Makassar (ANTARA News) - Air adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Namun mendapatkan air bersih masih menjadi impian besar bagi "orang pinggiran" di Kota Metropolitan Makassar.

Salah satu komunitas "orang pinggiran" adalah warga Desa Kera-Kera di Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.

Di lokasi yang mayoritas warganya adalah buruh, petani dan wiraswasta itu hanya mengandalkan air sumur. Namun pada musim kemarau, rata-rata sumur warga krisis air.

"Jadi, kami terpaksa mengambil air sumur di kawasan Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar," kata salah seorang warga Desa Kera-Kera Salma Sharonk.

Menurut dia, sebenarnya warga pernah dengan suka cita menyambut proyek pengadaan air bersih nasional yang merupakan program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).

Namun kemudian, proyek yang dibangun awal 2000 dengan nilai yang mencapai miliaran rupiah itu, lanjut dia, membuat warga kecewa.

"Pada musim kemarau, tak ada setetes air pun yang mengalir pada pipa-pipa yang sudah disiapkan untuk sarana mandi, cuci dan kakus (MCK)," katanya.

Kini umur proyek itu sudah mencapai 10 tahun, namun belum dirasakan manfaatnya bagi masyarakat setempat. Padahal dana pendamping untuk proyek Pamsimas di Makassar, dianggarkan setiap tahun pada APBD Kota Makassar.

Khusus 2011, anggaran pendamping Program Pamsimas di Makassar mencapai Rp176 juta melalui Dinas Pekerjaan Umum.

Dana tersebut merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan di Kota Makassar. Sementara program lainnya yang menjadi program unggulan Pemkot Makassar adalah pelayanan kesehatan gratis dan subsidi penuh pada siswa SD dan SMP serta sekolah sederajat.

Berbeda dengan permasalahan yang dihadapi warga Kera-Kera, "orang pinggiran" lainnya yang beraktivitas di pesisir Pantai Losari dan Sungai Tallo justeru harus berhadapan dengan pencemaran air.

"Sekarang ikan di Sungai Tallo sudah berkurang, kalaupun ada ikannya itu kecil-kecil, mungkin karena banyak pabrik membuang limbah sehingga ikannya tidak bisa berkembang," kata salah seorang nelayan di Makassar, Nurdin.

Menurut warga pesisir di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Makassar ini, nelayan tidak bisa berbuat banyak untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik dan jumlahnya banyak.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup setempat diketahui, terdapat enam perusahaan yang beroperasi di Makassar yang diduga melakukan pencemaran membuang limbah cair serta bahan berbahaya dan beracun (B3) di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Tallo.

Akibatnya, bukan hanya ikan yang berkurang, tetapi kualitas air pun sudah keruh dan berwarna kekuning-kuningan tidak lagi seperti dulu berwarna bening kebiru-biruan.

Dari hasil analisa KLH di Makassar, limbah tersebut dibuang tanpa melalui proses pengolahan oleh enam perusahaan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tallo, PT IA, PT ST, PT MT, PT KTC dan RS IS.

Menanggapi hal tersebut, aktivis lingkungan dari Jurnal Celebes Mustam Arif mengatakan, pemerintah atau pihak yang berkompeten harus berani bertindak.

"Pengambil kebijakan harus bersikap tegas terhadap para pelaku pencemaran lingkungan, jangan hanya diselesaikan dengan kompromi-kompromi," katanya.

Alasannya, karena persoalan kebersihan lingkungan yang terkait dengan air bersih adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Dia mengatakan, air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia yang senantiasa dicari. Tak heran, jika orang rela merogoh kocek untuk membeli air bersih.

Namun bagaimana halnya dengan "orang pinggiran" yang serba terbatas untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk membeli beras dan air bersih.


Anggaran Besar



Untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Kota Makassar yang berjumlah sekitar 1,4 juta jiwa, Wali Kota Makassar H Ilham Arif Sirajuddin mengakui membutuhkan anggaran besar.

"Ini membutuhkan anggaran yang cukup besar yakni antara Rp80 miliar - Rp100 miliar," kata Ilham.

Dia mengatakan, sarana dan prasarana air bersih yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar masih terbatas.

Sebagai gambaran, untuk mengatasi krisis air di Makassar, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengalirkan air dari Bendungan Bili-bili atau Sungai Jeneberang, Kabupaten Gowa menuju Instalasi Penjernihan Air (IPA) 2 Leko Paccing, Kabupaten Maros.

Sementara dari segi perangkat teknologi, lanjut dia, belum ada penunjangnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemkot Makassar terus berupaya mencari investor yang dapat bekerja sama dengan PDAM Makassar, selain mengajukan bantuan dana dari pemerintah pusat untuk pemenuhan air bersih di kota "anging mammiri" ini.

Berdasarkan data PDAM Makassar diketahui, jumlah pelanggan PDAM sebanyak 152.000 rumah tangga.
Sementara total rumah tangga di Makassar sesuai data BPS Kota Makassar sekitar 234.023 KK.

Dari jumlah tersebut jumlah kepala keluarga miskin yang mayoritas "orang pinggiran" di Kota Makassar mencapai 62.192 KK atau sekitar 25 persen.

Mencermati fenomena itu, wajarlah jika air bersih masih menjadi impian bagi "orang pinggiran" yang berada dalam serba kekurangan. Sementara bagi yang lebih mampu, biasanya kuang menyadari untuk memanfaatkan air bersih dengan efisien.

Mencuci mobil dan menyiram tanaman menggunakan air bersih produk PDAM, dianggap hal biasa dengan alasan air yang dipakai mampu dibayar berapapun harganya. Padahal di sisi lain, masih ribuan keluarga yang menunggu akses untuk memperoleh air bersih. (T.S036/Z002)

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024