Makassar (ANTARA) - Komoditas nyamplung asal Kabupaten Kepulauan Selayar telah merambah pasar luar negeri sehingga berpotensi menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat setempat.
“Pabrik nyamplung awalnya dikembangkan untuk mendorong bahan baku nabati atau bahan baku biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil,” kata C Andriyani Prasetyawati, Peneliti Muda Balai Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Dikatakannya, pada 2011 pihaknya melakukan penelitian terhadap tanaman nyamplung yang dikenal masyarakat Selayar sebagai tanaman dongkalang.
Menurut dia, tumbuhan yang merupakan famili mangrove (bakau) juga dimanfaatkan sebagai tumbuhan pencegah abrasi.
Baca juga: Menelisik potensi tanaman nyamplung sebagai bahan baku biodiesel di Selayar
Baca juga: Peneliti : Perlu kembangkan tanaman nyamplung sebagai sumber energi alternatif
Namun dalam perkembangannya, masyarakat menjual kepada pengepul sekaligus pengolah minyak nyamplung yang digunakan sebagai obat-obatan dan kosmetika.
Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu pelaku UMKM yang mengolah tanaman nyamplung menjadi minyak nyamplung, Claude Boucher.
Ia mengatakan produksi tanaman nyamplung memiliki musim, sehingga beberapa proses baru dilakukan untuk mengirimkan minyak nyamplung ke Amerika dan Eropa rata-rata dua hingga tiga ton per tahun.
Baca juga: Peneliti : Kepulauan Selayar miliki potensi BBN sumber enegi hijau
"Harga minyak nyamplung di pasaran Rp350 ribu per liter. Sedangkan bahan bakunya kami dapatkan dari masyarakat dengan harga Rp3.000 - Rp4.000 per kilogram," ujarnya.
Hal itu dibenarkan salah satu warga Selayar Adri Taufik.
Menurutnya, dengan pembelian buah nyamplung itu menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga, terutama petani yang tidak jauh dari hutan.
“Terutama ibu rumah tangga dan anak-anak yang memanfaatkan waktu luangnya untuk memetik buah nyamplung di hutan,” ujarnya.
Tanaman nyamplung sebagai bahan baku minyak nyamplung untuk kebutuhan farmasi dan kosmetika di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Antara / Suriani Mappong
“Pabrik nyamplung awalnya dikembangkan untuk mendorong bahan baku nabati atau bahan baku biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil,” kata C Andriyani Prasetyawati, Peneliti Muda Balai Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Dikatakannya, pada 2011 pihaknya melakukan penelitian terhadap tanaman nyamplung yang dikenal masyarakat Selayar sebagai tanaman dongkalang.
Menurut dia, tumbuhan yang merupakan famili mangrove (bakau) juga dimanfaatkan sebagai tumbuhan pencegah abrasi.
Baca juga: Menelisik potensi tanaman nyamplung sebagai bahan baku biodiesel di Selayar
Baca juga: Peneliti : Perlu kembangkan tanaman nyamplung sebagai sumber energi alternatif
Namun dalam perkembangannya, masyarakat menjual kepada pengepul sekaligus pengolah minyak nyamplung yang digunakan sebagai obat-obatan dan kosmetika.
Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu pelaku UMKM yang mengolah tanaman nyamplung menjadi minyak nyamplung, Claude Boucher.
Ia mengatakan produksi tanaman nyamplung memiliki musim, sehingga beberapa proses baru dilakukan untuk mengirimkan minyak nyamplung ke Amerika dan Eropa rata-rata dua hingga tiga ton per tahun.
Baca juga: Peneliti : Kepulauan Selayar miliki potensi BBN sumber enegi hijau
"Harga minyak nyamplung di pasaran Rp350 ribu per liter. Sedangkan bahan bakunya kami dapatkan dari masyarakat dengan harga Rp3.000 - Rp4.000 per kilogram," ujarnya.
Hal itu dibenarkan salah satu warga Selayar Adri Taufik.
Menurutnya, dengan pembelian buah nyamplung itu menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga, terutama petani yang tidak jauh dari hutan.
“Terutama ibu rumah tangga dan anak-anak yang memanfaatkan waktu luangnya untuk memetik buah nyamplung di hutan,” ujarnya.