Palu (ANTARA News) - Investasi kayu jabon di Sulawesi Tengah (Sulteng) saat ini menggiurkan sejumlah pengusaha di bidang perkebunan karena masa tanam relatif singkat, pasaran jelas dan cocok dengan kondisi iklim di daerah tersebut.

"Saya sekarang sedang membudidayakan bibit jabon merah sebanyak 500 ribu pohon di Kabupaten Sigi," kata salah seorang pengusaha jabon merah, Ichlas Sampole di Palu, Sulteng, Senin.

Menurut Ichlas, dari 500 ribu bibit ini telah dipindahkan ke lokasi perkebunan rakyat sekitar 200 ribu pohon.

Untuk mengembangkan perkebunan jabon, dirinya menggandeng petani di daerah setempat sebagai mitra dengan sistem bagi hasil.

"Kami membentuk kelompok tani yang sekarang jumlahnya mencapai 1.000 orang. Satu kelompok tani 20 orang. Setiap kelompok tani menggarap dua hektare lahan," katanya.

Ichlas mengatakan satu hektare lahan tersebut ditanami sebanyak 620 pohon jabon dengan jarak tanam 4 meter x 4 meter.

"Masyarakat cukup antusias karena kayu ini tidak memerlukan perawatan yang menyita waktu," kata Ichlas sambil memperlihatkan dokumen foto hamparan pembibitan miliknya.

Dia mengatakan, keuntungan yang diperoleh petani dari kerjasama tersebut yakni petani akan mendapat 30 persen dari hasil, sementara investor mendapat 70 persen.

Dia mengatakan tingginya pembagian tersebut karena biaya penanaman, pembersihan lahan, bibit dan penanganan pascapanen ditanggung oleh investor.

"Kami perkirakan, petani bisa mendapat sekitar Rp300 juta selama tujuh tahun per hektare," katanya.

Dia mengatakan kelebihan pohon jabon tidak perlu pemeliharaan pemangkasan karena tangkainya rontok sendiri. Kayu ini juga tegak lurus dengan ketinggian sampai 25 meter.

Menurut Ichlas, usia panen kayu ini mencapai tujuh tahun dan diperkirakan diameternya mencapai 50 centimeter.

"Sehingga satu pohon diperkirakan bisa mencapai satu meter kubik," katanya.

Dia mengatakan pengusaha dan petani yang melirik investasi ini sudah berjalan sejak 2010 namun belum secara massif.

Ichlas mengatakan jenis kayu ini bisa dijadikan mebel dan bahan bangunan serta industri tripleks.

"Sekarang sudah banyak industri mebel beralih menggunakan kayu ini karena kayunya tidak sulit diperoleh dan dalam waktu tidak terlalu lama sudah bisa berproduksi," katanya.

Menurut Ichlas, investasi di bidang perkebunan kayu merupakan investasi jangka panjang dan sekaligus berfungsi sebagai penyerap karbon akibat degradasi hutan.

Dia mengatakan, saat ini dirinya masih memiliki lahan 1.000 hektare yang siap dikerjasamakan dengan pihak ketiga jika ada yang berminat.

"Ini investasi besar khususnya bagi petani dalam rangka membangun masa depan yang lebih sejahtera," katanya.(T.A055/K005) 

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024