Jakarta (ANTARA) - Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama menyebutkan, virus penyebab COVID-19 akan selalu ada dan terus bermutasi ke varian-varian lain di masa yang akan datang.
"Sebelum pandemi COVID-19, sebelumnya ada pandemi influenza H1N1. Pandemi itu sudah selesai tapi virusnya masih ada di masyarakat. Dari 2010 sampai sekarang 2022,virus H1N1 masih ada. Dan itu juga bisa terjadi pada COVID-19," kata Tjandra dalam sebuah webinar pada Kamis.
Mutasi akan menyebabkan virus menjadi lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya sehingga laju penularan menjadi lebih cepat. Hal ini, terjadi pada varian Omicron dan Delta.
Oleh karena itu, Tjandra mengatakan, COVID-19 harus tetap diwaspadai meskipun jumlah kematian akibat Omicron lebih rendah dari varian Delta dan gejala yang ditimbulkan tidak separah varian sebelumnya.
Sebagai informasi, tingkat kematian COVID-19 pada gelombang varian Delta dapat mencapai 2.500 per hari, sedangkan pada varian Omicron, tingkat kematian jauh lebih rendah yakni di angka 180.
"Meski jumlah kematian lebih rendah, tetap ada korban jiwa. Tentu saja kita harus menyadari bahwa warga yang meninggal tidak semata-mata angka, satu nyawa saja berharga," ujat Tjandra yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI.
Untuk itu, menurut Tjandra, perlu adanya upaya yang maksimal dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adaptif dengan keadaan dan mempertimbangkan saran-saran para ahli sehingga dapat mengendalikan laju penularan.
"Kita sangat setuju bahwa tingkat keterisian rumah sakit juga jauh lebih rendah sekarang. Mumpung rendah, bagaimana kalau orang yang gejala ringan tapi ada potensi menjadi gejala berat itu dirawat di rumah sakit." usul Tjandra.
"Tapi kalau tingkat keterisiannya sudah tinggi, maka tentu hal itu bisa ditinjau kembali," lanjut dia.
Selain itu, Tjandra juga mengatakan perlu ada kewaspadaan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi lain di masa yang akan datang.
"Kalau nanti pandeminya membaik, maka kewaspadaan tetap harus dijaga. Baik untuk menangani COVID-19 atau menghadapi kemungkinan pandemi berikutnya," ujar Tjandra.
"Sebelum pandemi COVID-19, sebelumnya ada pandemi influenza H1N1. Pandemi itu sudah selesai tapi virusnya masih ada di masyarakat. Dari 2010 sampai sekarang 2022,virus H1N1 masih ada. Dan itu juga bisa terjadi pada COVID-19," kata Tjandra dalam sebuah webinar pada Kamis.
Mutasi akan menyebabkan virus menjadi lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya sehingga laju penularan menjadi lebih cepat. Hal ini, terjadi pada varian Omicron dan Delta.
Oleh karena itu, Tjandra mengatakan, COVID-19 harus tetap diwaspadai meskipun jumlah kematian akibat Omicron lebih rendah dari varian Delta dan gejala yang ditimbulkan tidak separah varian sebelumnya.
Sebagai informasi, tingkat kematian COVID-19 pada gelombang varian Delta dapat mencapai 2.500 per hari, sedangkan pada varian Omicron, tingkat kematian jauh lebih rendah yakni di angka 180.
"Meski jumlah kematian lebih rendah, tetap ada korban jiwa. Tentu saja kita harus menyadari bahwa warga yang meninggal tidak semata-mata angka, satu nyawa saja berharga," ujat Tjandra yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI.
Untuk itu, menurut Tjandra, perlu adanya upaya yang maksimal dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adaptif dengan keadaan dan mempertimbangkan saran-saran para ahli sehingga dapat mengendalikan laju penularan.
"Kita sangat setuju bahwa tingkat keterisian rumah sakit juga jauh lebih rendah sekarang. Mumpung rendah, bagaimana kalau orang yang gejala ringan tapi ada potensi menjadi gejala berat itu dirawat di rumah sakit." usul Tjandra.
"Tapi kalau tingkat keterisiannya sudah tinggi, maka tentu hal itu bisa ditinjau kembali," lanjut dia.
Selain itu, Tjandra juga mengatakan perlu ada kewaspadaan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi lain di masa yang akan datang.
"Kalau nanti pandeminya membaik, maka kewaspadaan tetap harus dijaga. Baik untuk menangani COVID-19 atau menghadapi kemungkinan pandemi berikutnya," ujar Tjandra.