Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP secara maksimum diperlukan untuk mendukung penetrasi listrik intermitten dari surya dan angin.
"Pengembangannya secara maksimum di masa depan diperlukan untuk mendukung penetrasi pembangkit listrik tenaga intermitten PLTS dan PLTB yang akan menjadi penopang transisi energi menuju net zero emmision," ujarnya dalam diskusi terkait potensi geotermal di Jakarta, Kamis.
Panas bumi merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia karena terletak di zona cicin api atau ring of fire, sehingga mampu menghasilkan listrik secara terus menerus dan menjadi pasangan untuk energi surya maupun angin yang hanya bisa menghasilkan listrik saat ada matahari atau saat angin bertiup.
Kapasitas terpasang setrum magma di Indonesia tercatat sebesar 2.384,9 megawatt atau sekitar 10 persen dari total sumber daya yang mencapai 24 ribu megawatt. Kapasitas ini merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
"Listrik panas bumi merupakan pembangkit beban dasar yang bisa terus menerus (menghasilkan listrik), jadi sangat berbeda dengan energi surya yang intermitten (tidak terus menerus) ataupun energi angin," ujar Herman.
Lebih lanjut Herman mengungkapkan bahwa rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia hanya sebesar 60 megawatt per tahun. Sedangkan rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang listrik panas bumi di dunia hanya sebesar 200 megawatt per tahun.
Dana Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik Perusahaan Listrik Negara yang baru diterbitkan menetapkan target pencapaian pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 5.474 megawatt di tahun 2030.
"Pengembangan PLTP sekarang ini masih lambat di antaranya disebabkan oleh kebijakan harga yang menurut pengembang kurang menarik. Namun, kalau dinaikkan harganya menjadi beban bagi pemerintah dan PLN," jelas Herman.
"Dengan perkiraan konsumsi listrik nasional yang akan mencapai 2.000-an TWh pada 2050, peran maksimal pembangkit listrik panas bumi diperkirakan hanya akan sekitar 10 persen dari kebutuhan," tambahnya.
"Pengembangannya secara maksimum di masa depan diperlukan untuk mendukung penetrasi pembangkit listrik tenaga intermitten PLTS dan PLTB yang akan menjadi penopang transisi energi menuju net zero emmision," ujarnya dalam diskusi terkait potensi geotermal di Jakarta, Kamis.
Panas bumi merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia karena terletak di zona cicin api atau ring of fire, sehingga mampu menghasilkan listrik secara terus menerus dan menjadi pasangan untuk energi surya maupun angin yang hanya bisa menghasilkan listrik saat ada matahari atau saat angin bertiup.
Kapasitas terpasang setrum magma di Indonesia tercatat sebesar 2.384,9 megawatt atau sekitar 10 persen dari total sumber daya yang mencapai 24 ribu megawatt. Kapasitas ini merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
"Listrik panas bumi merupakan pembangkit beban dasar yang bisa terus menerus (menghasilkan listrik), jadi sangat berbeda dengan energi surya yang intermitten (tidak terus menerus) ataupun energi angin," ujar Herman.
Lebih lanjut Herman mengungkapkan bahwa rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia hanya sebesar 60 megawatt per tahun. Sedangkan rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang listrik panas bumi di dunia hanya sebesar 200 megawatt per tahun.
Dana Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik Perusahaan Listrik Negara yang baru diterbitkan menetapkan target pencapaian pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 5.474 megawatt di tahun 2030.
"Pengembangan PLTP sekarang ini masih lambat di antaranya disebabkan oleh kebijakan harga yang menurut pengembang kurang menarik. Namun, kalau dinaikkan harganya menjadi beban bagi pemerintah dan PLN," jelas Herman.
"Dengan perkiraan konsumsi listrik nasional yang akan mencapai 2.000-an TWh pada 2050, peran maksimal pembangkit listrik panas bumi diperkirakan hanya akan sekitar 10 persen dari kebutuhan," tambahnya.