Jakarta (ANTARA) - Kementerian Agama menyatakan penerbitan Surat Edaran Menteri Agama 05/2022 perihal Pedoman Pengeras Suara di masjid/mushala untuk menyeimbangkan antara syiar keagamaan dan merawat persaudaraan serta keharmonisan di tengah masyarakat yang heterogen.
"Bagaimana menjadikan masjid sebagai pusat syiar agama tapi di sisi lain kita juga merawat kebhinekaan dan menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keharmonisan," ujar Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag, Adib, dalam diskusi yang diikuti secara virtual dari Jakarta, Selasa.
Adib mengatakan aturan soal pedoman pengeras suara sebenarnya sudah ada pada 1978, saat itu yang mengeluarkan pedoman pengeras suara yakni Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Sementara SE 05/2022 yang baru diterbitkan ini akan menjadi penguat dari aturan sebelumnya.
Selain Bimas Islam Kemenag, Menteri Negara Lingkungan Hidup (saat ini menjadi KLHK) mengatur soal tingkat kebisingan pada 1996 di antaranya tempat ibadah dengan maksimal 55 desibel. Sementara dalam SE 05/2022 maksimal suara yang dikeluarkan masjid atau musala sebesar 100 desibel.
"Sebenarnya sudah ada berupa edaran Direktorat Jenderal Bimas Islam tapi sudah sangat lama diatur dan saat ini sangat relevan diperkuat aturan tersebut agar jadi pedoman bagi kita semua," kata dia.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.
Tapi di sisi lain, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya demi merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Adapun pedoman penggunaan pengeras suara tersebut di antaranya mengatur pemasangan pengeras suara yang mesti dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid/mushala.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam mengapresiasi terbitnya Surat Edaran Nomor 05/2022 soal pedoman penggunaan pengeras suara di masjid atau mushala karena sesuai dengan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dilaksanakan pada 2021.
Asrorun mengatakan dalam pelaksanaan ibadah, ada jenis ibadah yang memiliki dimensi syiar, sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk adzan. Tapi dalam pelaksanaannya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat. Maksudnya, jamaah dapat mendengar syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah (menimbulkan kerugian bagi orang lain).
"Karenanya, perlu aturan yang disepakati sebagai pedoman bersama, khususnya terkait penggunaan pengeras suara di tempat ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjamin ketertiban serta mencegah mafsadah yang ditimbulkan," kata dia.
"Bagaimana menjadikan masjid sebagai pusat syiar agama tapi di sisi lain kita juga merawat kebhinekaan dan menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keharmonisan," ujar Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag, Adib, dalam diskusi yang diikuti secara virtual dari Jakarta, Selasa.
Adib mengatakan aturan soal pedoman pengeras suara sebenarnya sudah ada pada 1978, saat itu yang mengeluarkan pedoman pengeras suara yakni Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Sementara SE 05/2022 yang baru diterbitkan ini akan menjadi penguat dari aturan sebelumnya.
Selain Bimas Islam Kemenag, Menteri Negara Lingkungan Hidup (saat ini menjadi KLHK) mengatur soal tingkat kebisingan pada 1996 di antaranya tempat ibadah dengan maksimal 55 desibel. Sementara dalam SE 05/2022 maksimal suara yang dikeluarkan masjid atau musala sebesar 100 desibel.
"Sebenarnya sudah ada berupa edaran Direktorat Jenderal Bimas Islam tapi sudah sangat lama diatur dan saat ini sangat relevan diperkuat aturan tersebut agar jadi pedoman bagi kita semua," kata dia.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.
Tapi di sisi lain, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya demi merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Adapun pedoman penggunaan pengeras suara tersebut di antaranya mengatur pemasangan pengeras suara yang mesti dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid/mushala.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam mengapresiasi terbitnya Surat Edaran Nomor 05/2022 soal pedoman penggunaan pengeras suara di masjid atau mushala karena sesuai dengan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dilaksanakan pada 2021.
Asrorun mengatakan dalam pelaksanaan ibadah, ada jenis ibadah yang memiliki dimensi syiar, sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk adzan. Tapi dalam pelaksanaannya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat. Maksudnya, jamaah dapat mendengar syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah (menimbulkan kerugian bagi orang lain).
"Karenanya, perlu aturan yang disepakati sebagai pedoman bersama, khususnya terkait penggunaan pengeras suara di tempat ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjamin ketertiban serta mencegah mafsadah yang ditimbulkan," kata dia.