Makassar (ANTARA) - Kajian kesusastraan Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Badan Perencanaan dan Penelitian Pembangunan Daerah (Bappelitbangda) bersama Yayasan BaKTI, Knowledge Sector Initiative (KSI), serta kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia ini bertujuan untuk menghidupkan kembali produksi tenun sutra yang menjadi ikon kebanggaan Sulawesi Selatan.
Demikian disampaikan Wakil Direktur Eksekutif BaKTI, Zusanna Gosal dalam rapat virtual yang digelar di Makassar, Kamis.
Dari hasil kajian, lanjutnya, rantai nilai komoditas sutra Sultan, menunjukkan kompleksitas persoalan di setiap rantai nilai, yang terdiri dari tiga seri utama, yakni hulu-manufaktur dan hilir.
Hasil penelitian juga menggambarkan dominasi peran perempuan di setiap rantai. Di sektor hulu, budidaya ulat sutera umumnya dilakukan oleh perempuan, sayangnya kebijakan tersebut lebih menitikberatkan pada perbaikan teknis untuk memicu produksi daripada petani, masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Kelupaan dalam mengelola peternak ulat sutera, menjadi salah satu penyebab merosotnya peternak ulat sutera hingga tersisa 75 orang (56 petani di Kabupaten Soppeng dan 19 di Kabupaten Wajo).
Dari 75 petani sekitar 65 persen adalah perempuan. Budidaya ulat sutera ditinggalkan karena tidak lagi dapat diandalkan secara ekonomi sebagai sumber penghidupan keluarga. Penyebabnya adalah rendahnya kualitas telur ulat sutera.
Di sektor manufaktur, sepenuhnya dikuasai oleh perempuan, mulai dari proses pemintalan, pencelupan, desain motif dan penenunan. Pada tahap menenun, upah para penenun sangat rendah, yang semuanya perempuan.
“Konsistensinya dalam merawat tradisi menenun, tidak sebanding dengan apresiasi yang diperoleh secara ekonomi, terutama mereka yang bergelut di sektor manufaktur, dengan status penenun buruh dan langganan,” kata Susan.
Hak-hak sosialnya sebagai buruh dan hak-hak lain sebagai perempuan diabaikan oleh sistem yang sudah mapan. Itulah sebabnya, tradisi menenun mulai ditinggalkan, tidak lagi dilirik oleh kaum muda dan kaum terpelajar. Sedangkan kebijakan pemerintah belum menyentuh kaum marginal penenun. Di sektor hilir, meski pemasarannya masih cukup sehat, tak lepas dari masalah menurunnya permintaan sutera asli dan maraknya plagiarisme motif.
Intervensi pemerintah mengatasi tantangan sumber daya alam Sulawesi Selatan, berkonsentrasi pada aspek teknis, peningkatan produksi, dan fasilitas pendukung, daripada akar masalah yang sebenarnya.
Kemandirian bibit ulat sutera unggul yang mudah dijangkau petani, jauh dari harapan. Perbaikan teknis dalam pengelolaan bantuan peralatan, perbaikan metodologi dan pengelolaan data, penguatan kelembagaan serta akses dan pemerataan program yang memberdayakan pelaku di sektor hulu dan penenun perempuan belum tersentuh.
Industri Sutera Sulawesi Selatan memiliki potensi pengembangan mengingat keunggulannya dengan peluang pasar budaya dan ritual (ulang tahun pemerintah kabupaten, kota, berbagai pesta, dll) di mana transfer keterampilan menenun dan keterampilan desain motif mudah diakses.
Kajian persutraan ini kerjasama Bappelitbangda Sulsel dengan yayasan Bakti, Knoeledge Sector Initiative (KSI) - kemitran antara pemerintah Australia dan Indonesia. KSi didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) yang dilaksanakan bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan nasional (Kementerian PPN/BAPPENAS).
Tangkapan layar tanaman murbei yang menjadi pakan ulat sutra yang dikembangkan di sentra persutraan di Sulawesi Selatan. ANTARA / Suriani Mappong
Demikian disampaikan Wakil Direktur Eksekutif BaKTI, Zusanna Gosal dalam rapat virtual yang digelar di Makassar, Kamis.
Dari hasil kajian, lanjutnya, rantai nilai komoditas sutra Sultan, menunjukkan kompleksitas persoalan di setiap rantai nilai, yang terdiri dari tiga seri utama, yakni hulu-manufaktur dan hilir.
Hasil penelitian juga menggambarkan dominasi peran perempuan di setiap rantai. Di sektor hulu, budidaya ulat sutera umumnya dilakukan oleh perempuan, sayangnya kebijakan tersebut lebih menitikberatkan pada perbaikan teknis untuk memicu produksi daripada petani, masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Kelupaan dalam mengelola peternak ulat sutera, menjadi salah satu penyebab merosotnya peternak ulat sutera hingga tersisa 75 orang (56 petani di Kabupaten Soppeng dan 19 di Kabupaten Wajo).
Dari 75 petani sekitar 65 persen adalah perempuan. Budidaya ulat sutera ditinggalkan karena tidak lagi dapat diandalkan secara ekonomi sebagai sumber penghidupan keluarga. Penyebabnya adalah rendahnya kualitas telur ulat sutera.
Di sektor manufaktur, sepenuhnya dikuasai oleh perempuan, mulai dari proses pemintalan, pencelupan, desain motif dan penenunan. Pada tahap menenun, upah para penenun sangat rendah, yang semuanya perempuan.
“Konsistensinya dalam merawat tradisi menenun, tidak sebanding dengan apresiasi yang diperoleh secara ekonomi, terutama mereka yang bergelut di sektor manufaktur, dengan status penenun buruh dan langganan,” kata Susan.
Hak-hak sosialnya sebagai buruh dan hak-hak lain sebagai perempuan diabaikan oleh sistem yang sudah mapan. Itulah sebabnya, tradisi menenun mulai ditinggalkan, tidak lagi dilirik oleh kaum muda dan kaum terpelajar. Sedangkan kebijakan pemerintah belum menyentuh kaum marginal penenun. Di sektor hilir, meski pemasarannya masih cukup sehat, tak lepas dari masalah menurunnya permintaan sutera asli dan maraknya plagiarisme motif.
Intervensi pemerintah mengatasi tantangan sumber daya alam Sulawesi Selatan, berkonsentrasi pada aspek teknis, peningkatan produksi, dan fasilitas pendukung, daripada akar masalah yang sebenarnya.
Kemandirian bibit ulat sutera unggul yang mudah dijangkau petani, jauh dari harapan. Perbaikan teknis dalam pengelolaan bantuan peralatan, perbaikan metodologi dan pengelolaan data, penguatan kelembagaan serta akses dan pemerataan program yang memberdayakan pelaku di sektor hulu dan penenun perempuan belum tersentuh.
Industri Sutera Sulawesi Selatan memiliki potensi pengembangan mengingat keunggulannya dengan peluang pasar budaya dan ritual (ulang tahun pemerintah kabupaten, kota, berbagai pesta, dll) di mana transfer keterampilan menenun dan keterampilan desain motif mudah diakses.
Kajian persutraan ini kerjasama Bappelitbangda Sulsel dengan yayasan Bakti, Knoeledge Sector Initiative (KSI) - kemitran antara pemerintah Australia dan Indonesia. KSi didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) yang dilaksanakan bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan nasional (Kementerian PPN/BAPPENAS).