Jakarta (ANTARA) - Pada tiap sudut kota yang riuh, dan di antara hiruk-pikuk kendaraan serta desakan peluh manusia, terdapat sebuah narasi yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Ini adalah cerita tentang jelantah, limbah minyak goreng yang kerap dianggap tidak berharga, namun kini dihadirkan ke dalam panggung dengan potensi yang luar biasa.
Sebuah percikan inovasi yang tengah mengalir dari Pertamina itu dijelaskan oleh Oki Muraza, SVP Technology Innovation, yang menyuarakan visi untuk mengubah pandangan terhadap limbah menjadi energi yang berkelanjutan.
Jelantah, yang selama ini hanya teronggok di sudut dapur, dijadikan limbah tak bermakna. Di balik aroma gurih yang menyertainya saat digunakan untuk menggoreng, dari limbahnya tersimpan potensi yang luar biasa.
Masyarakat sering kali menganggap minyak ini hanya sebagai residu yang harus dibuang, tanpa menyadari bahwa setiap tetesnya memiliki cerita yang lebih dalam. “Ketersediaan minyak jelantah sangat melimpah, dan sayangnya banyak yang tidak menyadarinya,” ungkap Oki dengan nada optimistis saat menjadi pembicara di Podcast “Close Up” ANTARA.
Di tengah bising mesin-mesin pesawat yang mengangkasa, Oki menggambarkan sebuah visi besar: bioavtur, bahan bakar pesawat yang dihasilkan dari jelantah. “Bayangkan, setiap kali kita melihat pesawat terbang, kita bisa tahu bahwa ada sisa-sisa makanan yang telah bertransformasi menjadi energi,” lanjutnya.
Kata-kata Oki seolah menjadi jembatan antara dua dunia yang tampaknya jauh berbeda: jagat kuliner dan dunia penerbangan. Dalam benak Oki, inovasi ini bukan sekadar tentang bahan bakar, melainkan juga tentang bagaimana kita dapat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mengurangi polusi dan biaya operasional.
Proses ini dimulai dengan pemisahan minyak jelantah dari kontaminan lainnya. Di laboratorium yang dipenuhi peralatan canggih, para ilmuwan Pertamina melakukan penelitian mendalam. “Minyak jelantah memiliki kandungan trigliserida yang cukup tinggi. Melalui proses transesterifikasi, kami dapat memisahkan gliserol dari trigliserida dan menghasilkan biodiesel,” jelas Oki.
Dalam proses ini, minyak jelantah diubah menjadi esters, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Ini adalah langkah awal menuju energi yang lebih bersih.
Pengumpulan bahan baku minyak jelantah bukanlah tugas yang mudah. Oki menjelaskan rencana kolaborasi yang akan dilakukan dengan perusahaan-perusahaan besar di sektor makanan dan minuman yang memiliki limbah minyak jelantah melimpah.
Pertamina ingin membangun jaringan yang kuat, di mana setiap pihak dapat berkontribusi dalam menyediakan bahan baku ini. Namun, bukan hanya korporasi yang diharapkan berperan, masyarakat juga diundang untuk ikut serta. Dengan menyediakan tempat pengumpulan di SPBU-SPBU yang tersebar, setiap rumah tangga bisa menjadi bagian dari perubahan ini.
Saat ini, langkah Pertamina masih dalam tahap kajian, namun semangat untuk membawa perubahan terlihat jelas dalam setiap perkataan Oki. Pertamina sangat berkomitmen untuk menciptakan energi baru terbarukan, dengan antusias. Dalam benak Oki, bioavtur bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan simbol harapan untuk masa depan yang lebih bersih sekaligus berkelanjutan.
Potensi besar untuk masa depan
Di tengah perjalanan waktu yang terus berjalan, ide ini bukan sekadar angan-angan. Ini adalah langkah awal menuju solusi yang lebih besar untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin mendesak.
Dengan rute penerbangan yang padat, bioavtur bisa menjadi alternatif yang menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil. Ketika pesawat mulai mengudara dengan bahan bakar yang berasal dari minyak jelantah, masyarakat bisa menyaksikan momen limbah dan inovasi bertemu, yang menghasilkan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Dari sudut pandang yang lebih luas, transformasi minyak jelantah menjadi bioavtur bukan hanya tentang teknologi. Ini adalah refleksi dari perubahan paradigma dalam cara kita memandang limbah dan energi.
Di setiap tetes minyak yang terkumpul terdapat potensi untuk mengubah dunia, dari limbah menjadi harapan, dari sisa menjadi solusi. Sebagai penunjang realisasi konsep bioavtur, SVP Business Development Pertamina Wisnu Medan Santoso mengatakan yakin bahwa sisi teknologi Pertamina siap terkait pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan salah satunya memungkinkan minyak jelantah dikembangkan menjadi bioavtur.
"Itu murni hanya soal feedstock. Kalau kita mendapatkan continuity feedstock-nya cukup meyakinkan, saya rasa kita sudah siap," tegasnya.
Satu pertanyaan penting muncul, mengapa bioavtur? Dengan meningkatnya jumlah penerbangan dan kebutuhan energi yang terus tumbuh, industri penerbangan menghadapi tantangan besar, setidaknya konsumsi avtur per tahun adalah 6 juta kiloliter.
Wisnu, dengan nada yang penuh percaya diri, menjelaskan, “Penerbangan adalah salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Dengan bioavtur, kami tidak hanya ingin mengurangi emisi, tetapi juga menurunkan biaya operasional maskapai.”
Bayangkan, setiap kali pesawat meluncur ke udara, ada kemungkinan bahwa bahan bakarnya berasal dari limbah yang sebelumnya terbuang. Bioavtur memiliki sifat yang mirip dengan avtur konvensional, menjadikannya sebagai alternatif yang praktis. Menurut studi yang dilakukan oleh Pertamina, bioavtur dapat mengurangi emisi CO2 hingga 80 persen dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Ini bukan sekadar angan-angan, melainkan langkah konkret menuju penerbangan yang lebih berkelanjutan.
Adanya inovasi dari biofuel, khususnya bioavtur, dari minyak jelantah atau minyak goreng bekas, diharapkan mampu meningkatkan peran masyarakat dalam menciptakan energi bersih.
Selain itu, potensi meningkatnya ekonomi rakyat juga bisa tercipta ketika sistem pengumpulan minyak bekas sudah tertata.
Sistem pendukung yang tercipta dalam mata rantai jelantah itu akan memberikan manfaat ekonomi bagi para pengumpul limbah minyak goreng itu. Tentu hanya jelantah dengan standar tertentu yang layak diproses jadi bioavtur.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Awal perjalanan jelantah menjadi bahan bakar pesawat