COVID-19.
UMKM terdampak
Alhasil, para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sangat merasakan dampaknya sejak kehadiran pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 hingga saat ini.
Apalagi mereka yang merupakan pelaku pariwisata, seperti Yulius Limongallo, seorang pedagang cinderamata di kawasan wisata Kete Ketsu Torut.
Pria berumur 50 tahun ini mengaku sangat merasakan imbas pandemi COVID-19.
Yulius yang telah meneruskan usaha dagang ayahnya di area Kete Ketsu tidak pernah menyangka bahwa dirinya harus menelan pil pahit keadaan pariwisata yang telah dikenal dunia tersebut.
Betapa tidak, ia mengisahkan bahwa sejak dirinya berdagang 26 tahun silam di Kete Ketsu, baru kali ini dirinya tidak memperoleh pembeli sama sekali saat pandemi menghantam.
"Kami pernah sekitar satu bulan lebih tidak ada sama sekali pembelinya. Kadang ada, tapi hanya Rp12 ribu, Rp20 ribu bahkan sering tidak ada pembeli satu pun," ungkap Yolius.
Sementara sebelum pandemi, Yolius yang dibantu anaknya dalam mengelola gerai cinderamata miliknya mengaku bisa memperoleh omzet hingga Rp2-5 juta per hari.
Meski demikian, merebaknya pandemi juga dianggap memiliki hikmah tersendiri, karena ia kembali fokus pada bidang pertanian dalam mengelola sawahnya.
Yolius mengaku beberapa pekan terakhir giat ekonomi di Kete Ketsu mulai membaik.
Sejumlah pengunjung telah berdatangan, walaupun memang belum pulih secara maksimal.
"Kita harus banyak mensyukuri karena masih bisa bangkit, dibanding banyak pekerja yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja)," ujar dia.
Sistem daring
Imbas pandemi COVID-19 tidak hanya dirasakan oleh pelaku pariwisata, namun juga bagi UMKM yang menjajakan produk khas Toraja yakni penjual Kopi Toraja hingga pemilik kedai kopi (Coffe Shop) yang menjajakan kopi kebanggaan Sulsel itu.
Pemilik Kaana Coffe Shop bernama Eviyanti juga merasakan keterpurukan di masa pandemi. "Benar, penggiat kopi atau penikmat mengalami penurunan di awal korona hingga hampir 100 persen," ungkapnya.
Kunjungan atau penikmat kopi yang biasanya ramai menyambangi kedai kopi miliknya yang bertengger di bilangan Jalan Pongtiku, Rantepao, Toraja Utara kini hampir tidak ada sama sekali.
Solusi yang diambil pun dengan memanfaatkan digitalisasi, yakni penjualan dilakukan melalui dalam jaringan (daring). Penjualan lewat sistem ini diakui sangat membantu.
"Paling tidak, sistem daring ini bisa menutupi penjualan sekitar 30 persen. Memang tidak banyak tetapi lumayanlah untuk kita tetap bertahan karena kita tetap mempekerjakan beberapa karyawan," ujar dia.
Evi sapaan Eviyanti mengaku prihatin atas kondisi global yang terjadi, dia bersama pengusaha lainnya harus tetap bertahan di tengah gejolak pandemi berkepanjangan ini.
Bahkan ia harus terus berfikir dan menimbang terhadap langkah selanjutnya, mencari jalan selain dari menyajikan penjualan secara langsung (offline) produk kebanggaan ciri khas Toraja itu.
Namun demikian, pandemi COVID-19 setahun berlalu, kondisi telah mampu untuk kembali mendorong bangkitnya kembali perputaran roda perekonomian terkhusus bagi kalangan penikmat kopi.
"Kalau pengunjung, sudah mulai berdatangan walau itu belum seperti dulu, tetapi kita syukuri," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Evi juga memaparkan berbagai varian kopi yang dapat dinikmati di tempatnya tersebut, mulai dari robusta, arabika dan juga gabungan dari kedua jenis kopi itu (mix).
Gabungan dari masing-masing 50 persen robusta dan arabika itu akan lebih tepat dinikmati oleh penikmat kopi yang senang menggunakan gula.
Sedangkan untuk penikmat kopi yang hanya menginginkan kenikmatan sejati kopi dapat mencicipi jenis arabika, serta robusta memiliki ciri khas sebagai kopi berkafein tinggi.
Guna memiliki khas tersendiri pada produk kopi Toraja miliknya, Evi menerangkan bahwa mesin sangrai yang digunakannya dilengkapi kincir air buatan tangan sendiri.
Kemudian, pengolahan biji kopi yang telah di sangrai tersebut melalui berbagai proses hingga dapat dinikmati.
"Jadi, pengolahan hingga penyajian biji kopi menjadi sebuah minuman itu tidak serta-merta dilakukan. Mesti dengan proses, itulah ciri khas Kaana Coffee," ujarnya.
Inovasi
Menjalankan usaha agar tidak tergerus waktu dan tetap bertahan, tentu membutuhkan ekstra inovasi dan strategi, apalagi dalam kondisi pandemi saat ini.
Hal itu berlaku bagi semua kalangan pedagang yang menawarkan produk hingga jasa, termasuk pada sektor perhotelan.
General Manager Mislian Hotel Toraja Utara Yohan Tangkesalu mengemukakan bagian strategi untuk bertahan di tengah pandemi yakni dengan rencana pemasangan token listrik di setiap kamar agar tidak terjadi pembengkakan pemakaian daya.
"Ini kita lakukan supaya jika kamar ini tidak terpakai, tokennya akan tetap dan tidak ada daya yang membebani. Hal ini sudah kami komunikasikan dengan pihak PLN, kita tunggu finalisasinya seperti apa," ujarnya.
Selama pandemi, Yohan menyebut tingkat okupansi hotel yang ia pimpin hanya sekitar 12 persen dari 110 kamar yang tersedia dilengkapi fasilitas olahraga, spa, kolam renang dan lapangan tenis itu.
Dalam menarik minat pengunjung ke hotel yang menyajikan panorama Tongkonan tersebut, pihak hotel terus berinovasi mulai dari promo nginap, menu hingga kartu anggota Misliana Hotel.
"Semua strategi dan ide atau inovasi kita sudah optimalkan agar pengunjung berdatangan, tetapi sayangnya bandara juga belum dioperasikan. Jadi, kita tidak bisa berharap banyak dari pengunjung yang harus menggunakan pesawat untuk menjangkau Toraja Utara," ujar dia.
Salah satu strategi yang juga ditawarkan, kata Yohan, ialah menambahkan menu Nasi Toraja dengan harga yang sangat terjangkau yakni Rp35 ribu per nett.
Nasi Toraja merupakan menu terkini dari Misiliana Hotel terdiri dari nasi menyerupai topi kerucut disertai pepes, sup, sate ayam, sayur singkong dan kerupuk. Bukan hanya itu, pihak hotel mulai merancang sajian makanan yang diperoleh dari kebun hotel sendiri.
Yohan yang juga menjabat sebagai Ketua (PHRI) Toraja menyemangati para pelaku restoran dan perhotelan di kawasan itu agar tetap bertahan di masa pandemi, meski beberapa di antaranya, sudah tak mampu menanggung beban dampak krisis ini.
Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Toraja yang menaungi Kabupaten Tana Toraja (Tator) dan Toraja Utara (Torut), Sulawesi Selatan merilis tujuh hotel dan 20 restoran telah gulung tikar atau tutup akibat pandemi COVID-19.
Akhirnya, perjuangan para pelaku usaha di Torut dan seperti daerah lainnya di Tanah Air ini agaknya memang patut mendapat dukungan pihak terkait agar tetap bertahan di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir ini.