Makassar (ANTARA) - Epidemiolog asal Universitas Hasanuddin Prof Ridwan Amiruddin mengemukakan bahwa dibutuhkan pertahanan berlapis menghadapi COVID-19, varian Omicron.
"Melawan COVID-19 ini harus dengan pertahanan berlapis, jadi pertahanannya itu meskipun seseorang sudah mendapatkan vaksin 1 dan 2, dia harus melanjutkan ke boosternya," ujarnya di Makassar, Rabu.
Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas itu, cakupan vaksinasi Sulsel harus terus ditingkatkan, termasuk memperpendek jarak cakupan vaksin dosis 1 dan 2.
Guna mendapatkan efektivitas vaksin, vaksinasi dosis 2 yang baru di angka 50 persen lebih harus ditingkatkan ke angka 70 persen.
Setelah semua itu dijalankan, tidak berarti masyarakat harus meninggalkan masker, sebab upaya terbaik dalam menangkal virus COVID-19 ialah pencegahan dengan menggunakan masker, jaga jarak, hindari kerumunan, mencuci tangan.
Baca juga: Wawali Makassar rakor percepatan vaksin antisipasi lonjakan Omicron
Baca juga: Kapolri paparkan tiga strategi khusus hadapi lonjakan COVID-19 varian Omicron
"Ini adalah tanggung jawab publik atau masyarakat dan harus digalakkan," kata Prof Ridwan menegaskan.
Sementara pada tanggung jawab pemerintah ialah meningkatkan tracing, testing dan treatment.
Kata Prof Ridwan, itu yang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan meningkatnya kasus, tentu harus mempersiapkan rumah sakit untuk menerima pasien yang kemungkinan akan mengalami lonjakan pada 2-3 pekan ke depan.
Baca juga: Sulsel siapkan 1.700 kamar isolasi untuk antisipasi penyebaran Omicron
Pada bulan lalu, kasus COVID-19 di Sulsel masih di bawah 10 orang, sementara pada pekan ini, kenaikan kasus sangat signifikan, bahkan sudah menyentuh angka 275 kasus. Dengan kenaikan kasus itu, maka terjadi pergerakan tingkat penularan yang sebelumnya di bawah 5 persen, sekarang naik di atas 10, 4 persen.
"Konsekuensinya tentu akan terjadi peningkatan jumlah kasus, bahkan sekarang tempat isolasi sudah mulai terisi, bangsal rumah sakit juga sudah mulai terisi, dan itu berdampak pada banyaknya pejabat publik kita yang terpapar sekarang ini," urai Prof Ridwan.
Hal itu, lanjutnya, disebabkan oleh adanya kecenderungan lemahnya protokol kesehatan itu dan cakupan vaksin yang berjarak antara cakupan dosis 1 dan 2.
"Ada banyak kendala, pertama dari sisi kurang percayanya masyarakat kepada vaksin itu sendiri, ketakutan terhadap jarum suntik, kemudian keyakinan lainnya," ujarnya.
"Melawan COVID-19 ini harus dengan pertahanan berlapis, jadi pertahanannya itu meskipun seseorang sudah mendapatkan vaksin 1 dan 2, dia harus melanjutkan ke boosternya," ujarnya di Makassar, Rabu.
Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas itu, cakupan vaksinasi Sulsel harus terus ditingkatkan, termasuk memperpendek jarak cakupan vaksin dosis 1 dan 2.
Guna mendapatkan efektivitas vaksin, vaksinasi dosis 2 yang baru di angka 50 persen lebih harus ditingkatkan ke angka 70 persen.
Setelah semua itu dijalankan, tidak berarti masyarakat harus meninggalkan masker, sebab upaya terbaik dalam menangkal virus COVID-19 ialah pencegahan dengan menggunakan masker, jaga jarak, hindari kerumunan, mencuci tangan.
Baca juga: Wawali Makassar rakor percepatan vaksin antisipasi lonjakan Omicron
Baca juga: Kapolri paparkan tiga strategi khusus hadapi lonjakan COVID-19 varian Omicron
"Ini adalah tanggung jawab publik atau masyarakat dan harus digalakkan," kata Prof Ridwan menegaskan.
Sementara pada tanggung jawab pemerintah ialah meningkatkan tracing, testing dan treatment.
Kata Prof Ridwan, itu yang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan meningkatnya kasus, tentu harus mempersiapkan rumah sakit untuk menerima pasien yang kemungkinan akan mengalami lonjakan pada 2-3 pekan ke depan.
Baca juga: Sulsel siapkan 1.700 kamar isolasi untuk antisipasi penyebaran Omicron
Pada bulan lalu, kasus COVID-19 di Sulsel masih di bawah 10 orang, sementara pada pekan ini, kenaikan kasus sangat signifikan, bahkan sudah menyentuh angka 275 kasus. Dengan kenaikan kasus itu, maka terjadi pergerakan tingkat penularan yang sebelumnya di bawah 5 persen, sekarang naik di atas 10, 4 persen.
"Konsekuensinya tentu akan terjadi peningkatan jumlah kasus, bahkan sekarang tempat isolasi sudah mulai terisi, bangsal rumah sakit juga sudah mulai terisi, dan itu berdampak pada banyaknya pejabat publik kita yang terpapar sekarang ini," urai Prof Ridwan.
Hal itu, lanjutnya, disebabkan oleh adanya kecenderungan lemahnya protokol kesehatan itu dan cakupan vaksin yang berjarak antara cakupan dosis 1 dan 2.
"Ada banyak kendala, pertama dari sisi kurang percayanya masyarakat kepada vaksin itu sendiri, ketakutan terhadap jarum suntik, kemudian keyakinan lainnya," ujarnya.