Makassar (ANTARA News) - Bencana alam ketika datang tak ada yang kuasa menolak, namun manusia diberi akal untuk dapat membaca tanda-tanda alam agar dapat menghindari bencana itu.

"Bencana alam memang ketika datang tidak dapat dihindari, namun kita masih bisa mengurangi risiko bencana tersebut, jika memiliki kontigensi bencana," kata Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif di Makassar, Minggu.

Hanya saja menurut aktivis lingkungan ini, pemerintah daerah belum serius mengantisipasi bencana alam, terbukti di Sulsel masih terdapat 23 kabupaten/kota yang belum memiliki kontigensi bencana.

Dia mengatakan, dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel), baru Kabupaten Maros yang memiliki kontigensi bencana, padahal setiap daerah penting memiliki kontigensi bencana, karena tak ada satu wilayah di bumi ini yang diprediksi aman dari bencana.

"Bencana sewaktu-waktu dapat terjadi, kapan dan dimana saja, tanpa diketahui, meksipun sudah berkembang teknologi untuk mendeteksi bencana alam," katanya.

Karena itu, lanjut dia, pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan di wilayah setempat, sangatlah penting memiliki kontigensi bencana.

Dengan kontigensi bencana tersebut, selain dapat menujukkan peta lokasi yang rawan bencana, juga memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan sebelum dan saat terjadi bencana, bahkan pascabencana.

"Melalui kontigensi itu pula akan memberikan informasi nomor telepon atau pihak yang dapat dihubungi ketika ada tanda-tanda bencana akan terjadi," ujarnya.

Namun fenomena di lapangan, pemerintah daerah baru bergerak pascabencana, padahal yang lebih utama sebenarnya adalah mengantisipasi bencana dan meminimalkan korban bencana.

Berkaitan dengan hal tersebut, dia mengahrapkan, agar pemerintah terkait khususnya yang memiliki hirarki lebih tinggi untuk dapat bersikap tegas pada pemerintah dibawahnya yang belum memiliki kontigensi bencana, bahkan belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sama sekali.

Berdasarkan data BPBD Sulsel diketahui, saat ini masih ada empat daerah yang belum memiliki BPBD yakni Kabupaten Tana Toraja, Soppeng, Jeneponto dan Kota Parepare.

Hal tersebut diakui Kepala BPBD Sulsel Andi Mappagio.

Menurut dia, keempat daerah itu terus didorong untuk membentuk BPBD, sehingga memudahkan koordinasi dan pengalokasian dana penanggulangan bencana.

Di sisi lain, lanjut dia, BPBD bertugas membuat rencana kontigensi bencana untuk mengantisipasi jatuh korban dalam jumlah yang banyak pada saat terjadi bencana.

Dia mengatakan, kontigensi bencana akan menjadi panduan dan peta di setiap daerah, termasuk informasi nomor-nomor telepon penting (hotline) yang dapat dihubungi pada saat terjadi bencana.

"Juga didalamnya terdapat informasi mengenai di lokasi mana harus mengungsi pada saat terjadi bencana," katanya.

Untuk mendukung penanganan penanggulangan bencana, Pemprov Sulsel bekerja sama dengan pemerintah daerah mendorong adanya tim Tagana yang merupakan organisasi sosial yang bergerak di bidang penanggulangan bencana sosial yang berbasiskan masyarakat.

Melalui Tagana itu merupakan upaya untuk memberdayakan generasi muda dalam berbagai aspek penanggulangan bencana, khususnya yang berbasis masyarakat.

Anggaran Terbatas


Sudah menjadi bahasa klise jika anggaran penanggulangan bencana di setiap daerah terbatas yang kemudian berpengaruh pada faktor sumber daya manusia yang bertugas menangani persoalan bencana.

Menurut Wakil Gubernur Sulsel H Agus Arifin Nu'mang, Sulsel memperoleh dana penanggulangan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar Rp70 miliar pada 2012 yang diperuntukkan tujuh kabupaten/kota dari 24 kabupaten/kota di daerah ini.

Ketujuh kabupaten/kota yang menerima alokasi anggaran penanggulangan bencana itu sesuai usulan pemprov dan pemkab adalah Kabupaten Maros, Pinrang, Bantaeng, Selayar, Toraja Utara dan Kota Parepare.

Dari fenomena itu menunjukkan masih lebih banyak daerah yang tidak mendapatkan alokasi anggaran penanggulangan bencana, padahal bencana dapat saja terjadi di wilayah yang tidak mendapatkan anggaran.

"Karena itu, pemerintah kabupaten/kota lainnya diharapkan lebih proaktif untuk melakukan pengusulan pada tahun-tahun berikutnya," kata Agus.

Menurut dia, anggaran tersebut sebagian besar digunakan untuk penanganan bencana banjir.

Berdasarkan data BPBD Sulsel diketahui, pada Januari - Oktober 2011 terdapat 128 laporan bencana alam yang didominasi oleh laporan bencana banjir dan bencana sosial seperti kebakaran.

Sementara dari total laporan bencana tersebut, terdapat delapan kabupaten/kota yang mengajukan proposal rehabilitasi dan rekonstruksi diantaranya adalah Kabupaten Takalar, Wajo dan Barru dengan total dana yang disalurkan mencapai Rp98 miliar.

Khusus anggaran penanggulangan bencana di Kota Makassar, Kepala Dinas Sosial Makassar H Ibrahim Saleh mengatakan, rata-rata per tahun mengalokasikan anggaran Rp500 juta dari APBD Kota Makassar.

"Namun itu bisa bertambah sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga biasanya diusulkan penambahan anggaran pada APBD perubahan," katanya.

Anggaran penanggulangan bencana alam itu, 70 persen untuk penanganan banjir dan kebakaran yang terjadi di 14 kecamatan di Makassar.

Mencermati fenomena keterbatasan anggaran, maupun pemerintah daerah yang kurang peduli membentuk BPBD, Mustam mengatakan, penanggulangan bencana membutuhkan dukungan serius bukan hanya dari pemerintah namun juga masyarakat.

"Peran aktif pemerintah dan masyarakat harus bersinergi satu sama lain, sehingga penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama," katanya.

Dengan demikian, ke depan tidak ada lagi istilah "tiba masa tiba akal" yang artinya pada saat terjadi bencana baru sibuk mencari solusi. Tetapi hendaknya menerapkan pepatah "sediakan payung sebelum hujan". (T.S036/Z002) 



Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024