Jakarta (ANTARA) - "Walaupun banyak negeri ku jalani, yang mashyur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, di sana lah aku rasa tenang," penggalan lirik lagu Tanah Airku karya ciptaan Ibu Sud.
Lagu ini menjadi salah satu yang pertama teringat oleh salah satu anggota Satgas Garuda Bhayangkara Polri saat menginjakkan kakinya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah setahun bertugas dalam program Formed Police Unit (FPU) Multidimensional Integrited Stabilization Mission in the Central African Republic (Minusca) atau pasukan perdamaian (peacekeepers) Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afrika Tegah.
Sejumlah 140 personel Satgas Garuda Bhayangkara FPU2 Minusca, Minggu (12/9) telah kembali menyelesaikan tugasnya dalam misi menjaga perdamaian di Republik Afrika Tengah. Bersama dengan itu, Polri pun mengirim kembali 140 personel Satgas Garuda Bhayangkara FPU 3 Minusca ke negara yang tengah mengalami perang saudara itu.
Sejak tahun 1989, Indonesia melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berperan aktif mengirimkan pasukan-pasukan, khususnya nan berprestasi bernama Satgas Garuda Bhayangkara dalam misi menjaga perdamaian di negara-negara berkonflik dan pascakonflik.
Total ada 2.400 personel Polri yang sudah diberangkatkan ke sejumlah negara konflik maupun pascakonflik, seperti Afrika Tengah, Sudah Tengah, Sudan, Mali, Haiti, Kongo, Yaman, Kamboja, Bonia, Afghanistan dan Mozambik.
Keterlibatan Indonesia dalam misi perdamaian PBB ini juga merupakan amanat konstitusi, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".
Tugas mulia ini dijabarkan dalam Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa".
Setiap tahunnya Polri mengirimkan prajurit pilihannya, dalam bentuk kontingen berjumlah 140 orang. Mereka ditugaskan dalam program Formed Police Unit (FPU) Multidimensional Integrated Stabiliziation Mission (Minusca) atau pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Afrika Tengah.
Tahun ini Polri telah memberangkatkan 140 personel FPU 3 Minusca dan menarik pulang 140 FPU 2 Minusca setelah purna tugas dari September 2020 sampai September 2021.
Tugas berat yang diemban sebagai perwakilan Indonesia dalam misi menjaga perdamaian di negara-negara berkonflik, sehingga kepulangan Satgas Garuda Bhayangkara ini dianugerahi Satyalencana Bhakti Buana dari Presiden Joko Widodo.
Pengiriman Satgas Garuda Bhayangkara ini bagian dari upaya membangun kapasitas anggota Polri dalam melaksanakan tugas khusus di misi internasional, membangun jaringan dengan kepolisian negara-negara lain, sehingga Indonesia memiliki kerja sama yang baik dalam berbagai bidang.
"Tentunya pengiriman Satgas Garuda Bhayangkara dalam program FPU Minusca ini ikut membawa nama Indonesia ke dunia internasional," kata Kepala Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter) Polri Irjen Pol Johni Asadoma usai penyerahan anugeran Satyalencana Bhakti Buana di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/9).
Anggota Satgas Garuda Bhayangkara FPU 2 Minusca melakukan kegiatan belajar mengajar kepada anak-anak di Republik Afrika Tengah dalam misi menjaga perdamaian dunia. (ANTARA/HO-Briptu Betesda Sidabutar)
Personel berprestasi
Satgas Garuda Bhayangkara Polri ini memiliki ciri khas khusus dengan pakaian PDL Gurun berwarna abu-abu mirip warna padang pasir, lengkap dengan topi baret biru yang tersemat logo PBB.
Anggota Polri yang tergabung dalam program FPU Minusca ini merupakan personel berprestasi dari berbagai wilayah di Indonesia, dipilih lewat seleksi yang ketat mulai dari tingkat daerah kemudian di tingkat pusat.
Mereka yang terpilih dilatih untuk program FPU Minusca selama delapan bulan sebelum diberangkatkan ke negara misi. Mereka yang dilatih dengan kemampuan khusus untuk melaksanakan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian.
Sebelum resmi menjadi anggota FPU, harus melewati beberapa seleksi yaitu tes jasmani (lari, push up, sit up, shuttle run), menembak, psikologi, tes tertulis Bahasa Inggris, tes wawancara Bahasa Inggris, dan tes menyetir.
Terdapat tiga tahap latihan pra-penugasan yaitu tahap pertama pelatihan taktis dan pengenalan (pengenalan tentang misi PBB, mandat PBB, daerah misi dan juga dibekali dengan interpersonal skill).
Kemudian tahap kedua pelatihan Bahasa Inggris dan Prancis karena daerah misi adalah 'Franchophone', sehingga seluruh personel Satgas Garuda Bhayangkara yang bertugas dalam program FPU Minusca diberi kesempatan untuk belajar Bahasa Prancis dari level A2 sampai dengan B1 di IFI Jakarta. Dan tahap ketiga pemantapan serta persiapan tes FPAT (Formed Police Assesment Test).
Adapun tugas yang dijalankan selama misi program FPU Minusca mengacu di antaranya untuk mengamankan fasilitas yang digunakan PBB, melindungi pengungsi, mengawal proses distribusi bantuan kemanusiaan.
Kasatgas FPU 2 Minusca Afrika Tengah AKBP Hendrik Budhi Prasetyo mengatakan selain menjalan tugas sesuai mandat yang diemban oleh Minusca itu sendiri, Satgas Garuda Bhayangkara mendapat mandat tambahan, yakni memastikan berjalannya pemilu baik legislatif maupun presiden di Republik Afrika Tengah tahun 2021 dapat berjalan dengan lancar.
Serta mendukung berjalannya proses perlucutan senjata dan reintegrasi bekas kombatan kepada masyarakat dengan wujud kegiatan berupa patroli kemananan, penjagaan terhadap fasilitas-fasilitas terkait dengan kegiatan tersebut.
"Termasuk terkait dengan tokoh-tokoh penting dan bila perlu melakukan operasi-operasi penegakan hukum yang bersifat operasi kepolisian bersifat tinggi baik bersama komponen kepolisian Minusca, kepolisian setempat atau gabungan dengan elemen militer Minusca," kata AKBP Hendrik.
Misi di Afrika Tengah
Briptu Betesda Sidabutar, personel Sat Intelkan Polres Tulang Bawang Barat, Polda Lampung satu dari 140 pasukan FPU 2 Minusca yang baru kembali ke Tanah Air setelah menjalankan tugas selama satu tahun di Republik Afrika Tengah September 2020-Saptember 2021.
Briptu Bet, begitu sapaan akrabnya, dipercaya mengampu jabatan "Liaison Officer" atau sebagai penghubung dalam program FPU Minusca. Tugas hari-harinya sebagai penghubung kontingen Indonesia dengan seluruh elemen yang ada di Minusca, baik elemen kepolisian, militer, otoritas lokal dan pihak-pihak lainnya yang mendukung keberadaan dan kinerja FPU Indonesia di Republik Afrika Tengah.
Dara Bandar Lampung kelahiran 30 Oktober 1996 ini terpilih menjadi perwakilan personel Minusca dalam 'Peacekeeper's day campaign' dan mendapat kesempatan melakukan wawancara dengan 'communications officer' dari kantor Departemen of Peace Operations New York yang bersanding dengan perwakilan dari daerah misi lain seperti UNMISS, MONUSCO dan MINUSMA.
Hasil wawancara ini pun diunggah di Twitter remsi United Nations Police (Unpol). Sebuah kebanggaan yang membawa nama Indonesia, khususnya Polri di kancah internasional.
Briptu Bet memiliki minat yang kuat menjadi anggota FPU Indonesia setelah melihat pengalaman seniornya di Polres Tulang Bawang Barat pulang dari negara misi di Sudan. Tujuannya mengikuti misi adalah berharapan bisa berinteraksi langsung dengan warga di daerah konflik, seperti mengajar, khususnya anak-anak.
Oleh karena itu, saat pertama berangkat dari Indonesia menuju Afrika Tengah, Briptu Bet membawa buku cerita anak-anak berbahasa Prancis. Minimnya kesempatan mengajari anak-anak, karena posisi tugas yang diembannya sebagai penghubung, buku-buku tersebut disumbangkannya ke sebuah panti asuhan di Kota Bangui, saat mendapat kesempatan kegiatan kemanusiaan FPU Indonesia.
Minat menjadi pasukan Garuda Bhayangkara di misi perdamaian dunia telah dipendamnya sejak dua tahun berkarir di Korps Bhayangkara. Kemampuan menguasai Bahasa Inggris menjadi modalnya kuatnya untuk mendaftar di tahun 2018. Terlebih lagi dirinya mmeiliki prestasi juara 1 lomba public speaking tingkat Polda Lampung.
Awal mula dia membayangkan akan mendapatkan penempatan di program Unamid di Sudan, karena cukup berbahasa Inggris saja. Ternyata, hasil tes nya tergabung daria Satgas Garuda Bhayangkara FPU 2 Minusca di Afrika Tengah yang harus menguasai Bahasa Francis.
Ternyata saat bertugas di Afrika Tengah, Bahasa Francis tidak semua dikuasai masyarakat setempat, hari-hari mereka menggunakan bahasa lokca Sango. Hanya penduduk yang menempuh pendidikan di bangku sekolah yang bisa berbahasa Prancis. Ini menantang Briptu Bet yang punya kemapuan menguasai bahasa asing dalam waktu singkat (polyglot).
Baginya penguasaan bahasa masyarakat lokal setempat memudahkannya berinteraksi dengan penduduk saat menjalankan tugas patroli. Pendudukan Afrika Tengah yang dikenal masa bodoh, saat disapa dengan bahasa lokalnya akan merespon dengan ramah dan murah senyum.
Banyak pengalaman yang dirasakan Briptu Bet selama menjalankan tugas di Republik Afrika Tengah yang tengah terjadi perang saudara, mulai dari pengalaman shok melihat kondisi infrakstruktur negara berpenduduk 4,745 juta jiwa (2019), hingga terjadi baku tembak usai pemilihan presiden 13 Januari 2021.
Melihat Afrika Tengah selama satu tahun, membuat Briptu Bet bersyukur terlahir di Indonesia yang peradabannya sudah lebih maju, baik dari segi infrastruktur, pendidikan, layanan pemerintah hingga penegakan hukum. Jalan berlubang dalam dan lebar banyak ditemui di negara jajaran Prancis tersebut, terlebih kepatuhan hukum masyarakat setempat masih rendah. Perang saudara membuat situasi di wilayah tersebut tidak aman untuk ditempati.
Biaya hidup di negara jajaran Prancis terbilang mahal apalagi urusan kuota internet. Sepekan membutuhkan 10 giga dengan biaya Rp 300 ribu. Sebulan Briptu Bet harus mengeluarkan uang Rp1 juta untuk biaya internet.
Internet dibutuhkannya untuk berkomunikasi dengan keluarga dan orangtua di Lampung yang dilakukannya setiap hari, sesekali hiburan menonton 'Mukbang' bila kangen makanan Indonesia menderanya.
Karena selama di kamp FPU Indonesia tidak memiliki televisi. Untuk bisa menonton harus membeli televisi digital berbayar dengan harga 12.500 Franc atau setara dengan Rp300 ribu per bulan.
Meski harus mengeluarkan biaya ekstra untuk kuota internet, Briptu Bet bersyukur untuk urusan makan sudah disediakan oleh PBB, termasuk peralatan mandi cuci kakus.
Sesekali Briptu Bet mencicipi jajanan asli Kota Bangui, Afrika Tengah berupa olahan daging ayam dan daging sapi yang dibuat seperti steak bernama Chouteri (cutari) seharga 5.000 Franc setara Rp150 ribu se porsi.
"Setelah menyelesaikan tugasnya di Afrika Tengah, begitu mendarat di Tanah Air, saya membayangkan wajah kedua orangtua saya. Karena sebelum pulang, ibu sempat sakit, sempat terpikir untuk mengambil cuti, tapi puji Tuhan, ibu kembali pulih," kenang Briptu Bet.
Lagu ini menjadi salah satu yang pertama teringat oleh salah satu anggota Satgas Garuda Bhayangkara Polri saat menginjakkan kakinya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah setahun bertugas dalam program Formed Police Unit (FPU) Multidimensional Integrited Stabilization Mission in the Central African Republic (Minusca) atau pasukan perdamaian (peacekeepers) Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afrika Tegah.
Sejumlah 140 personel Satgas Garuda Bhayangkara FPU2 Minusca, Minggu (12/9) telah kembali menyelesaikan tugasnya dalam misi menjaga perdamaian di Republik Afrika Tengah. Bersama dengan itu, Polri pun mengirim kembali 140 personel Satgas Garuda Bhayangkara FPU 3 Minusca ke negara yang tengah mengalami perang saudara itu.
Sejak tahun 1989, Indonesia melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berperan aktif mengirimkan pasukan-pasukan, khususnya nan berprestasi bernama Satgas Garuda Bhayangkara dalam misi menjaga perdamaian di negara-negara berkonflik dan pascakonflik.
Total ada 2.400 personel Polri yang sudah diberangkatkan ke sejumlah negara konflik maupun pascakonflik, seperti Afrika Tengah, Sudah Tengah, Sudan, Mali, Haiti, Kongo, Yaman, Kamboja, Bonia, Afghanistan dan Mozambik.
Keterlibatan Indonesia dalam misi perdamaian PBB ini juga merupakan amanat konstitusi, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".
Tugas mulia ini dijabarkan dalam Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa".
Setiap tahunnya Polri mengirimkan prajurit pilihannya, dalam bentuk kontingen berjumlah 140 orang. Mereka ditugaskan dalam program Formed Police Unit (FPU) Multidimensional Integrated Stabiliziation Mission (Minusca) atau pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Afrika Tengah.
Tahun ini Polri telah memberangkatkan 140 personel FPU 3 Minusca dan menarik pulang 140 FPU 2 Minusca setelah purna tugas dari September 2020 sampai September 2021.
Tugas berat yang diemban sebagai perwakilan Indonesia dalam misi menjaga perdamaian di negara-negara berkonflik, sehingga kepulangan Satgas Garuda Bhayangkara ini dianugerahi Satyalencana Bhakti Buana dari Presiden Joko Widodo.
Pengiriman Satgas Garuda Bhayangkara ini bagian dari upaya membangun kapasitas anggota Polri dalam melaksanakan tugas khusus di misi internasional, membangun jaringan dengan kepolisian negara-negara lain, sehingga Indonesia memiliki kerja sama yang baik dalam berbagai bidang.
"Tentunya pengiriman Satgas Garuda Bhayangkara dalam program FPU Minusca ini ikut membawa nama Indonesia ke dunia internasional," kata Kepala Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter) Polri Irjen Pol Johni Asadoma usai penyerahan anugeran Satyalencana Bhakti Buana di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/9).
Personel berprestasi
Satgas Garuda Bhayangkara Polri ini memiliki ciri khas khusus dengan pakaian PDL Gurun berwarna abu-abu mirip warna padang pasir, lengkap dengan topi baret biru yang tersemat logo PBB.
Anggota Polri yang tergabung dalam program FPU Minusca ini merupakan personel berprestasi dari berbagai wilayah di Indonesia, dipilih lewat seleksi yang ketat mulai dari tingkat daerah kemudian di tingkat pusat.
Mereka yang terpilih dilatih untuk program FPU Minusca selama delapan bulan sebelum diberangkatkan ke negara misi. Mereka yang dilatih dengan kemampuan khusus untuk melaksanakan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian.
Sebelum resmi menjadi anggota FPU, harus melewati beberapa seleksi yaitu tes jasmani (lari, push up, sit up, shuttle run), menembak, psikologi, tes tertulis Bahasa Inggris, tes wawancara Bahasa Inggris, dan tes menyetir.
Terdapat tiga tahap latihan pra-penugasan yaitu tahap pertama pelatihan taktis dan pengenalan (pengenalan tentang misi PBB, mandat PBB, daerah misi dan juga dibekali dengan interpersonal skill).
Kemudian tahap kedua pelatihan Bahasa Inggris dan Prancis karena daerah misi adalah 'Franchophone', sehingga seluruh personel Satgas Garuda Bhayangkara yang bertugas dalam program FPU Minusca diberi kesempatan untuk belajar Bahasa Prancis dari level A2 sampai dengan B1 di IFI Jakarta. Dan tahap ketiga pemantapan serta persiapan tes FPAT (Formed Police Assesment Test).
Adapun tugas yang dijalankan selama misi program FPU Minusca mengacu di antaranya untuk mengamankan fasilitas yang digunakan PBB, melindungi pengungsi, mengawal proses distribusi bantuan kemanusiaan.
Kasatgas FPU 2 Minusca Afrika Tengah AKBP Hendrik Budhi Prasetyo mengatakan selain menjalan tugas sesuai mandat yang diemban oleh Minusca itu sendiri, Satgas Garuda Bhayangkara mendapat mandat tambahan, yakni memastikan berjalannya pemilu baik legislatif maupun presiden di Republik Afrika Tengah tahun 2021 dapat berjalan dengan lancar.
Serta mendukung berjalannya proses perlucutan senjata dan reintegrasi bekas kombatan kepada masyarakat dengan wujud kegiatan berupa patroli kemananan, penjagaan terhadap fasilitas-fasilitas terkait dengan kegiatan tersebut.
"Termasuk terkait dengan tokoh-tokoh penting dan bila perlu melakukan operasi-operasi penegakan hukum yang bersifat operasi kepolisian bersifat tinggi baik bersama komponen kepolisian Minusca, kepolisian setempat atau gabungan dengan elemen militer Minusca," kata AKBP Hendrik.
Misi di Afrika Tengah
Briptu Betesda Sidabutar, personel Sat Intelkan Polres Tulang Bawang Barat, Polda Lampung satu dari 140 pasukan FPU 2 Minusca yang baru kembali ke Tanah Air setelah menjalankan tugas selama satu tahun di Republik Afrika Tengah September 2020-Saptember 2021.
Briptu Bet, begitu sapaan akrabnya, dipercaya mengampu jabatan "Liaison Officer" atau sebagai penghubung dalam program FPU Minusca. Tugas hari-harinya sebagai penghubung kontingen Indonesia dengan seluruh elemen yang ada di Minusca, baik elemen kepolisian, militer, otoritas lokal dan pihak-pihak lainnya yang mendukung keberadaan dan kinerja FPU Indonesia di Republik Afrika Tengah.
Dara Bandar Lampung kelahiran 30 Oktober 1996 ini terpilih menjadi perwakilan personel Minusca dalam 'Peacekeeper's day campaign' dan mendapat kesempatan melakukan wawancara dengan 'communications officer' dari kantor Departemen of Peace Operations New York yang bersanding dengan perwakilan dari daerah misi lain seperti UNMISS, MONUSCO dan MINUSMA.
Hasil wawancara ini pun diunggah di Twitter remsi United Nations Police (Unpol). Sebuah kebanggaan yang membawa nama Indonesia, khususnya Polri di kancah internasional.
Briptu Bet memiliki minat yang kuat menjadi anggota FPU Indonesia setelah melihat pengalaman seniornya di Polres Tulang Bawang Barat pulang dari negara misi di Sudan. Tujuannya mengikuti misi adalah berharapan bisa berinteraksi langsung dengan warga di daerah konflik, seperti mengajar, khususnya anak-anak.
Oleh karena itu, saat pertama berangkat dari Indonesia menuju Afrika Tengah, Briptu Bet membawa buku cerita anak-anak berbahasa Prancis. Minimnya kesempatan mengajari anak-anak, karena posisi tugas yang diembannya sebagai penghubung, buku-buku tersebut disumbangkannya ke sebuah panti asuhan di Kota Bangui, saat mendapat kesempatan kegiatan kemanusiaan FPU Indonesia.
Minat menjadi pasukan Garuda Bhayangkara di misi perdamaian dunia telah dipendamnya sejak dua tahun berkarir di Korps Bhayangkara. Kemampuan menguasai Bahasa Inggris menjadi modalnya kuatnya untuk mendaftar di tahun 2018. Terlebih lagi dirinya mmeiliki prestasi juara 1 lomba public speaking tingkat Polda Lampung.
Awal mula dia membayangkan akan mendapatkan penempatan di program Unamid di Sudan, karena cukup berbahasa Inggris saja. Ternyata, hasil tes nya tergabung daria Satgas Garuda Bhayangkara FPU 2 Minusca di Afrika Tengah yang harus menguasai Bahasa Francis.
Ternyata saat bertugas di Afrika Tengah, Bahasa Francis tidak semua dikuasai masyarakat setempat, hari-hari mereka menggunakan bahasa lokca Sango. Hanya penduduk yang menempuh pendidikan di bangku sekolah yang bisa berbahasa Prancis. Ini menantang Briptu Bet yang punya kemapuan menguasai bahasa asing dalam waktu singkat (polyglot).
Baginya penguasaan bahasa masyarakat lokal setempat memudahkannya berinteraksi dengan penduduk saat menjalankan tugas patroli. Pendudukan Afrika Tengah yang dikenal masa bodoh, saat disapa dengan bahasa lokalnya akan merespon dengan ramah dan murah senyum.
Banyak pengalaman yang dirasakan Briptu Bet selama menjalankan tugas di Republik Afrika Tengah yang tengah terjadi perang saudara, mulai dari pengalaman shok melihat kondisi infrakstruktur negara berpenduduk 4,745 juta jiwa (2019), hingga terjadi baku tembak usai pemilihan presiden 13 Januari 2021.
Melihat Afrika Tengah selama satu tahun, membuat Briptu Bet bersyukur terlahir di Indonesia yang peradabannya sudah lebih maju, baik dari segi infrastruktur, pendidikan, layanan pemerintah hingga penegakan hukum. Jalan berlubang dalam dan lebar banyak ditemui di negara jajaran Prancis tersebut, terlebih kepatuhan hukum masyarakat setempat masih rendah. Perang saudara membuat situasi di wilayah tersebut tidak aman untuk ditempati.
Biaya hidup di negara jajaran Prancis terbilang mahal apalagi urusan kuota internet. Sepekan membutuhkan 10 giga dengan biaya Rp 300 ribu. Sebulan Briptu Bet harus mengeluarkan uang Rp1 juta untuk biaya internet.
Internet dibutuhkannya untuk berkomunikasi dengan keluarga dan orangtua di Lampung yang dilakukannya setiap hari, sesekali hiburan menonton 'Mukbang' bila kangen makanan Indonesia menderanya.
Karena selama di kamp FPU Indonesia tidak memiliki televisi. Untuk bisa menonton harus membeli televisi digital berbayar dengan harga 12.500 Franc atau setara dengan Rp300 ribu per bulan.
Meski harus mengeluarkan biaya ekstra untuk kuota internet, Briptu Bet bersyukur untuk urusan makan sudah disediakan oleh PBB, termasuk peralatan mandi cuci kakus.
Sesekali Briptu Bet mencicipi jajanan asli Kota Bangui, Afrika Tengah berupa olahan daging ayam dan daging sapi yang dibuat seperti steak bernama Chouteri (cutari) seharga 5.000 Franc setara Rp150 ribu se porsi.
"Setelah menyelesaikan tugasnya di Afrika Tengah, begitu mendarat di Tanah Air, saya membayangkan wajah kedua orangtua saya. Karena sebelum pulang, ibu sempat sakit, sempat terpikir untuk mengambil cuti, tapi puji Tuhan, ibu kembali pulih," kenang Briptu Bet.