Makassar (ANTARA) - Sepintas jika melihat daun dari tanaman nyamplung dan mangrove kurang lebih sama, namun jika diamati lebih seksama, terdapat perbedaan yang esensial dari kedua jenis tanaman ini, meskipun keduanya memiliki peranan yang sama yakni mendukung konservasi kawasan pesisir.
Tanaman yang dikenal dengan nama nyamplung di Pulau Jawa, namun di Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan dinamakan "Dongkalang" ini memiliki nama latin Calophyllum inophyllum.
Awalnya tanaman nyamplung tumbuh liar di hutan dan buahnya yang jatuh ke tanah tidak dihiraukan. Hanya batangnya yang berkayu dan ketinggiannya yang dapat mencapai 25 meter dengan diameter 150 centimeter menjadi incaran untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan perahu tradisional Phinisi, ataupun untuk bahan rumah panggung khas Sulsel.
Namun ketika 2007 pemerintah mulai menggencarkan program Desa Mandiri Energi (DME) dengan menyasar desa terpencil dan pulau-pulau terluar yang kerap kesulitan memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dari energi fosil, maka potensi daerah digali untuk mendapat sumber energi alternatif.
Upaya tersebut diawali dengan bantuan Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) yang turun ke lapangan untuk menemukan sumber energi alternatif.
Salah satunya dengan meneliti populasi tanaman nyamplung di delapan pulau di Indonesia, termasuk Pulau Selayar dalam teritori Sulsel yang dilakukan Peneliti Senior dari Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) Prof Budi Leskono dan timnya pada 2010.
Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan jika Kepulauan Selayar memiliki potensi besar untuk mengelola dan mengembangkan tanaman nyamplung sebagai sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) biodiesel.
Apalagi, lanjut Budi, pemanfaatan biji nyamplung, termasuk kegunaan limbahnya hingga teknik budidayanya sudah diketahui dan dapat dikembangkan oleh masyarakat.
Namun untuk budidaya tanaman tersebut, diakui, belum ada benih unggul dengan produktivitas tinggi yang bakal mendorong keberlanjutan pasokan untuk industri pengolahan biji nyamplung.
Hal itu juga diakui Peneliti Muda bari Balai Besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar C Andriyani Prasetyawati.
Menurut dia, selama dua tahun melakukan penelitian tanaman nyamplung di Kepulauan Selayar, topografi daerah itu sangat cocok untuk pengembangan tanaman nyamplung.
Dengan dua peranan dari tanaman nyamplung itu yakni untuk mendukung konservasi kawasan pesisir dan program DME di Kabupaten Kepulauan Selayar, Andriyani meyakini, potensi nyamplung di bumi berjulukan "Tanah Doang" itu dapat dikembangkan secara optimal dengan dukungan para pihak yang berkompeten.
Apalagi pada 2010 pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membangunkan pabrik pengolahan biji nyamplung menjadi minyak biodiesel. Kemudian melakukan pendampingan pada warga maupun operator mesin pengolahan selama setahun.
Namun perencanaan tak selamanya sesuai dengan implementasi program di lapangan. Setelah pabrik pengolahan biji nyamplung dibangun tak jauh dari pusat ibukota kabupaten yakni Kota Benteng, produksi minyak nyamplung tidak optimal.
Menurut operator pabrik, Misbahuddin, itu terjadi karena pasokan bahan baku biji nyamplung tidak dapat memenuhi target pabrik pengolahan biji nyamplung berkapasitas produksi 250 liter per hari.
Kalaupun mau dipaksakan untuk beroperasi, lanjut dia, biaya produksi jauh lebih mahal dibandingkan dengan hasil produksi yang nota bene berpengaruh pada harga jual minyak nyamplung dalam bentuk biodiesel.
Sementara ketika itu, harga BBM solar di lapangan hanya Rp4.500 per liter dan harga biodiesel dari minyak nyamplung dapat mencapai dua kali lipat dari harga solar, sehingga akan jatuh pasaran.
Kemudian dari sisi petani yang mencari biji nyamplung di hutan, ungkap warga Selayar Adri Taufik, harga jual biji nyamplung hanya Rp1.000 per kilogram dibeli oleh pabrik pengolahan biodiesel.
Sementara warga negara Prancis yang datang ke Selayar membeli biji nyamplung dengan harga lebih tinggi, menyebabkan petani lebih cenderung menjual biji nyamplung yang diperoleh di hutan untuk dijual ke Mr Claude Boucher yang juga memiliki mesin pengolahan biji nyamplung.
Kondisi itulah menjadi pemicu mandeknya operasional pabrik pengolahan biji nyamplung yang dikelola warga setempat yang awalnya untuk mendukung program DME.
Peralihan fungsi
Kepala Badan Litbang Departemen Kehutanan Syahrir Fathoni saat berkunjung di Makassar sebelum pembangunan pabrik pengolahan biji nyamplung di Selayar menyebutkan, potensi tanaman nyamplung di Sulsel sangat besar.
Hal ini sejalan dengan data persebaran luas dan produksi biji tanaman nyamplung yang dilansir Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Selayar pada 2010 yakni 1.742 hektare yang tersebar di tujuh desa di tiga kecamatan ibukota kabupaten.
Ketiga kecamatan itu adalah Kecamatan Bontosikuyu, Bontoharu dan Bontomanai. Tanaman nyamplung di tiga kecamatan itu berada pada garda kedua setelah tanaman mangrove yang langsung berhadapan dengan pesisir pantai.
Ketiga kecamatan itulah yang menjadi lokasi bahan baku produksi minyak nyamplung yang semula diperuntukkan untuk BBN atau biofuel, namun seiring dengan perkembangan di lapangan beralih ke minyak nabati untuk bahan kosmetik dan farmasi.
Minyak nyamplung ini dikembangkan warga negara Prancis yang sudah berdomisili kurang lebih 10 tahun di Pulau Selayar, sekaligus mengelola Quina Beach Resort bersama isterinya yang merupakan warga Sulsel.
Dia mengatakan, dari produksi minyak nyamplung yang sudah ersertifikasi organik tersebut, umumnya diekspor ke Amerika dan Eropa dengan volume dua ton hingga tiga ton per tahun.
Untuk memproduksi minyak nyamplung, diakui tergantung musim panen biji nyamplung sekitar bulan Juli hingga Oktober. Begitu pula untuk memproduksi minyak kemiri disesuaikan musimnya yakni pada Oktober hingga Desember.
Menurut dia, potensi nyamplung di Selayar sebenarnya sangat besar, namun masyarakat belum optimal mengelolanya. Selama ini, petani hanya memungut buah nyamplung dari tanaman yang tumbuh liar di hutan.
Padahal jika lebih serius dikelola, pendapatan masyarakat jauh lebih baik daripada kondisi saat ini dengan harga beli bahan baku Rp3.000 - Rp4.000 per kg.
Sementara harga pasaran minyak nyamplung di lapangan Rp350 ribu per liter. Sungguh menjadi komoditi yang menjanjikan dan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani pengumpul biji nyamplung.
Kini tinggal menunggu keseriusan dan dukungan pemerintah setempat untuk membantu mengembangkan nyamplung sebagai komoditi andalan.
Termasuk memberi kesempatan bagi pihak swasta untuk membantu mengelola biji nyamplung, sekaligus memberdayakan warga setempat dengan menyerapnya sebagai tenaga kerja.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Andi Parenrengi mengatakan, pihaknya senantiasa mendukung upaya pengembangan tanaman jenis hutan seperti magrove ataupun nyamplung.
Namun karena masa pandemi COVID-19, terpaksa semua hal dikondisikan di lapangan, termasuk dari segi penganggaran dilakukan refocusing untuk membantu pemerintah mempercepat penanggulangan COVID-19.
Semoga ke depan, segala kendala dan rintangan dalam pengembangan nyamplung di Kabupaten Kepulauan Selayar dapat teratasi. Tentunya dengan kolaborasi pihak pemerintah, swasta dan masyarakat akan menjadi kekuatan tersendiri untuk mendukung penerapan energi hijau yang sudah menjadi tuntutan dunia internasional.