Makassar (ANTARA) - Peneliti/Litkayasa Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Prof Dr Budi Leksono MP mengatakan Sulawesi Selatan memiliki potensi Bahan Bakar Nabati (BBN) yang sangat besar untuk energi hijau.
Hal tersebut dikemukakan Budi pada webinar yang diselenggarakan di Jakarta oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani berkelanjutan, Kamis.
Dia mengatakan potensi BBN yang terbesar di Sulawesi Selatan (Sulsel) ada di Kabupaten Kepulauan Selayar dengan pengembangan tanaman nyamplung yang mulai diperkenalkan kepada masyarakat setempat pada 2006.
Sementara Balai Besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar melansir bahwa potensi Sulsel sangat besar dengan 1.742 hektare lahan pohon nyamplung yang siap tumbuh alami.
Dalam perkembangannya, pada 2009 - 2010 Kementerian Sumber Daya Energi Mineral (ESDM) membangun industri biodiesel untuk pengolahan biji nyamplung di lima daerah yakni Banyuangi, Purworejo, Kebumen, Ujung Kulon, dan Selayar.
Setelah dibangun industri pengolahan biodiesel, pihak Kementerian ESDM melakukan pendampingan selama setahun. Selanjutnya diserahkan kepada pihak kelompok tani dalam pengelolaannya.
Hanya saja beberapa waktu kemudian, lanjut Budi, operasional mesin itu kemudian tidak berjalan, setelah salah satu bagian mesinnya tidak berfungsi dan petani tidak memiliki kemampuan mengatasinya.
"Akhirnya pengolahan nyamplung untuk menjadi biodiesel menjadi terhenti, namun bahan bakunya terus dikembangkan oleh masyarakat. Sedangkan peruntukkannya yang semula untuk energi hijau, bergeser sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan," katanya.
Hal tersebut terjadi karena harga nyamplung lebih mahal dibeli oleh pihak produsen kosmetik dan obat-obatan dari pada produsen biodiesel.
Hal tersebut dikemukakan Budi pada webinar yang diselenggarakan di Jakarta oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani berkelanjutan, Kamis.
Dia mengatakan potensi BBN yang terbesar di Sulawesi Selatan (Sulsel) ada di Kabupaten Kepulauan Selayar dengan pengembangan tanaman nyamplung yang mulai diperkenalkan kepada masyarakat setempat pada 2006.
Sementara Balai Besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar melansir bahwa potensi Sulsel sangat besar dengan 1.742 hektare lahan pohon nyamplung yang siap tumbuh alami.
Dalam perkembangannya, pada 2009 - 2010 Kementerian Sumber Daya Energi Mineral (ESDM) membangun industri biodiesel untuk pengolahan biji nyamplung di lima daerah yakni Banyuangi, Purworejo, Kebumen, Ujung Kulon, dan Selayar.
Setelah dibangun industri pengolahan biodiesel, pihak Kementerian ESDM melakukan pendampingan selama setahun. Selanjutnya diserahkan kepada pihak kelompok tani dalam pengelolaannya.
Hanya saja beberapa waktu kemudian, lanjut Budi, operasional mesin itu kemudian tidak berjalan, setelah salah satu bagian mesinnya tidak berfungsi dan petani tidak memiliki kemampuan mengatasinya.
"Akhirnya pengolahan nyamplung untuk menjadi biodiesel menjadi terhenti, namun bahan bakunya terus dikembangkan oleh masyarakat. Sedangkan peruntukkannya yang semula untuk energi hijau, bergeser sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan," katanya.
Hal tersebut terjadi karena harga nyamplung lebih mahal dibeli oleh pihak produsen kosmetik dan obat-obatan dari pada produsen biodiesel.