Jakarta (ANTARA) - Air mata menetes satu per satu dari sudut mata artis Dewi Yull. Tepat seperti sebuah adegan film melodrama. Akan tetapi, ini adegan sungguhan. Betapa bahagianya Dewi Yull hari itu karena salah satu putranya, Panji Surya Putra Sahetapy, lulus S-2 dari Rochester Institute of Technology (RIT).
Hebatnya lagi, Surya lulus dengan meraih tiga penghargaan sekaligus, masing-masing International Student Outstanding Service Award dan The Outstanding Graduating Student Award In The Master's Degree, serta NTID Graduate College Delegate.
Peristiwa itu menjadi istimewa bukan buat Dewi Yull saja, melainkan untuk kita semua. Itulah sebabnya, walaupun saya punya “stok antrean” daftar tulisan, semuanya saya tunda dan menyelipkan tulisan ihwal Dewi Yull sebagai prioritas.
Kenapa? Surya, anak ketiga Dewi Yull dan Ray Sahetapy, kelahiram 21 Desember 1993, sejujurnya seorang anak manusia tuli. Surya merupakan salah satu dari dua anak Dewi Yull yang dilahirkan tuli. Jangankan tunarungu, anak demam saja orang tua sudah kalang kabut.
Maka satu anak tuli saja sudah sedemikian merepotkan dan melelahkan, apalagi memiliki dua anak tuli.
Jangan juga dilupakan, Dewi Yull adalah seorang penyanyi beken. Bagi generasi usia 45 tahun ke atas, sebagian besar pastilah mengenali suara merdu Dewi Yull, baik yang perorangan maupun yang berduet dengan penyanyi (almarhum) Broery Marantika. Hampir di setiap acara karaokean, suara Dewi Yull terdengar. Namun, Tuhan telah menentukan dua anaknya tuli. Salah satunya Surya.
Di sinilah kita angkat topi kepada artis asal Cirebon ini. Bayangkan, Dewi Yull yang kehidupan dan penghidupannya berasal dari tarik suara (dan pernah memerankan tokoh utama di beberapa film), tak tanggung-tanggung, diuji oleh Sang Maha Kuasa melalui dua anaknya yang tunarungu.
Banyak orang tua yang tidak terima anaknya memiliki “kekurangan.” Saya tahu sekali ada orang tua yang kalau anaknya cuma dapat nilai 6, sudah sewot. Anaknya dimaki-maki.
Apalagi andai mereka diberi anak yang memiliki “kekhususan” seperti autis, buta, atau tuli. Mereka banyak yang malu punya anak seperti itu. Banyak yang tak mengakui anaknya, menyembunyikan, atau bahkan “membuang” anak-anak seperti itu.
Kita ingat ada mantan anggota DPR yang sama sekali tak mau mengakui anaknya sendiri yang mempunyai kebutuhan khusus. Namun, berbeda dengan Dewi Yull. Dia menerima semua itu sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapinya.
Dewi Yull berjuang dengan sekuat tenaga dan jiwa untuk tidak sekedar dapat membesarkan anak-anaknya itu, tapi juga berupaya keras bagaimana sang anak dapat tumbuh nyaman dan berkembang secara optimal.
Dewi Yull alih-alih “menyembunyikan,” malah selalu membanggakan anak-anaknya. Dia diyakinkan untuk percaya diri, gigih pantang menyerah, dan selalu memanfaatkan kelebihan sekecil apa pun yang diberi Tuhan kepada manusia.
Tentu ini bukan perkara mudah bagi Dewi Yull. Dia pernah menjadi seorang artis papan atas yang suaranya dipuja-puji orang. Dewi Yulll juga sebelumnya banyak diidolakan para fansnya. Dalam keadaan demikian, Dewi Yull dibenturkan dengan fakta: dua anaknya tuli.
Munculah sindiran dan ejekan, terang-terangan atau bisik-bisik, dosa apa yang sudah dilakukan Dewi Yull sehingga sampai Tuhan memberikan dua anaknya tuli. Kasak-kusuk busuk pun terdengar: Kalau nggak ada dosa besar, tak mungkinlah sampai dua anaknya tuli.
Kalau tak mem-bully, Dewi Yull dipergunjingkan. ”Wah, kasihan banget ya, Dewi Yull, harus menanggung derita, dua anaknya tuli.”
Semua itu bukan tak sampai ke telinga Dewi Yull. Dia paham benar dengan bisik-bisik. Tapi Dewi Yull tidak merasa rendah diri. Dewi Yull tidak tersinggung. Dewi Yull tidak mau menyerah. Dewi Yull tidak putus asa.
Di tengah persoalan itu, Dewi Yull harus pula menerima kenyataan pahit lainnya, dia harus berpisah dengan Ray Sahetapy, mantan suaminya.
Beruntungnya, ketika sedang berkonsentrasi membesarkan anak-anaknya, Tuhan mengirim kepadanya Srikanton, seorang lelaki yang kemudian menjadi suaminya.
Kendati menyadari bukan persoalan mudah, Dewi Yull tegas tidak mau jadi pecundang. Dewi Yull sudah menetapkan kepada dirinya sendiri: harus tabah, tegar, dan pantang menyerah. Menjadi pejuang.
Lebih dari itu, Dewi Yull menanamkan kepada diri sendiri bahwa tanggung jawabnya sebagai ibu kepada anak-anaknya yang berkebutuhan khusus, melecut semangat hatinya untuk berjuang sampai batas optimal buat anak-anaknya itu.
Dewi Yull mengubah kondisi kejiwaan seorang ibu yang harusnya tertekan mempunyai dua anak tuli, menjadi kondisi kejiwaan seorang ibu yang penuh tantangan. Kondisi yang membutuhkan tekad membawa perbaikan.
Begitu lah, Dewi Yull merawat dan membesarkan dua anaknya yang tuli, termasuk Surya, bak ibu banteng melindungi anaknya.
Dia tidak pernah menyembunyikan keadaan anak-anaknya dari publik. Dia membanggakan anak-anaknya. Berbagai upaya terus dilakukan untuk memberi kesempatan kepada kedua anaknya terus berkembang.
Kelelahan fisik dihadapinya tanpa keluh kesah, malah dijadikan modal semangat. Apa pun jalan halal diusahakan agar kedua anaknya dapat sukses.
Dewi Yull senantiasa berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan mengabdikan diri kepada Penguasa Alam lewat anak-anaknya yang seperti itu.
Dewi Yull percaya bahwa Tuhan memang memberinya tantangan untuk membuktikan sebagai seorang ibu yang luar biasa. Dan, lewat seribu problematika, Dewi Yull berhasil menjalankan amanah itu.
Dewi Yull sudah berhasil membuktikan mampu memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Dewi Yulll sudah membukakan jalan kepada kedua anaknya yang tuli untuk menjalani kehidupan dan penghidupan di dunia tanpa membebani orang lain.
Dewil Yull beruntung Surya dapat masuk ke RIT, sebuah kampus teknologi terbesar untuk orang tuli di Amerika Serikat. Ada sekitar seribuan mahasiswa tuli di sana. Memang, sebelumnya Surya sudah lebih dahulu mendapatkan beasiswa penuh.
Tentu Dewi Yull amat bahagia Surya mampu menyelesaikan S-2-nya dengan baik. Kata Dewi Yull di video Instaqramnya, “Alhamdulillah Ya Alloh, hari ini Surya diwisuda, dan saya merasa bahagia melihat anakku selangkah lebih maju menuju masa depannya."
Naluri keibuannya dalam saat-saat demikian muncul. "Terima kasih sayang, ibu selalu berdoa buatmu, ibu selalu bangga kepadamu."
Dewi mengaku menangis waktu melihat Surya diberi penghargaan, lantaran ini buah yang Tuhan pelan-pelan upahkan, dikasih upah dari keyakinan yang digenggam erat.
“Saya profesinya mencari makannya dari bernyanyi. Dua anak saya nggak bisa dengar," kata Dewi Yull di akun Instagramnya.
Dewi Yull berharap hal ini menjadi inspirasi bagi keluarga lain yang memiliki keluarga dengan keterbatasan maupun keluarga yang memiliki anak-anak normal.
Ujar Dewil Yull, ”Apa rahasia di balik itu? Tuhan kasih tugas sama saya buat membuka mata orang lain, orang yang punya keluarga dengan disabilitas atau orang tua yang punya anak sempurna."
Surya sendiri sempat bermain di dua film, masing-masing “Sebuah Lagu untuk Tuhan" (2015) dan “Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara“ (2016).
Pada masa kecil, Surya harus menempuh pendidikan di bangku sekolah luar biasa. Ia tumbuh dalam bimbingan Dewi Yull yang selalu menanamkan perlunya kegigihan dan semangat kepada anaknya itu.
Walhasil, Surya mampu tumbuh menjadi pemuda yang sarat dengan prestasi. Ia berulang kali mewakili Indonesia dalam ajang bergengsi para penyandang disabilitas.
Surya sendiri mengemukakan, prestasinya ke jenjang S-2 bagaikan mimpi. Ia sempat merasa mustahil bisa berkuliah di Amerika Serikat.
“Waktu kecil saya pikir mustahil (orang) tuli berkuliah ke luar negeri. Bagaimana saya bisa berbahasa Inggris yang cukup agar bisa berkuliah di sini. Saya nggak bisa bayangkan jauh dari keluarga. Dan, sekarang ternyata saya sampai di sini, wow!," ungkap Surya, tentu dengan bahasa isyarat.
Surya menuturkan (dalam bahasa isyarat), dua malam pertama di Amerika dia hanya dapat menangis dan menangis. Setelah itu atas dorongan ibunya timbul tekad dalam dirinya untuk dapat menggapai sukses sehingga mimpi itu jadi kenyataan.
Begitu mengetahui Surya bakal diwisuda, Dewi Yull tanpa pikir panjang langsung terbang ke AS untuk menyaksikan putranya diwisuda.
Ada sebongkah kebanggaan yang luar biasa dalam jiwanya. Jerih payah, ketabahan, dan peranan sebagai ibu akhirnya membuahkan hasil yang membanggakan.
"Alhamdulillah sujud syukur, percayalah bahwa waktu dan kesabaran pasti mendapat balasan suatu saat,” ujarnya di media soal.
Dewi Yull bukan ibu biasa. Dewi Yulll ibu yang luar biasa. Dia dapat menjadi teladan bagi kita semua. Kegigihan dan ajarannya yang tepat disertai contoh konkret bakal menghasilkan generasi yang tangguh. Generasi yang berprestasi.
Kita membayangkan anak-anak Indonesia dididik dengan semangat juang berdikari, gigih, dan fokus pada prestasi, seperti yang dilakukan Dewi Yull kepada anaknya, maka tak usah diragukan lagi Indonesia bakal menjadi bangsa yang hebat. Sebuah bangsa yang kebudayaannya hebat dan prestasinya dihormati. Sebuah bangsa yang tangguh di hadapan bangsa-bangsa lain.
Dengan begitu, air mata yang jatuh dari sudut mata Dewi Yull, bukanlah air mata pribadi sang artis, melainkan air mata yang mewakili bangsa ini, terutama para ibu Indonesia.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Air mata Dewi Yull, air mata anak bangsa